Refleksi Sejarah, Budaya, dan Masa Depan Pendidikan Serambi Mekkah
Pendahuluan: Pendidikan sebagai Nafas Peradaban Aceh
Pendidikan di Aceh bukanlah sekadar urusan ruang kelas dan kurikulum. Ia adalah bagian dari ruh kebudayaan dan jantung peradaban yang telah menghidupi masyarakat Aceh sejak berabad-abad lamanya.
Dari meunasah di gampong, rangkang di perbukitan, hingga dayah-dayah besar di pesisir, Aceh tumbuh sebagai pusat ilmu Islam dan budaya yang disegani di dunia Melayu-Nusantara.
Sejarah mencatat, sebelum pendidikan formal ala Barat masuk ke Indonesia, rakyat Aceh telah memiliki sistem pembelajaran yang rapi, berjenjang, dan berakar pada nilai-nilai tauhid, adab, dan ukhuwah.
Namun, perjalanan panjang itu tak pernah lepas dari ujian. Penjajahan, konflik bersenjata, hingga arus modernisasi membawa perubahan besar terhadap arah dan jiwa pendidikan Aceh.
Kini, di abad ke-21, Aceh dihadapkan pada tantangan baru: bagaimana mengembalikan ruh pendidikan sebagai gerakan peradaban di tengah dunia digital yang serba instan dan materialistik.
1. Akar Pendidikan Aceh: Dari Meunasah hingga Dayah
a. Meunasah: Sekolah Kehidupan di Tengah Gampong
Meunasah bukan sekadar tempat salat berjamaah atau musyawarah desa. Dalam sejarah Aceh, meunasah adalah pusat pendidikan pertama bagi anak-anak. Di sinilah mereka belajar membaca Al-Qur’an, memahami adab, serta mengenal nilai-nilai sosial masyarakat.
Guru di meunasah disebut teungku meunasah — sosok yang tidak hanya mengajar, tetapi juga membimbing kehidupan warga. Ia adalah simbol alim, ikhlas, dan pemimpin moral masyarakat.
Dari meunasah, seorang anak kemudian naik ke rangkang atau dayah, tergantung pada minat dan kemampuan. Sistem ini menunjukkan betapa pendidikan Aceh dahulu berlapis dan menyeluruh, melahirkan generasi yang seimbang antara ilmu, iman, dan amal.
b. Dayah dan Ulama Besar: Pusat Keilmuan Islam di Nusantara
Puncak pendidikan Islam di Aceh adalah dayah, yang berkembang pesat pada masa Kesultanan Aceh Darussalam.
Dayah berfungsi seperti universitas — dengan sistem kurikulum, sanad keilmuan, dan jaringan internasional yang luas.
Beberapa tokoh besar yang lahir dari tradisi ini antara lain:
- Syekh Nuruddin Ar-Raniry, ulama dari Gujarat yang menjadi mufti di istana Sultan Iskandar Tsani, pengarang puluhan kitab.
- Abdurrauf As-Singkili (Syiah Kuala), penulis Mir’atut Thullab, kitab hukum Islam yang menjadi rujukan di Asia Tenggara.
- Hamzah Fansuri, sastrawan dan sufi besar Nusantara yang memperkenalkan konsep wahdatul wujud dalam sastra Melayu.
Dayah di masa itu menjadi pusat diplomasi dan kebudayaan Islam global, menghubungkan Aceh dengan Turki Utsmani, Arab, India, dan bahkan Afrika Utara.
Dengan kata lain, Aceh telah mengenal pendidikan tinggi Islam jauh sebelum sistem kolonial Belanda memperkenalkan sekolah formal.
2. Masa Penjajahan: Pendidikan sebagai Bentuk Perlawanan
Kedatangan Belanda membawa perubahan drastis. Sistem pendidikan Barat diterapkan untuk mencetak pegawai rendahan yang patuh kepada kolonial.
Namun, pendidikan semacam itu tidak ditujukan untuk memerdekakan jiwa, melainkan untuk memperpanjang dominasi kekuasaan.
Ulama dan rakyat Aceh menyadari hal itu. Karena itu, mereka memilih mempertahankan pendidikan dayah dan madrasah sebagai bentuk perlawanan kultural.
Dayah menjadi benteng moral sekaligus markas perlawanan. Banyak ulama seperti Teungku Chik di Tiro Muhammad Saman dan Teungku Chik Pante Kulu menggabungkan ilmu agama dengan semangat jihad melawan penjajah.
Mereka mendidik murid-muridnya tidak hanya dengan kitab kuning, tetapi juga dengan semangat kemerdekaan dan harga diri bangsa.
