Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

KISAH PENGKHIANATAN PANG LAOT

Kamis, 25 November 2021 | 21:51 WIB Last Updated 2021-11-25T14:51:56Z

Pada suatu hari Pang La'ot telah menyampaikan pertanjaan kepada Cut Nyak Din Menyerah kepada kaphe

pada hari tanggal 16 Oktober 1905.Selagi Letnan van Vuuren duduk dirumanya di Kota Baru, datanglah seorang bangsa Atjeh berpakaian  buruk, yang minta bicara dengan kumandan. Ia berkata bahwa ia adalah seorang suruhan dari Pang La'ot,
yang didalam ketentaraan Belanda terkenal sebagai seorang Panglimayjang masuk golongan ,,jahat", yang sangat berbahaja bagi orang Belanda.

Pang La'ot ingin sekali hendak berunding dengan tuan Letnan tentang suatu rahasia. jika ada kemurahan hati tuan Letnan, Pang La'ot mengharap supaya tuan Letnan sudi meringankan langkah datang berkunjungan ketempat kediamannya, yang akan ditunjukkan oleh suruhannya itu. Tapi Pang La'ot memohon supaja tuan Letnan datang dengan tidak bersenjata.
Mula-mula hati van Vuuren agak enggani adifa untuk memenuhi kehendak itu. Nama Pang Loot memang sangat buruk bunyinya dikalangan ketentaraan Belanda. Kalau-kalau undangan itu dimaksudkan untuk memikat van Vuuren masuk kedalam perangkap . . . 

Pada ketika bulan puasa! Tapi setelah memikirkan, berangkat jualah van Vuuren menurutkan suruhan itu. Rupa dan laku orang itu berkata-kata menimbulkan kepercayaan didalam hati van Vuuren.

Van Vuuren hanya disertai oleh dua orang serdadu dan seorang penunjuk jalan.Setelah 24 jam menempuh jalan masuk rimba, maka sampailah mereka keperkemahan Pang La'ot, Disana Panglima Perang itu telah menanti-nantikan
kedatangan van Vuuren. Ia dikelilingi oleh serombongan kecil orang Atjeh, yang amat bersahaja senjatanya dan compang-camping pakaiannya.

„Engkau minta bicara dengan aku, Pang La'ot? Aku bersuka cita karena melihat engkau masih hidup. Pada hal engkau adalah masuk bilangan orang buruan,yjang telah sangat lama kami cari cari!"
,,Terima kasih, tuan letnan! Njawa segala mansusia ada ditangan Tuhan . . .
Saja ingin berunding dengan tuan letnan tentang nasibnya Tjoet Njak Din!"
„Tjoet Nja Din masih hidup?"
„Masih hidup, tuan letnan! Tapi hidupnya itu amat sengsara. Djika ia tinggal
berlama-lama ditempat persembunyiannya , akan matilah ia kelaparan. Oleh karena itu seharusnyalah ia ditolong, yaitu dilepaskan dari sana! Saja berkata ditolong melepaskan,iadifatuan letnan! Sebab saja tidak ingin jika ada orang yang hendak mengatakan, bahwa saja telah berchianat terhadap raja saya! 

Tjut Nja Din telah sangat tua, buta dan telah timpang pula, hampir-hampir tak dapat
melangkah. Kehidupannya sangat sengsara, tapi sekali-kali ia tak ada keinginan hendak tunduk. Maksud saja hendak meminta kepada tuan letnan buat menolongnya. Tapi didalam hal itu besar harapan saja supaya tuan letnan sudi merahasiakan
bahwa saja ada campur tangan didalam hal ini."
,,Kepercayaanmu kepadaku itu akan aku muliakan, Pang La'ot! ceriterakanlah maksudmu!"
Maka dirundingkanlahsecara apa Tjoet Nja Din hendaknya dilepaskan dari siksaanya itu. Kepada letnan van Vuuren akan diserahkan dua orang penuyjuk jalan, jang akan membawanya ketempat penjembunyian Tjoet Nja Din.
Disana ia pura-pura diserbu oleh patroli tentara Belanda lalu ditangkap, dengan tidak mengabaikan laku sopan santun. Sekali-kali hati Tjoet Nja Din tidak boleh disakiti, kepadanya jangan dilakukan sesuatu kekerasan. Malah segala yang
patut diperlakukan atas diri orang yang berderajat raja, hendaklah
dita'ati ketika menangkapnya itu. Bagi ,,kumpeuni" Tjoet Nja Din sudah tidak berbahaja lagi. 

Sebenarnya bolehlah  membiarkannya tinggal di Lampisang
sampai  ajalnya.

