Aceh sebagai daerah yang memiliki keistimewaan dan kekhususan dalam penyelenggaraan pemerintahan, diberikan kewenangan luas melalui Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh (UUPA) untuk membentuk peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan nilai-nilai syariat Islam. Salah satu bidang yang masih menimbulkan perdebatan dan membutuhkan perhatian mendalam ialah persoalan poligami.
Walaupun praktik poligami diatur dalam hukum Islam dan diakui dalam hukum nasional melalui Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan serta Kompilasi Hukum Islam (KHI), namun hingga kini Aceh belum memiliki Qanun khusus yang mengatur secara komprehensif tata cara, syarat, serta administrasi pelaksanaan poligami.
Padahal, dalam konteks sosial, banyak kasus di Aceh menunjukkan terjadinya penyimpangan, manipulasi administrasi, hingga pelanggaran hak-hak perempuan dan anak akibat lemahnya pengawasan dan ketiadaan norma teknis yang khas Aceh. Di sinilah pentingnya refleksi tentang urgensi Qanun Poligami — bukan untuk melegitimasi praktiknya secara bebas, tetapi untuk mengatur dan melindungi semua pihak secara adil dalam bingkai hukum administrasi dan syariat Islam.
---
1. Poligami dalam Perspektif Hukum dan Administrasi Negara
Secara hukum nasional, poligami bukanlah perbuatan yang dilarang, melainkan perbuatan hukum yang bersyarat.
Pasal 3 ayat (2) UU Perkawinan menyebutkan bahwa seorang suami hanya dapat beristri lebih dari satu apabila dikehendaki oleh hukum agamanya dan memperoleh izin dari pengadilan. Izin ini hanya dapat diberikan apabila terpenuhi syarat-syarat tertentu, seperti: istri tidak dapat menjalankan kewajibannya, istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, atau istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Namun secara administratif, pengajuan izin poligami harus melewati tata prosedur hukum yang ketat — mulai dari persetujuan istri pertama, bukti kemampuan ekonomi, hingga keabsahan status hukum istri-istri berikutnya. Dalam praktik di lapangan, banyak poligami di Aceh dilakukan tanpa melalui jalur hukum ini, sehingga muncul konsekuensi administrasi yang serius, seperti:
Tidak tercatatnya perkawinan di KUA atau Mahkamah Syar’iyah,
Anak dari istri kedua tidak memiliki kejelasan hukum perdata,
Sengketa harta warisan akibat ketiadaan administrasi hukum, dan
Timbulnya diskriminasi sosial terhadap perempuan dan anak.
Kelemahan administratif inilah yang menimbulkan ketimpangan antara hukum syariat dan hukum administrasi negara.
---
2. Mengapa Aceh Butuh Qanun Poligami
Sebagai daerah yang menerapkan syariat Islam secara formal, Aceh seharusnya tidak hanya menekankan aspek moral dalam poligami, tetapi juga aspek hukum administrasinya agar tidak menjadi sumber ketidakadilan.
Urgensi pembentukan Qanun Poligami didasarkan pada tiga dimensi utama:
a. Dimensi Filosofis
Poligami bukan hanya urusan rumah tangga, tetapi juga urusan keadilan sosial. Dalam Islam, poligami diperbolehkan bukan untuk menuruti hawa nafsu, melainkan untuk mewujudkan maslahat — seperti perlindungan terhadap perempuan, anak yatim, dan keseimbangan sosial. Qanun Poligami yang berbasis filosofi ini perlu menegaskan bahwa izin poligami bukan hak, tapi amanah yang dibatasi oleh syarat keadilan.
b. Dimensi Yuridis
Secara hukum, Qanun Poligami dapat menjadi instrumen pelengkap bagi Pasal 125 huruf (a) UUPA yang memberi wewenang Aceh untuk mengatur kehidupan keluarga sesuai nilai Islam. Tanpa qanun ini, Aceh masih bergantung pada regulasi pusat (UU Perkawinan dan KHI) yang tidak seluruhnya mengakomodasi karakter sosial Aceh.
Dengan Qanun, pemerintah Aceh dapat menegaskan prosedur yang lebih ketat, transparan, dan akuntabel — termasuk mekanisme verifikasi, sanksi administratif, dan pencatatan di Mahkamah Syar’iyah.
c. Dimensi Sosiologis
Dalam realitas sosial, banyak praktik poligami di Aceh dilakukan diam-diam, tanpa restu, bahkan tanpa pencatatan hukum. Kondisi ini sering menimbulkan penderitaan bagi perempuan dan anak. Qanun Poligami dapat hadir sebagai pagar sosial dan moral, agar praktik poligami tidak lagi berjalan liar, tapi teratur dan berkeadilan.
3. Aspek Hukum Administrasi dalam Qanun Poligami
Hukum administrasi berperan penting dalam menjaga agar setiap keputusan pemerintah dan pejabat publik dilakukan secara sah, terukur, dan dapat dipertanggungjawabkan.