Belanda menganggap dayah sebagai ancaman ideologis, sebab dari sana lahir generasi yang berpikir bebas, teguh, dan berani. Itulah sebabnya banyak dayah ditutup, dibakar, dan ulama diburu. Tapi semangat pendidikan Aceh tak pernah padam.
Bagi rakyat Aceh, menuntut ilmu adalah bagian dari jihad fi sabilillah.
3. Masa Revolusi dan Awal Kemerdekaan: Membangun dari Puing Perang
Setelah Indonesia merdeka, Aceh memainkan peran strategis. Selain menjadi basis logistik perjuangan Republik, Aceh juga menjadi pusat penyumbang tenaga dan dana untuk kemerdekaan.
Dalam bidang pendidikan, ulama-ulama Aceh mendirikan madrasah dan sekolah Islam modern, di antaranya melalui organisasi PUSA (Persatuan Ulama Seluruh Aceh).
Gerakan ini menandai lahirnya madrasah dengan kurikulum terpadu — menggabungkan pelajaran agama dan umum.
Sistem pendidikan yang lahir di masa ini berorientasi pada pembentukan manusia beriman, berilmu, dan beramal saleh.
Guru mengajar dengan semangat pengabdian, sering tanpa gaji, sementara masyarakat bergotong royong membangun ruang belajar dari papan kayu dan atap rumbia.
Pendidikan menjadi nafas perjuangan moral pasca-kemerdekaan.
4. Masa Konflik Aceh: Sekolah di Tengah Peluru
Memasuki tahun 1976, Aceh kembali bergejolak dengan munculnya Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Konflik panjang antara GAM dan TNI membawa dampak serius terhadap kehidupan sosial — terutama dunia pendidikan.
Banyak sekolah hancur, guru dibunuh atau mengungsi, dan anak-anak tumbuh dalam ketakutan. Ribuan pelajar kehilangan hak dasar mereka untuk belajar.
Namun di tengah kekacauan itu, tetap ada guru-guru pahlawan sunyi. Mereka mengajar di bawah bayang-bayang senjata, sering berpindah tempat, dan tetap berjuang agar generasi Aceh tidak buta huruf di tengah perang.
Satu hal yang tak bisa dihapus dari sejarah: di masa konflik, pendidikan menjadi simbol harapan.
Ia adalah satu-satunya cara agar rakyat bisa percaya bahwa masa depan masih ada.
5. Pascatsunami 2004: Dari Kehancuran Menuju Kebangkitan
Tsunami yang melanda Aceh pada 26 Desember 2004 menghancurkan hampir seluruh infrastruktur pendidikan. Lebih dari 2.000 sekolah rata dengan tanah, puluhan ribu siswa kehilangan guru dan teman.
Namun, dari duka itulah lahir harapan baru. Dunia menatap Aceh, dan berbagai lembaga internasional membantu membangun kembali sekolah-sekolah dengan fasilitas yang lebih baik.
Pemerintah Aceh bersama lembaga donor seperti UNICEF, USAID, dan BRR (Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi) mempercepat pembangunan ribuan ruang kelas dan pelatihan guru.
Yang paling penting, perdamaian antara Pemerintah Indonesia dan GAM tercapai pada 2005 melalui MoU Helsinki.
Sejak itu, pendidikan di Aceh mulai memasuki era baru: rehabilitasi dan reformasi.
6. Era Otonomi Khusus: Pendidikan Sebagai Ciri Khas Keislaman Aceh
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) memberi kewenangan luas kepada Aceh untuk mengatur sistem pendidikannya sendiri.
Salah satu tonggak pentingnya adalah Qanun Aceh Nomor 9 Tahun 2015 tentang Penyelenggaraan Pendidikan, yang menegaskan bahwa pendidikan Aceh harus berlandaskan nilai-nilai Islam dan budaya lokal.
Melalui Qanun ini, dayah diakui secara hukum sebagai bagian dari sistem pendidikan formal di Aceh. Pemerintah mulai memberikan perhatian terhadap pengembangan dayah, baik dari segi anggaran maupun manajemen.
Program beasiswa pendidikan tinggi ke luar negeri juga digalakkan, seperti beasiswa Aceh Carong, yang mengirimkan putra-putri Aceh ke berbagai universitas ternama di dalam dan luar negeri.
Namun di sisi lain, tantangan baru muncul: ketimpangan kualitas pendidikan, korupsi dalam pengelolaan dana pendidikan, dan kurangnya integrasi antara sistem sekolah modern dan dayah tradisional.
