Ketika Banjir dan Hutan Mengadili Kita
Setiap kali banjir datang, kita menangis. Kita menyalahkan hujan, menyalahkan takdir, menyalahkan alam. Tetapi jarang kita berani menunduk, menatap cermin, dan bertanya: siapa sebenarnya penyebab banjir itu?
Air tidak pernah berdusta. Ia datang membawa pesan tentang kesalahan manusia dan arah moral sebuah bangsa.
Banjir yang merendam begitu banyak wilayah dalam beberapa tahun terakhir bukan hanya fenomena cuaca ekstrem. Ia adalah sidang terbuka, di mana hutan menjadi saksi dan air menjadi hakim. Dan yang duduk sebagai terdakwa adalah kita sendiri—masyarakat, pemerintah, dan para penguasa ekonomi yang menjadikan alam sebagai objek eksploitasi tanpa batas.
Hutan Gundul, Air Menggulung
Sungai meluap bukan karena ia ingin. Ia meluap karena tanah tak lagi mampu memeluk air.
Gunung tak mampu lagi menahan curahan hujan karena pohon yang seharusnya menjaga dan menyerap, sudah ditebang dan diganti dengan keuntungan jangka pendek.
Ketika hutan dikorbankan untuk:
- Tambang,
- Proyek ekonomi jangka pendek,
- Kepentingan politik anggaran,
- Bisnis ilegal yang dilindungi kekuasaan,
Maka banjir menjadi konsekuensi logis, bukan musibah.
Banjir adalah cara alam menagih janji yang kita khianati. Pohon-pohon yang ditebang hari ini akan berubah menjadi air yang menenggelamkan kita esok hari.
Alam tidak membalas dendam—ia hanya mengembalikan apa yang kita lakukan kepadanya.
Musibah sebagai Cermin Moral
Banjir membuka dua realitas sekaligus:
- Betapa tamaknya manusia.
- Betapa lemahnya jiwa kepemimpinan kita.
Kepemimpinan yang hanya pandai berpidato, tetapi tidak berani menindak perusak hutan.
Kepemimpinan yang hadir di depan kamera, tetapi tidak hadir saat masyarakat tenggelam dalam penderitaan.
Kepemimpinan yang sibuk membangun proyek mercusuar, tetapi lupa bahwa fondasi peradaban adalah keseimbangan alam.
Rakyat diminta bersabar, tapi tak ada yang meminta penguasa bersikap tegas.
Rakyat dikorbankan, mafia hutan dilindungi.
Dan banjir menjadi pengingat bahwa krisis moral lebih berbahaya daripada badai dan hujan deras.
Musibah sebagai Pengadilan Politik
Banjir juga menguji politik kita. Banjir adalah barometer: apakah pemerintah bekerja untuk rakyat atau untuk kepentingan pemodal?
Pertanyaannya tegas dan sederhana:
- Mengapa izin pembalakan bisa keluar dengan mudah?
- Mengapa penegakan hukum terhadap perusak lingkungan begitu tumpul?
- Mengapa rehabilitasi hutan hanya menjadi program tulisan di atas kertas?
- Mengapa bencana selalu digunakan sebagai panggung pencitraan?
Jika pemerintah hanya datang saat kamera menyala, itu bukan kepemimpinan—itu pertunjukan sandiwara.
Jika kebijakan hanya lahir setelah tragedi, itu bukan perencanaan—itu penyesalan yang terlambat.
Air mengajarkan sesuatu:
bahwa masa depan tidak ditentukan oleh berapa banyak gedung yang dibangun, melainkan berapa banyak hutan yang diselamatkan.
Moralitas Baru dalam Mengelola Alam
Ada dua pilihan:
- Terus menghancurkan hutan dan menunggu banjir berikutnya, atau
- Berani membangun peradaban baru yang berlandaskan etika lingkungan.
Solusi tidak sulit—yang sulit hanyalah keberanian politik:
- Tegakkan hukum tanpa pandang bulu pada mafia kayu dan perusak lingkungan.
- Hentikan proyek ekonomi yang mengorbankan keseimbangan ekologis.
- Reboisasi massif berbasis desa dan masyarakat adat.
- Transparansi publik dalam izin pemanfaatan kawasan.
- Jadikan perlindungan hutan sebagai agenda moral, bukan program formal.
Bangsa yang menghormati alam akan dihormati alam.
Bangsa yang merusak alam akan dihancurkan alam.
Banjir bukan musibah—ia adalah peringatan keras.
Air bukan datang untuk menghancurkan, tetapi untuk mengingatkan kita tentang kesalahan yang kita biarkan terlalu lama.
Jika setelah semua ini kita tidak berubah, maka kita tidak layak menyalahkan siapa pun ketika banjir kembali merenggut nyawa, ekonomi, dan masa depan.
Hari ini alam mengetuk pintu kita dan bertanya:
Apakah kita akan memilih akal sehat dan moralitas, atau terus berjalan menuju kehancuran yang kita ciptakan sendiri?
Di tengah kesedihan ini, ada satu harapan:
Jika kita berani memperbaiki kesalahan, maka banjir yang menyakitkan ini akan menjadi titik awal peradaban yang lebih bermartabat.