Dalam konteks poligami, hukum administrasi berfungsi untuk:
Menetapkan prosedur formal pengajuan izin poligami di Mahkamah Syar’iyah,
Mencegah penyalahgunaan wewenang oleh pejabat pencatat nikah (KUA),
Menjamin tertibnya data kependudukan dan status hukum anak, dan
Menegakkan asas-asas pemerintahan yang baik (good governance) dalam urusan keagamaan.
Oleh karena itu, rancangan Qanun Poligami perlu memuat mekanisme administratif yang jelas, antara lain:
1. Tahapan Izin Awal:
Suami wajib mengajukan permohonan ke Mahkamah Syar’iyah dengan bukti kemampuan ekonomi dan fisik.
2. Tahapan Persetujuan Istri:
Persetujuan istri pertama harus dibuat dalam bentuk akta autentik, bukan hanya pernyataan lisan.
3. Verifikasi Pemerintah Desa:
Geuchik atau Keuchik wajib memberikan rekomendasi berdasarkan penelusuran sosial dan moral di masyarakat.
4. Tahapan Pencatatan Nikah:
Setelah izin dikeluarkan, Kantor Urusan Agama wajib mencatat pernikahan dan melaporkannya ke Dinas Syariat Islam.
5. Sanksi Administratif:
Poligami tanpa izin atau tanpa pencatatan harus dikenakan sanksi, baik berupa pembatalan pencatatan nikah, denda administratif, atau penundaan layanan publik tertentu hingga legalitas diperbaiki.
Dengan mekanisme seperti ini, maka poligami di Aceh akan menjadi tindakan hukum yang tertib dan transparan, bukan praktik sosial yang liar dan menyakitkan.
4. Dampak Sosial dan Perlindungan Perempuan
Tanpa kerangka hukum yang tegas, praktik poligami seringkali menjadi alat ketidakadilan. Banyak perempuan yang ditinggalkan tanpa hak warisan, anak-anak tanpa status hukum, dan masyarakat desa yang bingung menghadapi pertikaian rumah tangga karena pernikahan tidak tercatat.
Qanun Poligami, jika dibentuk dengan bijak, justru akan melindungi hak perempuan dan anak, bukan menindasnya.
Dengan adanya pencatatan resmi dan pengawasan syariat, setiap istri akan memiliki dasar hukum yang jelas untuk memperoleh nafkah, perlindungan hukum, dan hak waris.
Demikian pula, anak dari hasil poligami akan diakui secara hukum dan terhindar dari stigma sosial.
Inilah esensi hukum administrasi — menata ketertiban sosial melalui sistem yang adil dan terukur.
5. Tantangan dan Refleksi Moral
Namun, pembentukan Qanun Poligami tentu tidak mudah.
Masih ada kekhawatiran bahwa qanun ini akan disalahartikan sebagai pembenaran untuk poligami bebas. Padahal tujuannya justru sebaliknya — membatasi dan mengatur dengan asas tanggung jawab dan keadilan.
Oleh karena itu, dalam proses perumusannya, pemerintah Aceh harus melibatkan ulama, akademisi, praktisi hukum, dan perwakilan perempuan.
Keterlibatan semua pihak penting agar qanun ini tidak sekadar normatif, tetapi berakar pada realitas sosial dan nilai-nilai keadilan Islam.
Sebagaimana firman Allah dalam Surah An-Nisa ayat 3:
> “Dan jika kamu khawatir tidak akan dapat berlaku adil, maka (nikahilah) seorang saja.”
Ayat ini menunjukkan bahwa keadilan adalah inti dari poligami. Maka, keadilan pula yang harus menjadi ruh dalam setiap pasal Qanun Poligami nantinya.
6. Penutup: Menuju Tertib Hukum dan Keadilan Sosial
Refleksi atas urgensi Qanun Poligami di Aceh bukan sekadar soal hukum keluarga, melainkan soal wajah moral dan integritas hukum daerah.
Poligami yang tidak diatur akan melahirkan ketidakadilan; tapi poligami yang diatur dengan asas hukum administrasi dan nilai Islam akan melahirkan keteraturan dan keadilan.
Qanun ini nantinya diharapkan menjadi jembatan antara hukum syariat, hukum negara, dan realitas sosial masyarakat Aceh.
Ia harus memastikan bahwa praktik poligami bukan lagi sumber luka, tapi sarana untuk menegakkan tanggung jawab, melindungi perempuan, dan menjaga martabat keluarga Aceh.
Karena hukum sejati bukan hanya untuk mengatur, tetapi juga untuk menata keadilan dan kasih sayang dalam kehidupan.
Dan dari sanalah, Aceh akan benar-benar menunjukkan jati dirinya sebagai negeri syariat yang beradab, berkeadilan, dan berperikemanusiaan.