Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Refleksi Sumpah Pemuda 2025: Era Digital dan Tantangan Pengetahuan

Minggu, 12 Oktober 2025 | 14:37 WIB Last Updated 2025-10-12T07:37:31Z






 Sumpah yang Tidak Pernah Usang

Tujuh puluh tujuh tahun sebelum Indonesia merdeka, sekelompok anak muda berdiri tegak di tengah kolonialisme, mengucap ikrar yang menggetarkan sejarah:
Satu Nusa, Satu Bangsa, dan Satu Bahasa – Indonesia.

Tiga kalimat itu sederhana, namun mengubah arah bangsa. Ia lahir dari ruang sempit pergerakan, namun menjalar menjadi api kesadaran kolektif. Sumpah Pemuda bukan sekadar deklarasi politik, melainkan pernyataan eksistensial tentang siapa kita dan ke mana kita menuju.

Kini, di tahun 2025, hampir seabad setelah peristiwa monumental itu, kita hidup di dunia yang jauh berbeda. Dunia tanpa batas, di mana teknologi mengubah cara berpikir, belajar, dan berinteraksi. Namun pertanyaan besar kembali muncul:
Apakah semangat Sumpah Pemuda masih mengalir dalam jiwa generasi digital hari ini?


2. Dari Pena ke Layar: Evolusi Perjuangan

Jika pemuda 1928 memperjuangkan kemerdekaan dengan pena, rapat, dan surat kabar, maka pemuda 2025 hidup dalam ruang digital yang tak pernah tidur.
Sekarang, perang ide tidak lagi terjadi di lapangan, tetapi di media sosial.
Gerakan tidak lagi disusun di ruang rapat, tetapi dalam grup daring.

Namun, di balik kemudahan itu, muncul persoalan baru: apakah perjuangan digital hari ini memiliki kedalaman seperti perjuangan pemuda dahulu?

Pemuda 1928 mengorbankan kenyamanan demi cita-cita bangsa. Mereka belajar dalam keterbatasan, menulis dengan semangat, dan berjuang tanpa pamrih.
Sementara sebagian pemuda masa kini justru terjebak dalam kenyamanan algoritma, lebih sibuk membangun citra diri ketimbang membangun negeri.

Era digital menjanjikan kebebasan, tapi juga menyimpan jebakan: banjir informasi tanpa arah.
Pemuda yang dulu membaca buku dan menulis ideologi, kini banyak yang lebih suka menggulir layar dan menulis status tanpa substansi.


3. Tantangan Pengetahuan di Era Kecerdasan Buatan

Tahun 2025 ditandai oleh percepatan revolusi teknologi — kecerdasan buatan (AI), big data, dan Internet of Things. Semua bergerak cepat, nyaris tanpa jeda.
Namun, di tengah percepatan itu, muncul ketimpangan besar: teknologi tumbuh pesat, tetapi karakter dan pengetahuan manusia tidak selalu ikut tumbuh.

Pemuda hari ini seringkali pandai menggunakan teknologi, tetapi belum tentu bijak mengelolanya.
Kecerdasan buatan mampu menulis esai, menganalisis data, dan merancang sistem, tapi tidak akan pernah menggantikan nurani manusia.
Yang dibutuhkan bukan hanya keterampilan digital, tetapi kecerdasan moral dan integritas.

Tantangan pengetahuan di era ini bukan sekadar bagaimana menguasai teknologi, tetapi bagaimana tetap menjadi manusia di tengah gelombang otomatisasi.
Kita membutuhkan generasi yang bukan hanya bisa mengetik cepat, tetapi juga berpikir dalam.
Generasi yang tidak sekadar “online”, tetapi on-mind — sadar akan nilai dan tanggung jawabnya sebagai anak bangsa.


4. Penjajahan Baru: Algoritma dan Kebodohan Digital

Jika pada 1928 musuh bangsa adalah kolonialisme fisik, maka di tahun 2025 musuh itu berubah bentuk menjadi kolonialisme digital.
Ia tidak datang dengan senjata, tapi dengan data. Tidak menindas tubuh, tapi menguasai pikiran.

