Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Mimpi Merdeka dalam Bencana Aceh

Rabu, 17 Desember 2025 | 22:54 WIB Last Updated 2025-12-17T15:54:42Z



Aceh merdeka pernah menjadi mimpi besar—lahir dari luka panjang sejarah, dari darah yang tumpah, dari ketidakadilan yang diwariskan lintas generasi. Mimpi itu dulu dipanggul di hutan, disuarakan di pedalaman, dan disimpan rapat di dada rakyat. Namun hari ini, di tengah bencana yang berulang—banjir, longsor, rumah hanyut, sawah tenggelam—pertanyaan getir itu muncul kembali: merdeka yang mana yang sedang kita impikan?

Bencana membuka topeng realitas. Ia tidak mengenal slogan, tidak tunduk pada romantisme sejarah. Ketika air naik dan tangis anak-anak pecah, yang diuji bukan lagi ideologi, melainkan kapasitas negara—dan elit lokal—melindungi warganya. Di saat seperti ini, mimpi merdeka terasa jauh, bahkan kabur. Sebab yang dibutuhkan rakyat adalah keselamatan hari ini, bukan nostalgia kemarin.

Aceh pernah berperang demi martabat. Namun setelah damai, martabat itu seharusnya menjelma dalam tata kelola: hutan yang dijaga, sungai yang dirawat, izin yang diawasi, dan anggaran yang jujur. Ironisnya, bencana hari ini justru menyingkap kemerdekaan yang timpang—merdeka dari tanggung jawab, tetapi terikat pada kepentingan. Hutan dibabat atas nama investasi, sungai dipersempit oleh keserakahan, dan rakyat dibiarkan menanggung akibatnya.

Di titik ini, wacana Aceh merdeka sering disalahpahami. Ia direduksi menjadi simbol—bendera, yel-yel, atau ingatan heroik. Padahal esensinya adalah kedaulatan atas hidup: aman dari bencana yang dibuat manusia, adil dalam akses bantuan, dan berdaulat atas sumber daya alamnya sendiri. Merdeka bukan soal berpisah, melainkan berdaya.

Bencana juga menguji siapa yang benar-benar bersama rakyat. Di tenda pengungsian, ideologi luluh. Yang bermakna adalah air bersih, selimut, obat, dan kehadiran yang tulus. Ketika relawan bergerak lebih cepat daripada birokrasi, rakyat mencatat dengan sunyi: ada jarak antara negara dan warga, bahkan di tanah yang katanya istimewa.

Mimpi merdeka dalam bencana seharusnya berubah arah. Dari merdeka politik menuju merdeka ekologis dan sosial. Merdeka dari kebijakan yang merusak alam, dari korupsi anggaran kebencanaan, dari pemimpin yang datang hanya saat kamera menyala. Merdeka untuk hidup aman di tanah sendiri.

Aceh tidak kekurangan keberanian. Yang kurang adalah kejujuran mengakui kesalahan dan ketegasan memperbaiki arah. Jika mimpi merdeka masih ingin dirawat, rawatlah ia dengan tindakan: tegakkan hukum lingkungan, pulihkan hutan, perkuat desa, dan hadirkan negara—bukan hanya dalam pidato, tetapi dalam perlindungan nyata.

Sebab pada akhirnya, rakyat Aceh tidak sedang meminta sejarah diulang. Mereka hanya ingin satu hal sederhana namun mulia: hidup bermartabat di tanah yang mereka cintai. Jika itu terwujud, barulah mimpi merdeka menemukan maknanya—bukan di tengah bencana, tetapi di atas keselamatan.


Penulis AZHARI