Otonomi pendidikan yang seharusnya menjadi berkah, seringkali terhambat oleh lemahnya tata kelola dan visi jangka panjang.
7. Tantangan Era Digital: Antara Kemajuan dan Krisis Moral
Dunia digital membawa perubahan cepat pada cara belajar dan berpikir generasi muda. Internet membuka akses ilmu seluas-luasnya, tetapi juga membuka pintu bagi krisis moral dan disinformasi.
Di Aceh, banyak sekolah dan dayah yang mulai menggunakan teknologi informasi untuk pembelajaran. Namun, sebagian besar masih terkendala jaringan, fasilitas, dan pelatihan guru.
Selain itu, budaya instan media sosial mulai menggerus semangat belajar dan adab siswa. Mereka lebih mengenal influencer daripada ulama, lebih mengagumi gaya hidup konsumtif daripada perjuangan ilmuwan.
Inilah tantangan besar pendidikan Aceh hari ini: bagaimana menyeimbangkan digitalisasi dengan spiritualisasi.
8. Harapan: Menata Kembali Arah Pendidikan Aceh
Untuk membangun kembali martabat pendidikan Aceh, diperlukan langkah strategis dan moral yang menyeluruh:
-
Memperkuat pendidikan karakter berbasis Islam dan adat.
Pendidikan Aceh harus kembali menanamkan nilai adab, amanah, dan ukhuwah sebagai dasar moral bangsa. -
Meningkatkan kualitas guru.
Guru bukan hanya pengajar, tetapi pendidik jiwa. Pelatihan guru harus berorientasi pada inovasi, kepemimpinan, dan etika profesi. -
Mengintegrasikan dayah dan sekolah umum.
Kurikulum terpadu antara ilmu agama dan ilmu umum akan melahirkan generasi ulul albab — cerdas spiritual dan intelektual. -
Memanfaatkan teknologi untuk dakwah dan pembelajaran.
Pemerintah Aceh dapat membangun platform digital pendidikan Islam Aceh sebagai sarana e-learning berbasis kearifan lokal. -
Mendorong riset dan inovasi di universitas Aceh.
Perguruan tinggi harus menjadi pusat gagasan dan solusi nyata bagi masyarakat, bukan sekadar tempat kuliah rutin. -
Menjadikan pendidikan sebagai gerakan sosial.
Pendidikan bukan hanya tanggung jawab pemerintah, tetapi juga masyarakat, ulama, dan orang tua. Membangun budaya belajar seumur hidup adalah kunci kemajuan.
9. Refleksi: Menghidupkan Kembali Semangat Ilmu di Serambi Mekkah
Aceh pernah menjadi mercusuar ilmu di Asia Tenggara. Jika dulu orang datang ke Banda Aceh untuk menuntut ilmu, kini kita harus bertanya: apakah generasi sekarang masih memiliki semangat yang sama?
Banyak anak muda hari ini yang terjebak dalam pragmatisme. Ilmu dikejar untuk gelar, bukan untuk manfaat. Pendidikan berubah menjadi industri, bukan lagi perjuangan.
Padahal, ulama-ulama dahulu belajar dengan tekun walau hanya dengan kitab lusuh dan lampu pelita. Mereka menjadikan ilmu sebagai ibadah, bukan komoditas.
Maka, membangkitkan kembali semangat talabul ‘ilm — menuntut ilmu karena Allah — adalah kunci agar Aceh kembali menjadi Serambi Mekkah yang sejati.
Penutup: Pendidikan Aceh untuk Dunia
Perjalanan panjang pendidikan Aceh adalah kisah tentang keyakinan bahwa ilmu dan iman adalah dua sayap kemajuan.
Dari dayah hingga digital, dari masa perang hingga perdamaian, pendidikan tetap menjadi napas perjuangan rakyat Aceh.
Kini, tugas kita bukan hanya menjaga warisan itu, tetapi mengembangkannya untuk menjawab tantangan zaman.
Aceh tidak boleh berhenti di nostalgia masa lalu; ia harus melangkah menjadi pusat pendidikan Islam modern yang terbuka bagi dunia.
Sebagaimana pesan ulama besar Syiah Kuala:
“Barang siapa menuntut ilmu karena Allah, maka ia akan mulia di dunia dan tinggi derajatnya di akhirat.”
Maka, perjuangan pendidikan di Aceh sejatinya belum selesai. Ia terus berjalan — selama masih ada guru yang ikhlas mengajar, murid yang haus ilmu, dan masyarakat yang percaya bahwa cahaya pengetahuan adalah jalan menuju kemerdekaan sejati.