Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Hutan Dibabat, Banjir Melanda — Siapa Bertanggung Jawab

Selasa, 09 Desember 2025 | 22:20 WIB Last Updated 2025-12-09T15:21:32Z




Banjir besar yang menenggelamkan berbagai daerah di Aceh pada akhir 2025 kembali memperlihatkan wajah paling keras dari luka ekologis yang selama ini diabaikan. Air bah datang bukan karena sekadar hujan lebat, tetapi karena hutan-hutan di pegunungan Aceh selama bertahun-tahun dibabat habis. Sungai kehilangan penyangga, tanah kehilangan penahan, dan bumi kehilangan keseimbangannya.

Pertanyaan yang menggema di tengah jeritan masyarakat pengungsi dan tenda darurat adalah:
Siapa yang harus bertanggung jawab?
Apakah ini semata bencana alam? Atau ini adalah akibat dari kesalahan politik yang sistematis dan keserakahan yang dilegalkan oleh kebijakan negara?

Mari kita jawab dengan jujur: Banjir Aceh bukan sekadar musibah alam—ini adalah bencana politik.


Hutan Hancur, Bangsa Terpuruk

Aceh yang dulu dikenal sebagai paru-paru Sumatera kini hanya tinggal cerita. Pembalakan liar merajalela di Aceh Timur, Aceh Tamiang, Bener Meriah, Aceh Tengah, Aceh Utara, Aceh Besar, dan berbagai wilayah lain. Izin tambang batubara, emas, dan galian C diberikan tanpa kontrol. Perkebunan sawit meluas menggusur hutan tropis.

Lebih menyakitkan lagi: semua ini terjadi dengan legalitas pemerintah.
Penebang hutan yang dulu disebut pelaku kriminal, kini berubah menjadi pengusaha yang dilindungi oleh surat izin resmi dan restu politik.

Jika alam menangis, bukan karena ia lemah, tetapi karena ia dikorbankan bagi keuntungan segelintir elit.
Dan ketika bencana datang, rakyat yang menanggung derita, sementara para pemilik modal menikmati kenyamanan.


Banjir Adalah Produk Keputusan Politik

Kita tidak bisa lagi bersembunyi di balik alasan klasik: “Ini takdir Allah, kita harus sabar.”
Benar, takdir Allah adalah kepastian, tetapi kerusakan alam adalah hasil dari pilihan manusia.

Dalam perspektif politik lingkungan, banjir seperti ini adalah:

  • hasil dari perencanaan tata ruang yang gagal,
  • hasil dari izin industri yang mengabaikan kajian lingkungan,
  • hasil dari lemahnya penegakan hukum terhadap illegal logging,
  • hasil dari korupsi dan permainan proyek,
  • dan hasil dari pemimpin yang lebih sibuk membangun pencitraan daripada membangun solusi.

Ketika pemerintah memberi izin pembalakan,
ketika dinas terkait menutup mata terhadap tambang ilegal,
ketika aparat keamanan terlibat dalam praktik mafia kayu,
ketika anggaran reboisasi dikorupsi,
maka banjir bukan bencana alam—ia adalah akibat politik yang busuk.

Dan karena ini konsekuensi politik, maka harus ada pertanggungjawaban politik.


Siapa Bertanggung Jawab?

Ada beberapa pihak yang tidak bisa lari dari tanggung jawab:

1. Pemerintah Daerah

Pemda memiliki kewenangan untuk mengatur ruang, memberi izin, dan menindak pelanggaran. Namun, apa yang terjadi?
Banyak kepala daerah menandatangani izin penebangan dan tambang dengan alasan ekonomi. Janji “buka lapangan kerja” berubah menjadi pembenaran eksploitasi. Dan ketika banjir datang, mereka berdiri di depan kamera, memakai rompi BPBD, membagikan mie instan, dan berbicara manis seolah pahlawan.

Padahal merekalah yang menandatangani kehancuran lingkungan.

2. DPR dan Pembuat Regulasi

Dimanakah wakil rakyat ketika hutan dihancurkan?
Mengapa tidak ada tegasnya pengawasan?
Mengapa setiap tahun ada anggaran penanggulangan banjir, tapi banjir semakin parah?

Jika anggota dewan tidur ketika izin tambang disahkan, mereka harus bangun saat rakyat tenggelam.

