Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

BANJIR ACEH 2025: TEGURAN ALLAH SWT DAN AMANAH MANUSIA UNTUK MENJAGA ALAM

Selasa, 09 Desember 2025 | 21:52 WIB Last Updated 2025-12-09T14:53:21Z





Musibah banjir besar yang kembali melanda Aceh pada penghujung tahun 2025 bukan sekadar peristiwa alam yang harus dilewati dengan keluhan dan ratapan. Banjir yang menenggelamkan rumah, menghanyutkan harta benda, memutuskan akses lintas antar daerah, memaksa ribuan warga mengungsi, dan merenggut ketenangan masyarakat adalah peringatan keras dari Allah SWT. Sebuah isyarat ilahi yang mengguncang hati agar manusia kembali melihat ke dalam diri, memperbaiki hubungan dengan Tuhan, dengan sesama, dan dengan alam yang selama ini diabaikan.

Banyak yang mencoba mencari siapa yang harus disalahkan. Sebagian menunjuk pemerintah, sebagian menyalahkan cuaca ekstrem, sebagian menuding pembangunan tak terkendali, dan sebagian lainnya menyalahkan takdir. Tetapi musibah tidak hadir untuk mencari kambing hitam. Ia hadir membuka mata, mengajak berpikir, dan memaksa kita memahami bahwa bumi mengeluh dan alam menuntut keseimbangan. Banjir bukan sekadar air yang meluap; ia adalah bahasa alam yang selama ini diabaikan.

Aceh telah berkali-kali mengalami banjir besar, tetapi setiap tahun kita seperti lupa belajar. Sungai meluap, hutan habis, gunung gundul, parit tersumbat, rawa ditimbun, dan daerah resapan air berubah menjadi perumahan dan kebun sawit. Kita terus melakukan eksploitasi, sementara alam terus menahan sakit. Sampai pada akhirnya ia membalas, bukan karena dendam, tetapi karena hukum alam yang telah Tuhan tetapkan tidak akan pernah berubah.


Musibah Banjir dan Peringatan dari Allah SWT

Dalam perspektif iman, setiap bencana memiliki pesan. Allah SWT berfirman:

“Dan apa saja musibah yang menimpa kamu adalah disebabkan oleh perbuatan tanganmu sendiri, dan Allah memaafkan banyak (kesalahanmu).”
(QS. Asy-Syura: 30)

Ayat ini mengingatkan bahwa manusia berperan besar dalam kerusakan bumi. Allah sudah mengampuni banyak kesalahan manusia, namun tidak semuanya dibiarkan. Sebagian musibah hadir untuk mengetuk pintu kesadaran.

Di ayat lain Allah SWT berfirman:

“Telah tampak kerusakan di darat dan di laut akibat perbuatan tangan manusia…”
(QS. Ar-Rum: 41)

Kerusakan itu bukan lagi teori. Ia terlihat nyata:

  • bukit dan gunung Aceh yang dulu hijau, kini botak terbelah,
  • sungai-sungai keruh dan dangkal karena sedimentasi akibat penebangan hutan,
  • wilayah resapan air di perkotaan berubah menjadi ruko dan perumahan,
  • tambang emas, batu, pasir, dan batubara yang meninggalkan luka menganga,
  • illegal logging yang dibiarkan, bahkan dilindungi karena kepentingan ekonomi,
  • perkebunan sawit besar yang menggerus habitat alam.

Jika alam kehilangan keseimbangan, maka air yang seharusnya menjadi berkah, berubah menjadi bencana.


Ketika Banjir Bukan Lagi Bencana Alam, Melainkan Bencana Moral

Banjir Aceh 2025 tidak hanya memakan korban material, tetapi juga korban moral. Masyarakat dipaksa menyadari bahwa sebagian besar musibah berasal dari keserakahan manusia.

Kita tidak bisa lagi menyebut banjir sebagai bencana alam murni.
Ini adalah bencana moral, bencana tamak, bencana pengkhianatan amanah.

Sebab bagaimana mungkin:

  • gunung dan hutan ditebang tanpa reboisasi,
  • izin tambang diberikan tanpa pengawasan,
  • korupsi anggaran penanganan bencana menjadi tradisi,
  • drainase kota dibiarkan tersumbat bertahun-tahun,
  • masyarakat membuang sampah sembarangan,
  • proyek infrastruktur mengabaikan kajian lingkungan,
  • dan pejabat hanya turun ke lapangan ketika kamera media menyala.

Kita sering berdoa agar Aceh selamat dari bencana, tetapi pada saat yang sama kita sendiri membuka pintu bencana dengan tangan kita. Kita memohon Allah menjaga alam, tetapi kita justru merusaknya setiap hari.

Musibah akhirnya menjadi cermin: Yang rusak bukan alam, tetapi karakter manusia.


Hikmah di Balik Musibah: Mengingatkan Kita pada Amanah Besar

Islam memandang bumi sebagai amanah, bukan warisan yang bebas dieksploitasi. Nabi SAW bersabda:

“Dunia ini hijau dan indah, dan Allah menjadikan kamu sebagai khalifah di dalamnya, untuk melihat bagaimana kamu bertindak.”
(HR. Muslim)

Kita bukan pemilik bumi—kita hanya penjaga sementara. Kita bukan penguasa alam—kita hanya pemikul amanah.

Namun kenyataannya, manusia memperlakukan bumi seperti barang dagangan tanpa batas. Demi uang, pohon ditebang. Demi proyek, gunung diratakan. Demi keuntungan politis, tambang ilegal dilindungi. Demi kekayaan pribadi, masa depan generasi dijual.

