Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Pesan Konflik Masa Lalu, Untuk Generasi Muda Masa Depan Aceh

Selasa, 08 Juli 2025 | 12:29 WIB Last Updated 2025-07-08T05:29:27Z


Prolog: Luka yang Tak Pernah Luruh

Sejarah Aceh bukan sekadar tentang deretan nama-nama pahlawan, bukan hanya soal peperangan dan benturan senjata, tetapi tentang bagaimana sebuah bangsa kecil di ujung barat Nusantara mampu bertahan, meski berkali-kali diterpa badai penjajahan, intrik politik, hingga konflik internal. Aceh adalah negeri luka, tapi juga negeri pelajaran. Negeri kecil yang oleh dunia pernah disebut “Serambi Makkah” itu, menyimpan banyak kisah yang belum selesai dituturkan.

Konflik bersenjata yang pernah membakar bumi Aceh selama lebih dari tiga dekade bukan hanya meninggalkan puing-puing bangunan yang roboh dan kuburan massal, tetapi juga menyisakan trauma yang sulit dihapus dari ingatan kolektif rakyat Aceh. Kini, dua puluh satu tahun sudah damai diteken di Helsinki, tapi apakah benar Aceh benar-benar damai? Ataukah hanya sekadar tiada suara peluru, tapi dentuman konflik sosial, ekonomi, dan politik masih berdesing di telinga rakyatnya?

Tulisan ini ingin menjadi catatan kecil, sekaligus pesan bagi generasi muda Aceh hari ini. Sebab di pundak merekalah, nasib negeri ini dititipkan. Dan hanya mereka yang memahami sejarahnya, yang mampu menentukan ke mana arah perahu Aceh berlayar ke depan.


Membuka Luka Tanpa Membalas Dendam

Konflik Aceh bukan cerita dongeng. Ia nyata. Ribuan orang kehilangan nyawa, puluhan ribu rumah hangus terbakar, desa-desa menjadi sunyi, dan banyak anak tumbuh tanpa orang tua. Konflik bersenjata antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan Pemerintah Indonesia bukan sekadar perang ideologi, tetapi juga akumulasi dari ketidakadilan struktural, marginalisasi ekonomi, dan kekecewaan mendalam terhadap janji-janji politik yang terus diingkari.

Generasi muda Aceh harus tahu, bahwa konflik masa lalu bukanlah kebanggaan, tetapi pelajaran. Kita tidak boleh menghapus atau menutupi luka itu seakan-akan tidak pernah terjadi. Namun, membuka luka itu juga bukan untuk menyulut dendam, melainkan untuk memahami akar masalahnya, agar kesalahan yang sama tak terulang di masa depan.

Banyak hal yang bisa dipetik dari peristiwa itu: pentingnya ruang demokrasi, pentingnya keadilan sosial, pentingnya pemerataan pembangunan, dan pentingnya pemerintah mendengar suara rakyatnya, sebelum api kecil berubah menjadi kobaran yang membakar segalanya.


Ketika Senjata Diam, Tapi Ancaman Baru Menyergap

Dunia menyambut gembira saat MoU Helsinki ditandatangani pada 15 Agustus 2005. Seakan mimpi buruk itu telah usai. Tapi damai tak selalu berarti selesai. Konflik bisa saja bertransformasi ke bentuk lain. Bila dulu rakyat Aceh dihantui dentuman senjata, kini mereka menghadapi konflik sosial-ekonomi yang tak kalah berbahaya.

Ketimpangan pembangunan antarwilayah masih terasa. Pengangguran pemuda masih tinggi. Akses pendidikan masih timpang. Kemiskinan masih membayangi sebagian besar rakyat di pedesaan. Di sisi lain, elit politik lokal seakan larut dalam euforia kekuasaan, sibuk memperkaya diri, dan sering lupa dengan janji-janji perjuangan dulu.

Generasi muda Aceh harus peka membaca ini. Jangan sampai damai yang diwariskan hanya menjadi panggung bagi elit, sementara rakyat kecil tetap menanggung derita. Jangan biarkan sejarah Aceh diulang dalam babak baru: kemiskinan yang abadi, ketidakadilan yang diwariskan, dan kekuasaan yang kembali menindas.