3. Aparat Penegak Hukum

Semua orang tahu bahwa illegal logging berjalan mulus karena ada backing.
Mafia kayu tidak mungkin bekerja tanpa perlindungan.
Ke mana aparat selama ini?
Mengapa pelaku di lapangan yang ditangkap, sementara dalang besar tidak tersentuh?

Hukum tidak lagi melindungi hutan—hukum melindungi pelaku perusak hutan.

4. Pengusaha dan Kartel Sumber Daya

Banjir tidak akan terjadi jika tidak ada yang menikmati uang hasil penebangan.
Pemilik tambang, pemilik perusahaan kayu, konglomerat perkebunan sawit—mereka menghirup kekayaan dari akar yang dicabut dan tanah yang dibiarkan mati.

Saat rakyat menangis di pengungsian, mereka tertawa di ruangan ber-AC menghitung keuntungan.

5. Masyarakat

Ya, masyarakat juga punya andil.
Banyak warga ikut menebang pohon karena kebutuhan ekonomi.
Banyak yang membuang sampah ke sungai, menutup parit, dan menganggap lingkungan bukan prioritas.

Namun, kesalahan rakyat adalah buah dari kebijakan negara yang gagal memberi pendidikan dan ekonomi yang adil.


Politik Seremonial di Atas Penderitaan

Setiap bencana, politisi datang seperti pahlawan kesiangan:

  • membawa kamera, bukan solusi,
  • membagi sembako, bukan kebijakan strategis,
  • memposting konten empati, bukan melakukan tindakan nyata.

Air mata korban sering kali hanya menjadi panggung pencitraan.
Setelah tenda pengungsian dibongkar, isu bencana menghilang.
Dan mesin penebang kembali beroperasi dengan lebih rakus daripada sebelumnya.

Inilah wajah politik kita—politik yang hanya hadir setelah bencana, bukan sebelum bencana.


Saatnya Menuntut Pertanggungjawaban

Rakyat Aceh tidak membutuhkan pidato panjang, tidak butuh janji baru.
Rakyat membutuhkan langkah nyata dan keberanian politik.

Beberapa tuntutan yang harus diperjuangkan:

1. Audit terbuka semua izin tambang dan penebangan hutan

Publikasikan ke masyarakat siapa pemiliknya, apa dampaknya, berapa luas eksploitasi, dan bagaimana pengawasannya.

2. Cabut izin perusahaan yang terbukti merusak lingkungan

Tanpa kompromi.

3. Penegakan hukum penuh terhadap mafia hutan

Bukan hanya menangkap operator chainsaw, tetapi menangkap aktor politik dan mafia besar.

4. Reboisasi besar-besaran dan pemulihan DAS

Menanam pohon bukan seremoni tahunan untuk foto, tetapi program nyata yang diawasi publik.

5. Prioritaskan infrastruktur mitigasi bencana

Bendungan, normalisasi sungai, dan tata ruang berbasis sains.

6. Transparansi anggaran penanggulangan banjir

Stop menjadikan bencana sebagai industri keuntungan.


Penutup: Banjir adalah Cermin Kepemimpinan

Ketika air membanjiri rumah rakyat, hakikat kepemimpinan terungkap.

Pemimpin yang datang hanya membawa bantuan konsumtif adalah pemimpin yang reaktif. Pemimpin yang berani menutup tambang dan memulihkan hutan adalah pemimpin yang visioner.

Banjir Aceh 2025 adalah ujian moral:

  • Apakah kita akan tetap menjadi korban sepanjang waktu?
  • Atau kita berani menuntut perubahan dan pertanggungjawaban?

Sejarah membuktikan: bangsa yang diam akan terbenam.
Bangsa yang berani bersuara akan bangkit.

Dan Aceh harus memilih:
Menjadi penonton dari kehancuran alam, atau menjadi pejuang penyelamatan masa depan.

Karena pada akhirnya, banjir bukan tentang air yang meluap.
Banjir adalah tentang keserakahan yang meluap dan keberanian yang mengering.


Hutan dibabat, banjir melanda — maka pemimpin harus bertanggung jawab.

Jika tidak, rakyat akan menagihnya di jalan, di suara publik, dan di bilik demokrasi.

Semoga bermanfaat