Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

MEGA PROYEK BELANDA Buka Jalan Gayo (Bireuen-Takengon) di Tahun 1902, Ribuan Nyawa Dikorbankan.

Senin, 24 Agustus 2020 | 00:34 WIB Last Updated 2020-08-23T17:34:09Z

Jalan Bireuen-Takengon yang dikenal dengan sebutan jalan Gayo atau jalan Takbir, merupakan salah satu akses dari pesisir utara Aceh menuju ke Dataran Tinggi Gayo maupun sebaliknya. Akses jalan ini kini berstatus jalan nasional dimana pemeliharaannya menggunakan anggaran APBN.

Namun, jalan yang kini mulus ternyata awalnya dibuka dengan susah payah. Menurut catatan sejarah, tentang bagaimana sejarah pembukaan jalan Gayo tersebut dimulai. Adalah penjajah Belanda yang memulai pembukaan jalan tersebut pada tahun 1902 silam.

Lebih dari itu, banyak diantara kita saat ini tak mengetahui bagaimana sulitnya jalan tersebut dibuat. Sampai-sampai, ribuan nyawa rakyat Aceh khususnya pesisir utara dan Gayo menjadi korban kerja paksa penjajah Belanda.

Saat ini kita tidak sedang membahas bagaimana jalan tersebut dibangun hingga mengorbankan ribuan nyawa. Namun begitu, sejarah pembukaan jalan Gayo dapat dibaca pada link ini : “Berijin” Untuk Ribuan Nyawa Pembuka Jalan Gayo.

Pada tulisan ini kita akan mengupas berapa biaya yang digelontorkan Kerajaan Hindia Belanda untuk membuka akses ke pedalaman Gayo yang kaya akan sumber daya alamnya itu.

Boleh dikatakan, pembukaan jalan Gayo oleh Belanda pada saat itu merupakan mega proyek penjajah untuk mengeruk hasil bumi Gayo. Tentunya pembukaan jalan ini dikerjakan oleh kontraktor yang belum mengenal “fee” seperti yang berlaku saat ini.

Salah seorang pemerhati sejarah Gayo, Zulfikar Ahmad Aman Dio yang dalam beberapa tahun ini intens melakukan studi literasi lewat buku-buku berbahasa Belanda mengungkapkan, sebelum pembangunan Jalan Gayo, akses yang ditempuh adalah melalui Lokop Serbejadi menuju Perlak dan Tamiang.

“Lokop Serbejadi merupakan titik distribusi barang dan jasa ketika itu. Jarak Lokop-Blangkejeren lebih dekat dibanding Takengon-Lokop. Pertumbuhan ekonomi dan perkembangan daerah Lokop dan Gayo Lues jauh lebih maju dibanding Gayo Lut (Aceh Tengah & Bener Meriah),” kata Zulfikar Ahmad beberapa tahun lalu.

Lebih lanjut dia menerangkan, selama 12 tahun mulai tahun 1902 Belanda membangun jalan Gayo dan selesai pada tahun 1914. Pada awalnya seluruh proses pembangunannya menggunakan alat-alat sederhana seperti cangkul, sekop, pahat, pangki dan lainnya. Saat meratakan tanah ada kalanya cangkul membentur batu cadas, maka pengalian tanah dilanjutkan disekitar batu sampai kemiringan/kelandaian jalan sesuai dengan yang diinginkan. Proses selanjutnya, memahat batu-batu cadas seinci demi seinci sampai rata dengan jalan,” terangnya.

“Entah berapa banyak darah yang tumpah, entah berapa banyak peluh dan air mata disepanjang jalan ini. Ribuan keluarga kehilangan orang-orang yang mereka cintai. Jalan ini dibangun dengan nyawa Muyang Datu,” tambahnya.

Zulfikar menambahkan, bahwa pembangunan jalan Gayo itu menghabiskan dana milyaran rupiah perkilometernya. Dalam setiap kilometer, Belanda menggelontorkan uang sekitar 20 ribu Gulden. Sedangkan biaya perawatannya sekitar 500 Gulden per kilometer.

“Pada tahun 1916, dengan 40.000 Gulden diperoleh emas seberat 5,6 Kg. Diperkirakan biaya pembangunan jalan Gayo setara dengan Rp. 1,99 Milyar/KM, atau kurang lebih sekitar 204 milyar; dengan biaya pemeliharaan setara dengan Rp. 1,6 Juta/KM (konversi harga emas pada tanggal (15/08/2019) ; Rp.712.992.000/Kg,” rinci Zulfikar Ahmad.

Lalu kenapa Belanda rela mengeluarkan dana sebanyak itu hanya untuk membuat akses ke pedalaman Gayo? Zulfikar Ahmad juga memberikan pandangannya. Menurutnya, paska dibukanya jalan itu terjadi revolusi industri yang dilakukan Belanda. Dana yang dikeluarkan belum seberapa dengan apa yang mereka hasilkan di bumi Gayo.

“Perubahan cepat terjadi setelah selesai pembanguan jalan Gayo (Gajoweg) pada tahun 1914. Roda ekonomi mulai diputar, para pekerja dari luar Gayo didatangkan secara bertahap, industri terpentin didirikan, sarana trasportasi berubah dari tenaga manusia (tandu) ke kereta kuda dan terakhir mobil mulai digunakan untuk datang ke Gayo,” ungkapnya.

Bukan hanya itu, Belanda juga memacu sektor pertanian dan pariwisata. Danau Lut Tawar merupakan destinasi wisata andalan sejak lebih dari 100 tahun lalu Sarana pendukung seperti telpon juga mulai beroperasi pada tahun 1930.

“Lebih jauh Belanda juga melakukan penelitian ilmiah. Berton-ton getah damar diangkut keluar dari Gayo. Rakyat semakin tertindas,” katanya.
Namun, katanya lagi, masyarakat Gayo tak tinggal diam. Perlawanan untuk keluar dari penindasan terus dilakukan dan intensitasnya semakin tinggi. “Mengantisipasi perlawanan itu, Belanda mulai membagi wilayah. Wilayah Reje Cik, Reje Bukit, Syiah Utama (Gayo Lut) dan Linge (Gayo Deret) dibawah Pos Komando Takengon, sedangkan untuk Kejurun Aboq dan Petiambang memiliki pos komando masing-masing.Benteng-benteng pertahanan didirikan di Belang Rakal, Pining dan Trangon, sedang benteng-benteng (mobile) terletak di Samar Kilang dan Jamat,” jelas Zulfikar Ahmad.

Ia berpesan kepada generasi Aceh dan Gayo saat ini, untuk mengenang kembali jasa-jasa leluhur mereka dalam membangun jalan Gayo. Meski dibangun dengan dana besar, namun ribuan nyawa dan peluh keringat leluhur masih tersisa disepanjang ruas jalan itu sampai dengan detik ini.

“Jngan lupa ingatkan anak-anak kita dalam aliran darah, daging dan tulangnya dan setiap suapan makanan yang mereka makan dari tanah nenek moyangnya, ada bagian jerih payang Muyang Datu maka do’a kan mereka, doakan orang-orang tua kita yang telah dipaksa bekerja dalam pembukaan jalan Gayo.

Copas graup facebook