Dalam kehidupan sosial, kita sering menilai kesombongan hanya pada mereka yang merasa tinggi, yang memandang rendah orang lain. Padahal, kesombongan tidak selalu muncul dari atas. Ia juga bisa tumbuh dari bawah — dari hati orang yang merasa rendah, tetapi tidak siap direndahkan. Inilah wajah lain dari takabbur yang jarang disadari: kesombongan dalam bentuk luka yang terselubung.
“Menganggap orang lain rendahan itu takabbur, tetapi yang lebih takabbur dari itu adalah orang rendah yang tidak siap direndahkan.” Kalimat ini menyentuh sisi paling halus dari ego manusia. Sebab pada dasarnya, kesombongan bukan hanya soal posisi, tetapi soal hati yang menolak kenyataan bahwa di dunia ini, tidak ada yang benar-benar lebih tinggi atau lebih rendah selain takwa di sisi Tuhan.
Manusia yang merasa tinggi akan menindas dengan kehormatan palsunya. Ia berbangga dengan jabatan, kekayaan, atau kepintaran. Ia lupa bahwa semua itu hanyalah titipan. Tapi manusia yang merasa rendah, lalu marah karena direndahkan, juga bisa terjebak dalam kesombongan yang lebih halus: merasa paling tersakiti, paling hina, dan tidak bisa menerima bahwa kehidupan memang penuh ujian harga diri.
Kedua-duanya terjebak dalam ego yang sama, hanya berbeda arah. Yang pertama sombong karena merasa lebih. Yang kedua sombong karena menolak dianggap kurang. Padahal, kerendahan hati sejati bukan berarti pasrah pada penghinaan, tetapi menerima bahwa kehormatan manusia tidak ditentukan oleh lidah orang lain. Ia tumbuh dari keyakinan bahwa harga diri bukan untuk dipamerkan, melainkan dijaga dengan diam yang bermartabat.
Banyak orang hari ini merasa tersinggung dengan mudah. Sedikit kritik dianggap penghinaan. Sedikit nasihat dianggap serangan. Semua ingin dihargai, tetapi sedikit yang benar-benar berusaha layak dihormati. Ini tanda bahwa kesombongan telah berganti wajah — dari congkak yang menindas, menjadi rapuh yang tidak siap disentuh.
Ketika hati penuh gengsi, bahkan kesederhanaan akan terasa seperti kehinaan. Padahal Rasulullah ﷺ mengajarkan bahwa kemuliaan sejati justru ada pada kerendahan hati. Beliau duduk bersama orang miskin, makan dengan tangan sendiri, dan tak pernah merasa lebih tinggi dari siapa pun. Itulah teladan yang hilang di zaman di mana setiap orang ingin terlihat “berharga”, meski dengan cara merendahkan atau menolak direndahkan.
Kesombongan dari orang berkuasa bisa menghancurkan bangsa. Tapi kesombongan dari orang yang tertindas bisa menghancurkan dirinya sendiri. Karena ketika seseorang tidak siap menerima hinaan, ia akan hidup untuk membuktikan diri kepada dunia — bukan kepada Tuhan. Ia sibuk mencari pengakuan, padahal harga dirinya justru terletak pada keikhlasan untuk tidak selalu diakui.
Kerendahan hati sejati lahir ketika seseorang tahu posisinya di hadapan Allah, bukan di hadapan manusia. Ia tidak merasa lebih mulia meski diberi kelebihan, dan tidak merasa hina meski dalam kekurangan. Ia tahu bahwa semua yang tinggi bisa jatuh, dan semua yang rendah bisa diangkat. Karena hidup bukan tentang siapa yang di atas atau di bawah, tetapi siapa yang tetap tawadhu ketika diuji dengan keduanya.
Maka, berhati-hatilah. Jangan terlalu cepat menilai orang sombong hanya karena ucapannya tinggi. Kadang, yang tampak rendah pun bisa menyimpan kesombongan yang lebih dalam — kesombongan yang tidak ingin dikoreksi, tidak mau dinasihati, dan tidak siap direndahkan. Padahal, dalam setiap hinaan yang diterima dengan sabar, ada kemuliaan yang sedang Allah siapkan.
Kesombongan tidak selalu berteriak. Kadang ia berbisik pelan di hati orang yang merasa rendah. Dan di sanalah ujian terbesar manusia: bukan sekadar untuk tidak merendahkan orang lain, tetapi juga untuk tidak marah ketika direndahkan.