Ketika Sejarah Mulai Dilupakan

Ada hal yang lebih berbahaya dari konflik bersenjata, yaitu lupa sejarah. Banyak pemuda Aceh hari ini yang asing dengan kisah Cut Nyak Dhien, Teuku Umar, Tgk. Chik di Tiro, hingga Hasan Tiro. Mereka lebih akrab dengan TikTok dan tren sosial media daripada memahami perjuangan para pendahulunya.

Inilah ancaman serius. Ketika generasi muda melupakan sejarahnya, maka hilanglah jati diri bangsa. Aceh bisa menjadi negeri tanpa akar, mudah digoyang, dan gampang dijajah dalam bentuk baru: kolonialisme ekonomi, budaya, dan politik digital.

Padahal sejarah adalah identitas. Generasi muda Aceh harus merebut kembali ruang itu. Bukan untuk larut dalam romantisme masa lalu, tetapi menjadikannya fondasi moral dan intelektual untuk membangun Aceh yang lebih baik.


Damai Itu Harus Dijaga, Bukan Diabaikan

Damai bukan produk sekali jadi. Ia harus dijaga. Aceh hari ini membutuhkan generasi muda yang bukan hanya pandai bicara, tapi juga berani bertindak. Pemuda yang tak sekadar menjadi penonton di pinggir jalan kekuasaan, tapi aktif mengawal jalannya pemerintahan. Berani mengkritik bila keliru, dan memberi solusi bila diperlukan.

Dayah, meunasah, kampus, dan komunitas sosial harus kembali menjadi ruang dialektika intelektual. Diskusi sejarah, politik, hukum, dan sosial harus dihidupkan. Anak muda Aceh harus melek politik, bukan untuk berebut jabatan, tapi untuk memastikan bahwa pemerintah tetap berpihak kepada rakyatnya.


Aceh Baru Butuh Generasi Pejuang, Bukan Penjilat

Kekuasaan di Aceh pascakonflik perlahan berubah. Dari semangat perjuangan menjadi arena rebutan kepentingan. Banyak yang dulu berteriak “merdeka”, kini sibuk memperkaya diri dan menyingkirkan kawan seperjuangan. Rakyat kembali terpinggirkan, sementara elit politik asyik bagi-bagi proyek dan jabatan.

Generasi muda Aceh tak boleh mengikuti jejak ini. Jangan menjadi penjilat yang rela menjual prinsip demi kedudukan. Jadilah pejuang intelektual, sosial, dan politik yang jujur, bersih, dan berani. Aceh tak kekurangan pemuda cerdas, tapi sering kekurangan pemuda yang berani.


Refleksi: Apa yang Bisa Kita Wariskan?

Mari kita renungkan. Apa yang ingin kita wariskan untuk anak cucu Aceh kelak? Apakah negeri yang terus bertikai, miskin, dan terbelakang? Ataukah Aceh yang damai, maju, dan tetap memegang adat serta syariat?

Semua ada di tangan generasi muda hari ini. Jangan tunggu orang lain memperbaiki Aceh. Mulailah dari diri sendiri. Dari hal kecil: rajin membaca sejarah Aceh, aktif di komunitas sosial, ikut diskusi publik, menulis opini, dan berani menyuarakan kebenaran di manapun.

Aceh yang kuat lahir dari generasi muda yang sadar sejarah dan gigih memperjuangkan masa depan. Bukan dari pemuda yang malas berpikir dan hanya sibuk menjadi buzzer kekuasaan.


Epilog: Sebab Sejarah Tak Pernah Mati

Sejarah Aceh adalah kisah tentang keberanian, pengkhianatan, perjuangan, dan pengorbanan. Kisah tentang bangsa kecil yang berani menantang penjajah, tapi juga tentang anak negeri yang tega menikam saudaranya sendiri demi kekuasaan.

Generasi muda Aceh wajib mempelajari dua sisi itu. Agar tidak hanya tahu bagaimana menjadi pejuang, tapi juga waspada terhadap pengkhianatan. Sejarah bukan untuk dikenang, tapi untuk dijadikan pelajaran.

Dan selama darah Aceh masih mengalir di nadi, selama doa-doa dari meunasah dan dayah masih menggema, selama suara rakyat Aceh masih lantang di ujung senja, maka Aceh akan tetap hidup. Bukan hanya sebagai nama dalam peta, tapi sebagai negeri yang bermartabat.

Selamat berjuang, generasi muda Aceh. Warisan konflik bukan beban, tapi pelajaran. Jadikan damai ini panggung untuk berkarya, bukan sekadar bersuka cita. Karena sejarah sedang menunggu kita menuliskan babak baru.