Musibah banjir ini seharusnya menjadi momentum untuk bertanya:

  • Sudahkah kita menjalankan amanah Allah atau kita sedang mengkhianatinya?
  • Sudahkah pemimpin memimpin untuk rakyat atau untuk kelompoknya sendiri?
  • Sudahkah masyarakat menjaga lingkungan atau hanya menyalahkan keadaan?

Musibah datang bukan untuk menghancurkan, tetapi untuk menyadarkan.
Ia adalah ujian bagi hati, bukan sekadar cobaan bagi tubuh.


Tanggung Jawab Pemerintah dan Masyarakat: Bersama Menjaga Aceh

1. Pemerintah harus tegas dan jujur

Sumber bencana seringkali bukan air hujan, tetapi kebijakan yang salah arah. Pemerintah harus berani:

  • menindak pengusaha kayu ilegal,
  • mencabut izin tambang yang merusak lingkungan,
  • melakukan reboisasi besar-besaran,
  • menata ulang tata ruang berbasis kajian ilmiah,
  • menggunakan anggaran bencana secara transparan dan akuntabel.

Pemimpin bukan dilihat dari banyaknya pidato dan liputan media, tetapi dari keberanian mengambil keputusan yang tidak populer demi kepentingan rakyat banyak.

2. Masyarakat harus berubah

Tidak cukup menyalahkan pemerintah. Kita harus bertanya:

  • Apakah kita masih membuang sampah ke sungai?
  • Apakah kita ikut menebang pohon karena alasan ekonomi cepat?
  • Apakah kita relawan ketika musibah, atau hanya pengamat yang mencaci di media sosial?

Perubahan besar dimulai dari kebiasaan kecil.

3. Kolaborasi tanpa ego sektoral

Bencana tidak mengenal batas organisasi, agama, suku, atau kelompok politik.
Namun sayangnya, bantuan sering terhambat karena perbedaan bendera.

Padahal Nabi bersabda:

“Seorang mukmin dengan mukmin lainnya bagaikan satu tubuh…”
(HR. Bukhari-Muslim)

Saat satu bagian sakit, semuanya ikut merasakan.


Aceh dan Luka Alam yang Terabaikan

Aceh adalah tanah yang diberkahi: gunung yang subur, sungai yang panjang, laut yang kaya, dan hutan yang luas. Tetapi anugerah itu berubah menjadi ancaman jika tidak dijaga.

Kita seakan lupa pada sejarah: tsunami 2004 mengajari kita tentang kecilnya manusia di hadapan kuasa Allah. Tetapi dua puluh tahun berlalu, kita kembali pada kesalahan yang sama. Allah mengingatkan bukan untuk menghukum, tetapi untuk mengembalikan kita kepada jalan yang benar.

Ketika air menenggelamkan kota, ketika rumah hanyut, ketika anak-anak menangis di tenda pengungsian, ketika malam tanpa listrik dan makanan, apakah masih ada yang mengatakan bahwa ini hanya kebetulan cuaca?

Banjir Aceh 2025 telah menampar kesadaran kita.


Bangkit Setelah Banjir: Bukan Sekadar Reaksi Darurat, tetapi Revolusi Ekologis

Musibah boleh datang dan pergi, tetapi kebijakan lingkungan harus permanen. Aceh harus bangkit dengan strategi jangka panjang:

1. Gerakan Menanam Sejuta Pohon

Bukan sekadar slogan seremonial, tetapi gerakan massif dengan pengawasan.

2. Hutan adat dan syariat lingkungan

Aceh memiliki kekhususan hukum. Mengapa tidak membuat qanun ketat tentang pelestarian alam sebagai bagian dari syariat Islam?

3. Pendidikan lingkungan sejak sekolah dini

Generasi baru harus tumbuh dengan kesadaran bahwa bumi bukan warisan, tetapi titipan.

4. Teknologi tata air modern

Bendungan, normalisasi sungai, restorasi mangrove, dan sistem drainase kota harus berbasis kajian ilmiah, bukan proyek asal jadi.

5. Transparansi anggaran dan keterlibatan publik

Bencana sering menjadi ladang korupsi terselubung. Masyarakat harus ikut mengawasi.


Penutup: Jangan Tunggu Musibah Berikutnya

Musibah banjir Aceh 2025 bukan akhir, melainkan awal dari kesadaran baru. Kita harus kembali kepada Allah, memperbaiki moral sosial, memperkuat kepemimpinan, dan menjaga alam sepenuh hati.

Jika manusia menjaga bumi, bumi akan menjaga manusia.
Jika manusia mengkhianatinya, bumi akan melawan.

Allah SWT mengingatkan:

“Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum, sebelum mereka mengubah apa yang ada pada diri mereka.”
(QS. Ar-Ra’d: 11)

Artinya, perubahan tidak datang dari langit. Ia datang dari hati, dari tindakan, dari keberanian untuk memperbaiki kesalahan.

Semoga banjir Aceh 2025 bukan hanya catatan sejarah, tetapi batu loncatan menuju Aceh yang lebih bermartabat, bersih, hijau, dan beriman. Semoga kita kembali menjadi khalifah Allah di bumi, bukan perusak yang ditangisi alam.


Aceh harus bangkit. Aceh harus bersatu. Aceh harus menjaga alam.

Karena menjaga alam adalah ibadah, dan mengkhianatinya adalah dosa.

Penulis Azhari