Tanggal 6 Nopembcr 1905 berangkatlah sepasukan patroli tentara Belanda, yang hendak menangkapTjut Nyak Din .adifa Tengah-malam buta mereka telah berjumpa dengan Pang La'ot,yjang hendak menunjukkan jalan masuk ke rimba.hari itu adalah turun hujan lebat. jalan-jalan dirimba yang gelap gulita itu menjadi sangat sulit. Hanya dengan bersusah payah saja patroli
dapat meneruskan pedjalanan nya. Kadang-kadang mereka harus merangkak rangkak, sambil bergantung kepada urat-urat kayu,jika jalan menjadi sangat tunggang. Achirnya sampailah mereka ke ,,sarang penjamun" yang dicari itu. Letaknya memang jauh dan ketinggian didalam rimba raya. Tiap-tiap musuh ang datang
hendak meyjerbu kesana, pastilah akan menjumpai pelbagai kesulitan.

Ditempat itu adalah diperbuat beberapa buah dangau-dangau yang sederhana,dan hanya dapat menahan hujan dan panas saja. Ketika patroli sampai kesana,
maka fajar sedang menyingsing. Disuatu tempat tanah terluang, nampaklah sebuah unggun, yang dikelilingi oleh beberapa orang Atjeh. Pakaian mereka sudah sangat buruk, persenjataannya pun amat bersahaja.Pada ketika itu, dengan tidak disengaja, meletuslah senapan yang ada ditangan salah seorang anggota patroli. Maka terperanjatlah sekalian orang yang
sedang duduk mencangkung disekitar unggun itu, lalu tegak berdiri, masing masing memegang kelewang terhunus. Dari dalam salah sebuah dangau-dangau
nampak keluar seorang bangsa Atjeh jang berjanggut panjang. Tinggi dan besar  tubuhnja, sedang pada punggungnya adalah ia mendukung seorang perempuan tua yang tidak berdaya . Didalam sekejap mata ia telah menghilang kedalam rimba dengan orang yang didukungnya itu. Setelah patroli mengejar-ngejarnya, didalam setengah jam lamanja dapatlah ia ditangkap.

Tjoet Nja Din, yang telah tidak berdaya dan buta pula, mengangkat kedua belah tangan, seolah-olah hendak membantah. Kesepuluh jarinya dikembang kaynja. Lakunya sangat menentang. Rupanya hanya dengan bersusah payah saja ia dapat menahan amarahyja. Maka keluarlah dari mulutnya:
,,ya Allah! ya Tuhan! Inikah nasib peruntunganku? Didalam bulan puasa aku diserahkan ketangan kafir?"
,.Djangan kau menjinggung kulitku, ,jangan kaunodai tubuhku!"
Pang La'ot menghampirinya, lalu berkata dengan suara lemah lembut:
,,jangan takut, Tjoet Nja Din! Tak ada seorang yang akan berbuat jahat atas diri tuanku! Mereka akan memperlakukan tuanku dengan segala kesopanann dirabanyalah tangan cut nyakDin buat membujuk.
,,cis! jangan kau menjinggung kulitku! Pengehianat engkau, Pang La'ot!
Tidak kusangka sekali-kali! Lebih baik engkau menunjukkan budi baikmu  kepadaku dengan jalan menikam aku!"

Maka dipindahkanlah Tjoet Nja Din keatas sebuah tandu, lalu diangkut kesalah sebuah tempat penjagaan tentara Belanda. . .

Letnan van Vuuren menetapi janjinya,yaitu hendak memperlakukan Tjoet Nja Din secara yang layak untuk derajatnya.
Dengan cepat berita „Tjoet Nja Din ditawan" itu telah menjalar diseluruh Atjeh. Banjaklah Kepala-Kepala beserta para ulama bangsa Atjeh yang minta izin buat datang melawatyja. Izinan itu diberikan, dengan tak ada seorang yang dikecualikan.

Masing-masing Kepala itu masuklah kedalam kamar. Maka terperanjatlah mereka melihat segala perubahan yang tedjadi atas diri Tjoet Nja Din. Seorang tua yang kurus kering, kerimput kulit diseluruh tubuhnya, buta dan tidak berdaja! Itukah puteri Nanta Setia, isteri Ibrahim, sesudah itu isteri Teuku Oemar,
yang masjhur tentang kecantikan parasnya? Apakah orang tua bungkuk yang duduk menundukkan kepala itu sungguh-sungguh adifa,,Pahlawan Betina Atjeh"?
yang teraku dahulu meejadi sckuntum bunga yang molek didunia wanita Atjeh?Sebab Din tidak nampak maka tiap-tiap eang datang itu bcrganti-gantilah menyebutkan namanya masing-masing. Kepala Lamtengah, Kepala Lamhassan, Bital, ajoen, Pakan Bada . . . dan sebagainya. 

