Cinta seharusnya membawa kedamaian, bukan kehancuran. Ia seharusnya menumbuhkan, bukan mematikan akal dan nurani. Namun, di zaman yang penuh godaan dan kebebasan tanpa batas, asmara sering kali menjadi jalan sesat — tempat di mana banyak orang kehilangan arah, kehormatan, bahkan dirinya sendiri.
Cinta yang sejati lahir dari kejujuran dan tanggung jawab. Tapi jalan asmara yang sesat tumbuh dari nafsu, kebohongan, dan keinginan sesaat. Di sanalah banyak kehidupan hancur: rumah tangga berantakan, anak kehilangan kasih, reputasi tercoreng, dan hati remuk berkeping-keping.
Apa yang awalnya terasa indah, berakhir dengan luka yang dalam. Apa yang dulu disebut cinta, ternyata hanyalah jebakan perasaan yang tak terkendali.
Asmara sesat tak selalu dimulai dari niat jahat. Ia sering lahir dari kelemahan hati yang dibiarkan tanpa kendali. Dari satu pesan kecil yang dianggap biasa, berlanjut menjadi komunikasi yang intens, hingga akhirnya menjerumuskan ke dalam jurang pengkhianatan.
Begitu banyak yang jatuh bukan karena tidak tahu salah, tapi karena merasa kuat menghadapi godaan. Padahal, cinta yang tak dijaga dengan iman hanya akan menjadi api yang membakar habis seluruh kehidupan.
Kita sering mendengar kisah seseorang yang rela menghancurkan rumah tangganya demi “cinta baru”, atau meninggalkan anak demi “kebahagiaan sejati”. Namun pada akhirnya, semua itu hanya meninggalkan penyesalan yang dalam. Asmara yang dibangun di atas dosa dan kebohongan tidak akan pernah membawa kebahagiaan sejati. Ia hanya menunda penderitaan yang pasti datang.
Asmara sesat juga bisa menghancurkan harga diri seseorang. Banyak yang awalnya mulia, menjadi hina karena cinta yang salah arah. Ada yang rela menjual kehormatan demi perhatian sesaat, ada pula yang kehilangan masa depan karena terlalu percaya pada janji palsu.
Cinta yang benar seharusnya membimbing ke arah yang lebih baik — mendekatkan kepada Tuhan, menenangkan hati, dan memperbaiki akhlak. Bila cinta membuat kita jauh dari Allah, menyakiti keluarga, atau menipu orang lain, maka itu bukan cinta — itu adalah kesesatan yang dibungkus kata “sayang”.
Hidup mengajarkan bahwa tidak semua yang kita inginkan adalah yang kita butuhkan. Begitu juga dalam cinta, tidak semua yang membuat kita bahagia sementara adalah jalan menuju kebahagiaan sejati. Ada kalanya kita harus menahan diri, mundur, atau bahkan mengakhiri hubungan demi menjaga kehidupan yang lebih besar — iman, keluarga, dan harga diri.
Setiap manusia pernah mencintai dan dicintai, tapi tidak semua mampu menempatkan cinta di tempat yang benar. Cinta bukan untuk menodai, tetapi untuk menyucikan. Bukan untuk menjerumuskan, tetapi untuk mengangkat. Bila kita tersesat dalam asmara, maka satu-satunya jalan kembali adalah dengan menundukkan hati kepada Allah, meminta ampun, dan belajar mencintai dengan cara yang benar.
Jalan sesat dalam asmara memang menggoda, tapi ujungnya selalu sama: kehancuran, air mata, dan penyesalan. Namun, bagi mereka yang mau kembali, selalu ada harapan. Sebab Tuhan tidak menolak taubat siapa pun yang datang dengan hati yang hancur, asal ia benar-benar ingin berubah.
Maka, berhati-hatilah dalam mencintai. Jangan biarkan perasaan mengalahkan akal, dan jangan biarkan nafsu menggantikan nurani. Karena cinta yang salah arah tidak hanya menghancurkan hubungan, tapi juga menghancurkan kehidupan.
Cintailah dengan iman, agar asmara menjadi jalan surga — bukan jalan sesat yang menuntun pada neraka dunia dan akhirat.