Kita hidup dalam era ketika informasi adalah kekuatan. Namun, kekuatan itu bisa menjadi racun bila tidak disertai kebijaksanaan.
Pemuda kini dihadapkan pada dua pilihan: menjadi penguasa data atau menjadi budak algoritma.

Banyak di antara kita yang tanpa sadar terperangkap dalam ekosistem digital yang menciptakan gelembung informasi (filter bubble). Kita hanya melihat apa yang ingin kita lihat, mendengar apa yang ingin kita dengar, dan menolak kebenaran yang tidak sesuai dengan selera pribadi.

Inilah bentuk baru penjajahan — penjajahan kognitif, ketika pikiran dikendalikan oleh sistem yang tampak netral namun bekerja dengan kepentingan ekonomi dan politik global.
Dan di sinilah pemuda Indonesia diuji:
Apakah akan tenggelam dalam kebodohan digital, atau bangkit menjadi generasi yang sadar dan cerdas dalam bermedia?


5. Krisis Makna dan Kehilangan Arah

Kita sering membanggakan diri sebagai “generasi milenial” dan “generasi Z”, tapi dalam banyak hal kita kehilangan satu hal penting: arah perjuangan.
Dulu, pemuda tahu musuhnya jelas: penjajahan dan ketidakadilan.
Kini, musuh itu kabur — tersamar dalam kemewahan gaya hidup, kecanduan hiburan, dan kesibukan tanpa tujuan.

Pemuda 2025 sering terjebak dalam euforia digital: ingin cepat terkenal, ingin cepat sukses, tapi lupa membangun fondasi pengetahuan.
Media sosial menciptakan budaya instan — di mana kerja keras tergantikan oleh sensasi, dan kesabaran tergantikan oleh scrolling tanpa henti.

Krisis terbesar generasi muda hari ini bukanlah kemiskinan materi, tetapi kemiskinan makna.
Banyak yang tahu segalanya, tapi tidak memahami apa-apa.
Bisa berbicara tentang dunia, tapi tidak mengerti akar budayanya sendiri.


6. Sumpah Baru di Era Digital

Sudah saatnya pemuda Indonesia menyusun “Sumpah Baru” yang relevan dengan zaman.
Bukan untuk menggantikan Sumpah Pemuda 1928, tetapi untuk menghidupkan kembali maknanya dalam konteks digital.

Jika dulu mereka bersumpah satu tanah air dan satu bahasa, maka hari ini kita harus bersumpah satu kesadaran:

Bahwa pengetahuan, etika, dan persatuan adalah jalan menuju kemerdekaan sejati di dunia digital.

Sumpah Pemuda 2025 seharusnya berbunyi:

  • Kami, pemuda Indonesia, bersatu di dunia nyata dan maya untuk menjaga martabat bangsa.
  • Kami berjuang dengan ilmu, bukan dengan kebencian.
  • Kami menjadikan teknologi sebagai alat kemajuan, bukan sumber perpecahan.

Karena masa depan bangsa tidak ditentukan oleh seberapa canggih alatnya, tetapi seberapa kuat nilai dan integritas pemudanya.


7. Strategi Pemuda Digital Membangun Bangsa

Untuk menghadapi era pengetahuan dan disrupsi teknologi, pemuda tidak boleh pasif. Ada beberapa langkah strategis yang harus diambil:

a. Bangun Literasi Digital yang Kritis

Pemuda harus menjadi pengguna cerdas, bukan korban teknologi.
Gunakan media sosial untuk menyebarkan ide positif, bukan provokasi.
Pelajari cara kerja algoritma, bias data, dan keamanan digital — agar kita tidak menjadi sasaran manipulasi informasi.

b. Kuasai Ilmu dan Teknologi

Era digital menuntut kemampuan adaptasi cepat.
Pemuda perlu menguasai bidang strategis: coding, data science, teknologi hijau, ekonomi kreatif, dan etika AI.
Namun ilmu tanpa akhlak akan melahirkan kehancuran. Maka, setiap kemajuan harus dibingkai oleh nilai-nilai kemanusiaan dan keislaman yang menjadi akar bangsa ini.

