Banjir besar yang menerjang pada 26 September 2025 tidak hanya merendam rumah, ladang, dan jalanan di berbagai kecamatan di Kabupaten Bireuen, tetapi juga merendam harapan dan kekuatan sosial masyarakat yang selama ini mencoba bertahan dari hantaman masalah ekonomi pasca pandemi dan krisis politik yang berkepanjangan. Air bah kembali menguji kesabaran dan ketahanan rakyat—namun di saat yang sama, menguatkan keyakinan bahwa persoalan banjir bukan lagi persoalan alam, tetapi persoalan tata kelola yang buruk dan kegagalan dalam membaca tanda-tanda zaman.
Bencana ini bukan sekadar musibah rutin tahunan. Ia adalah alarm keras yang memaksa kita berkaca: apakah banjir adalah takdir, ataukah hasil dari ketidakpedulian dan kelalaian kolektif?
Banjir yang Berulang, Kesalahan yang Sama
Setiap datang musibah, pola yang terjadi selalu sama:
- Sirene berbunyi,
- Pemerintah muncul dengan rombongan kamera,
- Bantuan darurat dibagikan,
- Doa bersama diadakan,
- Lalu semuanya kembali seperti semula.
Tidak ada evaluasi menyeluruh. Tidak ada transparansi penyebab. Tidak ada perubahan sistemik.
Dan lebih menyedihkan lagi, masyarakat kembali dituntut untuk sabar, seakan kesabaran adalah solusi teknis untuk manajemen bencana.
Jika setiap tahun terjadi banjir, maka tidak lagi tepat untuk menyebutnya sebagai musibah alam. Ini sudah menjadi musibah kebijakan.
Tiga Akar Masalah yang Tidak Pernah Diselesaikan
1. Kerusakan Daerah Aliran Sungai (DAS) yang Tak Terkendali
Pembalakan liar masih terjadi, baik secara resmi maupun terselubung. Gunung dan hutan yang seharusnya menjadi penyangga air telah berubah menjadi komoditas ekonomi sesaat. Tanpa hutan, air mengalir deras tanpa kendali, membawa lumpur dan sedimentasi yang membuat sungai dangkal dan mudah meluap.
2. Tata Ruang yang Semakin Menyempitkan Ruang Air
Daerah resapan dijadikan kawasan pemukiman dan bisnis. Rawa direklamasi tanpa pengendalian. Ruang air diserobot oleh ruang ekonomi, dan pada akhirnya air mengambil kembali ruangnya dengan cara yang menyakitkan.
3. Lemahnya Sistem Mitigasi dan Manajemen Bencana
BPBD sering bekerja seperti pemadam kebakaran yang datang setelah api membesar, bukan sebagai lembaga pengendali risiko bencana.
Tidak ada early warning system modern.
Tidak ada zonasi rawan banjir berbasis data terbaru.
Tidak ada latihan kesiapsiagaan masyarakat.
Ketika lembaga strategis dipimpin bukan oleh ahlinya, tetapi oleh mereka yang dipilih berdasarkan kedekatan politik, maka yang menjadi korban pertama adalah rakyat kecil.
Dampak Sosial yang Kerap Terlupakan
Bencana tidak hanya merusak fisik, tetapi juga mental dan masa depan sosial masyarakat.
- Petani kehilangan sumber hidup karena sawah terendam dan gagal panen.
- Anak sekolah terpaksa belajar di pengungsian atau terhenti total.
- Orang tua kehilangan kemampuan memberi nafkah.
- Pelaku UMKM terjerembab pada kebangkrutan.
Banjir bukan hanya membuat orang kehilangan rumah, tetapi kehilangan rasa aman, harga diri, dan harapan masa depan.
Mendesak! Perubahan Strategis dan Sistematis
Solusi Jangka Pendek yang Realistis
- Normalisasi sungai dan pengerukan sedimentasi.
- Pembersihan drainase dan saluran sekunder di setiap kecamatan.
- Pendataan digital titik banjir dan monitoring curah hujan real-time.
- Penguatan BPBD dengan tenaga profesional dan peralatan modern.
- Pembentukan posko masyarakat siaga bencana berbasis gampong.
Solusi Jangka Panjang yang Berkelanjutan
- Reboisasi massif dan penegakan hukum lingkungan tanpa kompromi.
- Tata ruang berbasis kajian ilmiah dan risiko bencana.
- Pembangunan embung desa, bendungan kecil, dan kanal penahan banjir.
- Integrasi mitigasi bencana dalam kurikulum pendidikan.
- Reformasi kepemimpinan lembaga kebencanaan:
Bupati ke depan wajib menempatkan kepala BPBD dari kalangan profesional yang berpengalaman. Bencana tidak bisa dikelola oleh ketidakmampuan.
Tidak ada pembangunan yang bermakna jika setiap hujan deras selalu berarti pengungsian massal.
Musibah sebagai Cermin Moral dan Politik
Banjir 26 September 2025 mengajarkan satu hal penting:
Air datang untuk mengingatkan bahwa kita pernah membuat kesalahan.
Kesalahan karena:
- Pembangunan yang hanya berorientasi pencitraan.
- Kebijakan yang mengorbankan lingkungan untuk kepentingan segelintir elit.
- Pemerintah yang lebih cepat bergerak mengurus proyek daripada mengurus rakyat.
Bila kita tidak berubah hari ini, maka banjir tahun depan bukan lagi bencana alam— melainkan kejahatan sosial akibat kelalaian pemerintahan dan ketidakpedulian publik.
Saatnya Bergerak, Bukan Menyalahkan
Musibah harus menjadi titik balik.
Bukan untuk mencari kambing hitam, tetapi untuk membangun kesadaran kolektif dan keberanian mengambil keputusan sulit demi masa depan yang lebih aman.
Bireuen, Aceh, dan bangsa ini akan diuji bukan oleh derasnya air, tetapi oleh keberanian kita menolak siklus bencana yang diciptakan oleh kita sendiri.
Tidak ada yang lebih menyedihkan daripada mengulang kesalahan yang sama setiap tahun dan mengharapkan hasil yang berbeda.
Semoga tragedi ini membuka mata semua pihak, dan semoga ini menjadi banjir terakhir yang kita sebut sebagai musibah—karena setelah ini, kita memilih untuk belajar, memperbaiki, dan bertindak.