Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

MURID-MURID NABAWI

Senin, 21 Desember 2020 | 00:50 WIB Last Updated 2020-12-20T17:50:02Z
Sebelum kedatangan Imam Asy Syafi’i (150-204 H) ke Kairo, adalah tiga orang murid Imam Malik ibn Anas (93-185 H) yang menjadi muara rujukan bagi kemusykilan penduduk Mesir dan Afrika pada umumnya di zaman itu. Mereka adalah ‘Abdullah ibn Wahab (125-197), ‘Abdurrahman ibn Al Qasim (128-191), dan Asyhab ibn ‘Abdil ‘Aziz Al Qaisi (150-204).

Mereka, murid-murid Nabawi.

Suatu hari, antara Imam Asyhab dan Imam Ibn Al Qasim terjadi perbedaan pendapat tajam atas suatu persoalan. Maka berkatalah Asyhab, “Aku mendengar Malik berkata begini”. Ibn Al Qasim menimpali, “Justru aku mendengar Malik tidak berkata seperti itu, melainkan begini.”

“Aku bersumpah”, ujar Asyhab yang termuda itu dengan suara meninggi, “Bahwa ucapanmu itu keliru!”

“Dan akupun bersumpah”, sahut Ibn Al Qasim, “Bahwa engkau salah!”

Siapakah yang sanggup menjadi hakim jika dua orang yang ‘alimnya ‘alim dan faqihnya faqih ini berselisih? Dialah Imam Ibn Wahab. Beliaulah satu-satunya. Apakah hal ini tersebab usianya yang lebih tua daripada kedua rekannya?

Bukan. Bukan tersebab umur beliau disepakati untuk menengahi perdebatan kedua Imam besar tersebut. Ibn Wahab menjadi pengadil semata-mata karena beliaulah murid Malik yang paling tekun dan teliti mencatat setiap kata yang keluar dari lisan Sang Guru. Catatannya pun adalah yang paling rapi dan paling lengkap. Dan Imam Malik mencintainya melebihi murid manapun.

“Malik adalah seorang guru yang keras”, tutur para murid lain, “Tak ada yang selamat dari sifat kerasnya kecuali Ibn Wahab.”

Bagaimanakah mula kiranya kasih sayang Imam Malik tumbuh bagi Ibn Wahab? 
Alkisah, suatu hari rombongan kafilah dari India sampai di Madinah. Di antara rombongan itu terdapat beberapa ekor gajah dengan derap yang menggemparkan dan suara nyaring memekakkan. Majelis Imam Malik di Masjid Nabawi pun bubar. Para murid berhamburan keluar tersebab rasa penasaran dan tertarik pada gajah-gajah dalam kafilah. Hanya satu pelajar yang tetap duduk sembari terus mencatat dengan rapi. Dialah Ibn Wahab.

“Apa kau tak ingin melihat gajah Nak?”, 
tanya Imam Malik.

“Duh Guru”, jawab Ibn Wahab dengan ta’zhim, “Aku jauh-jauh datang dari Mesir untuk melihatmu dan menyimakmu. Bukan untuk menyaksikan gajah.”

Begitulah, selama 20 tahun berikutnya di Madinah, Ibn Wahab selalu berada di sisi Malik dan mencatat segala hal yang meluncur dari lisan mulia sang Imam Daril Hijrah, menguntainya bagai silsilah mutiara, serta menyusunnya dengan teratur agar mudah dipelajari lagi.

Kembali ke Mesir, jadi apa keputusan Ibn Wahab atas sengketa pemahaman antara Asyhab dan Ibn Al Qasim?

“Kalian berdua benar, tapi kalian berdua keliru, dan kalian berdua bersalah”, ujar Ibn Wahab. Apa maksudnya? “Kalian berdua benar karena Malik pernah menyampaikan kedua pendapat itu pada kesempatan berbeda. Namun kalian berdua keliru ketika saling menyalahkan. Dan kalian berdua bersalah atas sumpah yang kalian ucapkan dalam membenarkan diri dan mengkelirukan rekannya”, jelas beliau.

MasyaAllah, sebuah ketelitian pencatatan membuahkan penghakiman yang adil, lengkap, dan tuntas. Rahimahumullahu ajma’in.

Maka hari ini kita belajar; hanya karena mengambil pendapat seorang ‘ulama; tidaklah pada tempatnya bermudah-mudah menyalahkan orang lain yang memilih pendapat ‘ulama lain. Jika hujjah sudah bertemu hujjah, hujat-menghujat tak lagi mendapat tempat.

Copas 

(Ustadz Salim A. Fillah)