Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Santri dan Masa Depan Aceh di Era Digital

Minggu, 19 Oktober 2025 | 20:05 WIB Last Updated 2025-10-19T13:05:46Z




Menjaga Tradisi, Merajut Inovasi untuk Negeri Serambi Mekkah

Santri selalu punya tempat istimewa dalam perjalanan sejarah Aceh. Mereka bukan sekadar penuntut ilmu agama, tetapi penjaga akidah, moral, dan jati diri masyarakat. Dari dayah-dayah tradisional hingga pesantren modern, santri telah menjadi benteng peradaban Aceh yang menanamkan nilai ilmu, iman, dan amal. Namun kini, di tengah era digital yang berubah cepat, peran santri ditantang untuk menyesuaikan diri — tidak hanya menjaga tradisi, tapi juga menavigasi masa depan Aceh agar tidak tersesat di tengah arus globalisasi.

Dari Dayah ke Dunia Digital

Aceh dikenal sebagai daerah yang kuat dengan nilai Islam, dan sistem dayah telah lama menjadi pusat pendidikan yang melahirkan ulama, cendekiawan, dan pemimpin rakyat. Namun tantangan hari ini berbeda dari masa lalu. Arus informasi, kecerdasan buatan, dan media sosial menciptakan dunia baru di mana opini dan kebenaran sering kali kabur. Dalam situasi ini, santri dituntut menjadi penerang digital — yang mampu memadukan tradisi keilmuan klasik dengan kecakapan teknologi modern.

Santri Aceh tidak boleh tertinggal dalam perkembangan ini. Dunia digital bukan musuh, melainkan ruang dakwah baru. Platform media sosial dapat menjadi mimbar baru bagi dakwah, pendidikan, dan pembelaan terhadap nilai-nilai Islam dan keacehan. Namun itu hanya mungkin jika santri berani belajar dan beradaptasi — memahami algoritma, literasi digital, serta tantangan etika di ruang siber. Santri yang menguasai ilmu agama dan teknologi akan menjadi kekuatan strategis Aceh di masa depan.

Politik dan Pembangunan: Santri Sebagai Penyeimbang

Dalam dinamika politik Aceh hari ini, santri harus mengambil peran bukan sebagai penonton, melainkan penyeimbang moral. Politik Aceh pasca-perdamaian masih menghadapi tantangan serius: lemahnya etika kepemimpinan, konflik kepentingan elit, dan menurunnya kepercayaan rakyat terhadap politik lokal. Dalam kondisi seperti ini, kehadiran santri di ruang publik bisa menjadi oase moral yang menyejukkan.

Santri yang memahami agama dengan baik tahu bahwa kekuasaan adalah amanah, bukan alat balas budi. Mereka mampu mengingatkan bahwa keadilan dan kesejahteraan adalah tujuan utama politik, bukan sekadar jabatan atau partai. Jika para santri terlibat dalam politik dengan niat memperbaiki, bukan memperkaya, maka wajah politik Aceh akan kembali bercahaya — seperti semangat para ulama terdahulu yang memimpin dengan ilmu dan keteladanan.

Santri dan Revolusi Pendidikan Aceh

Era digital membuka peluang besar untuk memperkuat pendidikan di Aceh. Santri dapat menjadi agen revolusi pendidikan — menggabungkan kitab kuning dengan literasi digital, memadukan pengajian klasik dengan kelas daring, dan menjadikan dayah sebagai pusat riset dan inovasi sosial.
Bayangkan jika setiap dayah di Aceh memiliki kanal YouTube edukatif, portal pembelajaran daring, atau bahkan aplikasi dakwah berbasis lokal. Maka nilai-nilai keislaman Aceh akan menjangkau dunia, bukan hanya ruang meunasah.

Namun untuk itu, pemerintah Aceh dan para ulama harus berkolaborasi. Diperlukan dukungan infrastruktur digital bagi dayah, pelatihan teknologi bagi guru, dan penguatan kurikulum agar santri tidak hanya ahli agama, tapi juga paham konteks zaman. Kemandirian ekonomi pesantren juga penting — agar dayah tidak sekadar tempat belajar, tapi juga pusat pemberdayaan masyarakat.

Santri dan Ekonomi Digital

Selain pendidikan, ekonomi adalah ladang baru bagi santri. Nilai-nilai kejujuran, kerja keras, dan kesederhanaan yang diajarkan di dayah bisa menjadi dasar ekonomi umat yang berkeadilan. Di era digital, santri bisa mengembangkan wirausaha berbasis syariah melalui e-commerce, produk halal, hingga inovasi sosial berbasis komunitas.

Santri yang kreatif bisa mengubah hasil karya pesantren — seperti produk herbal, kerajinan tangan, atau kuliner lokal — menjadi brand unggulan Aceh. Dengan bimbingan dan platform digital, mereka tidak hanya berdagang, tetapi juga berdakwah lewat ekonomi yang berkah.

Menjaga Identitas Aceh di Tengah Globalisasi

Satu hal yang harus dijaga oleh santri Aceh adalah identitas. Globalisasi digital membawa nilai baru yang sering kali bertentangan dengan budaya dan akhlak Islam. Di sinilah peran santri menjadi vital: menjaga agar Aceh tidak kehilangan arah moral dan spiritualnya. Santri adalah benteng dari budaya konsumtif, pergaulan bebas, dan disinformasi yang menyesatkan generasi muda.

Dengan akhlak dan adab yang kuat, santri mampu menjadi filter budaya. Mereka bisa menunjukkan bahwa modernitas tidak harus menanggalkan keislaman, dan kemajuan teknologi tidak harus meruntuhkan keimanan. Santri yang memegang teguh nilai dayah akan menjadi penjaga keacehan di tengah dunia tanpa batas.

Masa Depan Aceh Ada di Tangan Santri

Aceh hari ini membutuhkan sosok pemimpin baru: pemimpin yang berilmu, berakhlak, dan berpandangan luas. Santri memiliki semua modal itu. Mereka lahir dari tradisi ilmu yang mendalam, ditempa oleh kesederhanaan, dan dibesarkan dengan nilai pengabdian. Jika santri mengambil posisi dalam pemerintahan, pendidikan, ekonomi, dan teknologi, maka Aceh akan menemukan arah baru — menuju kemajuan yang beradab.

Masa depan Aceh tidak cukup dibangun dengan beton dan jalan raya, tetapi harus dibangun dengan akhlak dan ilmu. Itulah tugas santri: menjembatani masa lalu dan masa depan, menghidupkan kembali semangat keislaman yang progresif, dan memastikan bahwa kemajuan tidak melupakan nilai.


Penulis: Azhari
(Refleksi politik dan sosial: peran santri dalam membangun Aceh yang berdaya, berilmu, dan bermartabat di era digital)