Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Kedhaliman pada Rakyat Akan Menjadi Awal Kehancuran Pemimpin

Minggu, 12 Oktober 2025 | 14:30 WIB Last Updated 2025-10-12T07:30:45Z




Oleh: Azhari

Kekuasaan adalah amanah, bukan panggung kesombongan. Dalam setiap sejarah peradaban manusia, kehancuran sebuah pemerintahan selalu berawal dari satu penyakit yang sama: kedhaliman. Ketika pemimpin mulai menindas rakyatnya, mengabaikan jeritan orang kecil, dan memutarbalikkan hukum demi kepentingan pribadi atau kelompoknya, maka sesungguhnya mereka sedang menggali kubur kehormatan mereka sendiri.

Pemimpin dan Amanah

Seorang pemimpin tidak hanya ditakar dari seberapa lama ia berkuasa, tetapi seberapa adil ia menegakkan kebenaran. Nabi Muhammad SAW mengingatkan, “Tidak ada satu pun pemimpin yang menipu rakyatnya, melainkan Allah haramkan surga baginya.” Kalimat ini bukan sekadar ancaman teologis, tetapi juga hukum sosial: bahwa kedhaliman akan menumbuhkan kebencian, dan kebencian akan menjadi bara yang membakar singgasana kekuasaan.

Ketika keadilan lenyap dari hati seorang pemimpin, maka rakyat akan kehilangan kepercayaan. Dan ketika kepercayaan hilang, kekuasaan tinggal menunggu waktu untuk runtuh—entah oleh tangan rakyat, oleh hukum sejarah, atau oleh murka Tuhan.

Rakyat Bukan Alat, Tapi Amanah

Rakyat bukan sekadar angka dalam laporan pembangunan, bukan sekadar suara saat pemilu. Mereka adalah jiwa dari sebuah bangsa. Bila pemimpin memperlakukan rakyatnya seperti alat—diperas tenaganya, dipungut pajaknya, tapi diabaikan haknya—maka sesungguhnya negara sedang berjalan menuju kehancuran moral.

Kita sering melihat bagaimana kekuasaan membuat manusia buta. Di awal, mereka berjanji akan melayani. Namun setelah duduk di kursi empuk, lupa asal dan tujuan. Mereka membangun pagar tinggi di istana, tapi tidak membangun jembatan menuju hati rakyat.

Kedhaliman Adalah Awal Kejatuhan

Lihatlah sejarah. Fir’aun hancur bukan karena rakyatnya kuat, tetapi karena kesombongannya yang menolak kebenaran. Namrud binasa bukan karena kurang pasukan, tetapi karena keserakahan yang menutup nurani. Bahkan di negeri ini, banyak penguasa lokal yang dulunya dielu-elukan rakyat, kini tinggal nama di ruang pengadilan. Semua karena satu hal: kedhaliman yang mereka tanam, kini berbuah kehancuran.

Kedhaliman bisa bermacam rupa. Ia bisa berwujud penyelewengan dana rakyat, manipulasi hukum, pembungkaman suara kritis, hingga kebijakan yang memiskinkan rakyat kecil. Sekecil apa pun bentuknya, bila ia mengorbankan keadilan, maka ia adalah benih kehancuran.

Pemimpin yang Lupa Diri

Ketika seorang pemimpin mulai berpikir bahwa rakyat harus melayani dirinya, bukan sebaliknya, maka pada saat itu ia telah kehilangan makna kepemimpinan. Ia telah berubah menjadi penguasa yang zalim, bukan pemimpin yang amanah.

Banyak pemimpin jatuh bukan karena kekuatan lawan politik, tetapi karena mereka kehilangan kepercayaan dari rakyatnya sendiri. Rakyat mungkin diam, tapi diam bukan berarti tidak tahu. Mereka sabar, tetapi kesabaran rakyat ada batasnya. Dan ketika batas itu dilampaui, maka gelombang perubahan akan datang tanpa bisa dibendung.

Akhir dari Kedhaliman Adalah Penyesalan

Tidak ada kekuasaan yang abadi. Kekuasaan hanyalah titipan waktu. Namun banyak pemimpin lupa, bahwa setiap keputusan mereka akan dimintai pertanggungjawaban, bukan hanya di dunia, tapi juga di hadapan Tuhan. Mereka menumpuk harta, membangun dinasti, memutar hukum, dan memanipulasi rakyat, seolah-olah tidak ada hari perhitungan.

Padahal Allah telah berfirman dalam Al-Qur’an:

“Dan janganlah sekali-kali engkau menyangka bahwa Allah lengah terhadap apa yang diperbuat oleh orang-orang yang zalim; sesungguhnya Allah memberi tangguh kepada mereka sampai hari yang pada waktu itu mata (mereka) terbelalak.”
(QS. Ibrahim: 42)

Kedhaliman tidak pernah langgeng. Ia mungkin tampak berjaya sesaat, tetapi pasti akan berakhir dengan kehinaan.

Menjadi Pemimpin yang Dikenang

Pemimpin sejati bukan diukur dari lamanya memerintah, tetapi dari seberapa dalam rakyat merasakan keadilannya. Lihatlah Umar bin Khattab, yang menangis karena takut seekor keledai pun tergelincir di jalan Irak tanpa ia perbaiki. Itulah kepemimpinan sejati: keadilan yang lahir dari hati yang takut kepada Tuhan.

Bangsa ini tidak butuh pemimpin yang hebat berpidato, tetapi pemimpin yang berani berkata jujur dan menegakkan kebenaran meski menyakitkan. Karena sejarah akan mencatat bukan seberapa tinggi jabatanmu, tapi seberapa adil engkau memperlakukan rakyatmu.


Kedhaliman pada rakyat bukan sekadar dosa politik, tapi juga dosa kemanusiaan. Ia akan menghancurkan moral, kepercayaan, bahkan masa depan bangsa. Maka siapa pun yang hari ini diberi amanah memimpin—ingatlah, bahwa singgasana kekuasaan bisa berubah menjadi kursi pengadilan, dan pujian rakyat bisa berganti menjadi kutukan sejarah.

Keadilan menegakkan bangsa, tetapi kedhaliman menumbangkan kekuasaan.