Dalam pandangan Islam, kehidupan manusia adalah suci dan bernilai tinggi. Setiap jiwa yang diciptakan Allah bukan sekadar jasad yang hidup di dunia fana, tetapi amanah yang memiliki hak untuk dijaga, dihormati, dan tidak dirampas dengan tangan manusia. Maka ketika pembunuhan terjadi—baik karena dendam, kepentingan dunia, atau kejahatan yang terencana—maka sejatinya yang mati bukan hanya jasad, tetapi juga nurani kemanusiaan.
Kehidupan adalah Hak Allah
Al-Qur’an menegaskan dengan tegas:
“Dan janganlah kamu membunuh jiwa yang diharamkan Allah (membunuhnya) kecuali dengan alasan yang benar.” (QS. Al-Isra’: 33).
Ayat ini adalah garis merah moral. Tidak ada alasan bagi seorang Muslim untuk menghilangkan nyawa orang lain kecuali dalam konteks hukum yang sah dan keadilan yang ditegakkan oleh negara. Maka, setiap tindakan pembunuhan di luar itu bukan hanya kejahatan sosial, tetapi juga kejahatan teologis yang langsung menentang hak prerogatif Allah: hak memberi dan mencabut nyawa.
Arwah Gentayangan: Simbol Kegelisahan yang Belum Selesai
Dalam masyarakat kita, sering terdengar keyakinan bahwa arwah korban pembunuhan akan “gentayangan”, tidak tenang, dan terus menuntut keadilan. Secara teologis, Islam mengajarkan bahwa ruh orang mati berpindah ke alam barzakh—tempat penantian sebelum dibangkitkan. Tidak ada konsep “gentayangan” sebagaimana dalam kepercayaan mistik. Namun, pandangan itu dapat dipahami sebagai simbol kegelisahan spiritual: bahwa darah yang tertumpah tidak akan diam sebelum keadilan ditegakkan.
Rasulullah ﷺ bersabda:
“Hancurnya dunia lebih ringan di sisi Allah daripada terbunuhnya seorang mukmin tanpa hak.” (HR. An-Nasa’i).
Hadis ini mengguncang kesadaran kita. Satu nyawa yang terenggut secara zalim lebih berat dosanya daripada keruntuhan bumi sekalipun. Maka, “gentayangan”-nya arwah bukan karena ruh itu menakut-nakuti, melainkan karena dosa pembunuhan menimbulkan getaran yang tak selesai di bumi: luka sosial, ketakutan masyarakat, dan tangisan keluarga yang tak pernah kering.
Darah yang Menyeru ke Langit
Dalam kisah Habil dan Qabil, darah yang pertama kali tertumpah di bumi tidak hanya menandai awal sejarah kejahatan manusia, tetapi juga menunjukkan bahwa dosa pembunuhan memiliki efek spiritual yang panjang. Allah berfirman:
“Sesungguhnya Kami telah tulis bagi Bani Israil bahwa barang siapa membunuh seorang manusia bukan karena orang itu (membunuh orang lain), maka seakan-akan ia telah membunuh manusia seluruhnya.” (QS. Al-Ma’idah: 32).
Pembunuhan adalah dosa yang mengguncang keseimbangan alam. Ia bukan hanya menghapus satu jiwa, tapi mematikan banyak kehidupan lain—orang tua kehilangan anak, anak kehilangan ayah, masyarakat kehilangan rasa aman, dan bumi kehilangan keberkahan.
Gentayangan Dosa, Bukan Ruh
Jika arwah tidak benar-benar gentayangan, maka yang sebenarnya gentayangan adalah dosa pembunuhan itu sendiri. Ia berputar di antara manusia, menjelma dalam bentuk ketakutan, balas dendam, dan kehancuran sosial. Tidak jarang, keluarga pelaku juga ikut merasakan kutukan moral—terasing dari masyarakat, dihantui rasa bersalah, dan kehilangan kedamaian hidup.
Di sisi lain, Islam mengajarkan bahwa ruh orang beriman akan mendapat ketenangan di alam barzakh, sementara ruh orang zalim akan disiksa sampai datang hari pembalasan. Maka pembunuh tidak bisa lari, meski ia bersembunyi di balik seribu dusta. Darah orang yang dizalimi akan terus menjerit, menuntut keadilan kepada Allah.
Seruan Keadilan dan Taubat
Stop pembunuhan bukan hanya seruan moral, tapi perintah langit. Islam membuka pintu taubat bagi siapa pun yang menyesali dosanya, tetapi dosa pembunuhan memiliki jalan penebusan yang berat: mengakui kesalahan, meminta ampun kepada Allah, menyerahkan diri pada hukum, dan berbuat kebajikan sebesar mungkin selama hidupnya.
Dalam tafsir Ibn Katsir, disebutkan bahwa taubat seorang pembunuh diterima jika ia benar-benar menyesal dan mengembalikan hak korban, baik dengan penyerahan diri maupun kompensasi (diyat). Tapi tetap, dosa terhadap sesama manusia tidak akan gugur kecuali dengan kerelaan pihak yang dizalimi.
Menjaga Jiwa, Menjaga Kemanusiaan
Maka, menghentikan pembunuhan bukan hanya urusan hukum pidana, tapi juga urusan akidah dan kemanusiaan. Setiap kita wajib menanamkan nilai kasih, menahan amarah, dan memperkuat lembaga keadilan agar darah tidak mudah tertumpah.
Ruh yang gentayangan adalah peringatan: bahwa dunia belum selesai berdamai dengan dosa yang kita biarkan. Dan selama darah orang tak bersalah belum mendapat keadilan, maka bumi ini belum tenang, doa belum mustajab, dan masyarakat belum benar-benar hidup dalam rahmat Allah.
Penutup
Islam tidak mengenal konsep hantu dalam pengertian menakutkan, tetapi mengenal “kutukan moral” bagi penumpah darah. Maka, setiap kali ada pembunuhan di tengah masyarakat, bukan arwah yang harus kita takuti—tetapi murka Allah yang bisa turun kapan saja.
Stop pembunuhan. Hentikan dendam. Karena setiap darah yang tertumpah akan menjadi saksi di hari akhir, dan setiap nyawa yang diselamatkan adalah satu langkah menuju surga.
“Barang siapa memelihara kehidupan seorang manusia, maka seolah-olah ia telah memelihara kehidupan manusia seluruhnya.” (QS. Al-Ma’idah: 32).
Penulis Azhari