c. Berjejaring dan Kolaborasi

Zaman digital bukan zamannya kompetisi individual, tapi kolaborasi.
Bangun komunitas belajar, jejaring sosial berbasis gagasan, dan platform kolaboratif untuk riset, inovasi, dan kemanusiaan.
Sumpah Pemuda 1928 lahir dari pertemuan berbagai organisasi pemuda. Maka di era ini, gerakan digital juga harus menjadi wadah persatuan lintas agama, suku, dan daerah.

d. Gunakan Teknologi untuk Keadilan Sosial

Pemuda harus menempatkan teknologi sebagai alat pemberdayaan rakyat — membantu UMKM, memperluas akses pendidikan, dan mendorong partisipasi publik dalam kebijakan.
Gunakan media sosial bukan untuk narsisisme, tapi untuk advokasi keadilan sosial dan keberlanjutan lingkungan.

e. Jaga Etika dan Kepribadian Digital

Teknologi tidak bisa menggantikan moralitas.
Jejak digital adalah cermin diri. Maka berhati-hatilah dengan setiap kata dan tindakan di dunia maya.
Pemuda sejati tidak diukur dari jumlah pengikut, tetapi dari seberapa besar dampaknya bagi kemanusiaan.


8. Pemuda dan Kesadaran Sejarah

Refleksi Sumpah Pemuda 2025 juga harus menjadi momen untuk menyadarkan kita akan pentingnya sejarah.
Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghormati jasa para pendahulunya, bukan yang melupakannya.
Pemuda yang hanya sibuk dengan masa kini tanpa belajar dari masa lalu, akan tersesat di masa depan.

Kita perlu kembali mempelajari semangat Ki Hajar Dewantara, Mohammad Yamin, Soegondo Djojopuspito, dan tokoh-tokoh muda lainnya. Mereka bukan hanya pemimpi, tapi pemikir yang visioner.
Mereka percaya bahwa kemerdekaan bukan sekadar lepas dari penjajah, tetapi juga bebas dari kebodohan dan ketergantungan.

Hari ini, bentuk perjuangan itu berubah.
Kemerdekaan sejati bukan lagi melawan senjata, tetapi melawan keterbelakangan intelektual dan mentalitas malas belajar.


9. Membangun Optimisme Generasi Baru

Meskipun banyak tantangan, tidak berarti masa depan gelap.
Justru di tengah tantangan inilah, generasi muda punya kesempatan membuktikan diri.
Kita memiliki bonus demografi — populasi muda yang melimpah. Jika dikelola dengan pendidikan dan pengetahuan, inilah kekuatan terbesar bangsa.

Pemuda hari ini bisa belajar dari mana saja, kapan saja.
Internet memberikan akses yang tak terbatas, tinggal bagaimana menggunakannya dengan bijak.
Gunakan teknologi untuk menulis, membaca, mencipta, dan berdialog lintas budaya.
Gunakan dunia digital untuk menebar inspirasi, bukan caci maki.


 Dari Sumpah ke Aksi

Refleksi Sumpah Pemuda 2025 bukanlah sekadar mengenang masa lalu, tetapi menyalakan kembali obor tanggung jawab.
Karena sesungguhnya, sumpah tidak berhenti di bibir, tetapi harus hidup dalam tindakan.

Pemuda adalah energi perubahan.
Jika mereka berhenti belajar, bangsa berhenti maju.
Jika mereka kehilangan integritas, maka masa depan bangsa akan kehilangan arah.

Mari menjadikan momentum Sumpah Pemuda sebagai gerakan pembaruan moral dan intelektual.
Mari bersumpah bukan hanya untuk bersatu, tetapi juga untuk berilmu, beradab, dan berintegritas.

Kami, Pemuda Indonesia, bersatu dalam ilmu, berjuang dalam kejujuran, dan berbakti untuk kemanusiaan.

Karena hanya dengan itu, Indonesia akan tetap berdiri tegak di tengah gempuran zaman — dari 1928, 2025, hingga seratus tahun ke depan.


🕊️ Penulis: Azhari