Mendengar nama-nama yang dikenalyja itu, dan setelah ia berhadapan pula dengan sekalian orangyjang telah
,,menjeberang" dan menjadi kaki tangan orang Belanda, maka dengan tibatiba
timbul pulalah keangkuhan Tjoet Nja Din, yang menjadi sifat baginja selama
ia bergaul dengan para pejuang Atjeh dan menjadi pemimpin rakjat yang terkemuka. Sambil mengangkat kepala, duduk luruslah ia, bersedia mendengarkan
segala bicara yang hendak dikeluarkan oleh sekalian tetamu itu.
Barulah sekalian tamu itu insjaf, bahwa mereka sungguh-sungguh sedang
berhadapan dengan Tjoet Nja Din. yang duduk lurus dengan mengangkat kepalaitu sungguh Tjoet Nja Din dahulu, pejuang  Atjeh jang „berpantang tunduk,"

pemimpin perjuangan Atjeh jang bertkead hendak mengusir kape daritanah airnjay. Pahlawan Betina yang menggemparkan tanah Atjeh dan ditakutiorang didunia ketentaraan Belanda!
Maka sekalian tamu itu menundukkan kepala, dan yang ecrtua berkatalah:
,,Kami menanti-nantikan pulangnya tuanku, Tjoet Nja Din! Sebab jenderal kaphe ang kedjam itu telah meninggalkan tanah Atjeh!"
Peristiwa itu, sampai kepada kata-kata yang terhambur dari mulut pembesar
Atjeh itu, disampaikan oranglah kepada jenderal van Daalen.

hendaknja Tjoet Nja Din jangan  dibuang. Karena hukuman buang itu, jang berarti menceraikan orang dari tanah airnya, bagi orang Atjeh adalah suatu hukuma yang seberat-beratnya. Hendaklah Pemerintah Belanda membiarkannja tinggal
berdiam di Lampisang, menanti-nantikan hari ajalnya, yang memang telah dekat itu.
Diantara opsir-opsir Belanda yang masih muda, banjaklah kedapatan yang menundjang anjuran itu. Letnan van Vuuren, yang terikat akan djanjinja kepada Pang La'ot, adalah pula masuk golongan orang jang menunjang.

Tapiyjenderal van Daalen tetap menolaknja. Ia tahu bahwa tentara Belanda tidak lama lagi akan dikembalikan ketanah jawa. Ia tahu pula bahwa para Ulama masih belum ditundukkan. Ia chawatir, kalau-kalau api Perang Sabil akan menggolak-golak kembali.adifa Maka dibuanglah Tjoet Nja Din ketenah jawa!
Alangkah mulia bagi nama orang Belanda, djika dikemudian hari chalajak ramai dapat berkata:
„Tjoet Nja Din, musuh orang Belanda jang pantang tunduk, telah menutup mata didalam keadaan merdeka, dan djenazahnja dapat dimakamkan ditanah Atjeh, tempat jang sesucii-sucinja bagi seorang pahlawan tanah air!" . . .

Tjoet Nja Din tinggal berdiam di Sumedang, sampai kepada ajalnja. Hidupnya ditempat pembuangan itu adalah sesuai dengan kaedaanyja di Atjeh,sebagai puteri Oeloebalang dan isteri Panglima. Tjukuplah pengiring-pengiring bangsa perempuan yang menjertainya. Sedang dari fihak Pemerintah Belanda
adalah ia diperlakukan dengan sopan dan hormatnya
Doktor telah menjembuhkan matanyay jang rabun, sehingga dapatlah ia melihat spt sediakala.Tanah Priangan yang maha permai itu terbentanglah dengan segala keindahannya dimuka pemandangan Tjoet Nja Din. Tidak berbeda dengan dinegerinja sendiri, di Atjeh(foto pang laot)
daaaaa

HABIB LHONG MEMBAWA KEMBALI SULTAN MUHAMMAD DAUD SYAH KE ISTANA KEUMALA

Pengikut yang setia kepada Sultan

Enam belas tahun setelah berlangsungnya perang Aceh, tepatnya pada tahun 1889, di samping panglima Polem, pemimpin-pemimpin adat yang setia kepada Sultan Muhammad Daud Syah antara lain :
Di Mukim XXVI, pemimpin perlawanan yang setia pada Sultan Muhammad Daud Syah di antaranya yaitu : T. Nyak Makam, Pang Analan, Pocut Mat Tahir dan Teungku Mat Amin. Sedangkan di Mukim XXII dan Lam Sayon yaitu Tgk. Pante Kulu dan T. Ali Lam Krak. Di Mukim IX, Sagi XXV bergerak pula Tgk. Chik Kuta Karang, Tgk. Mat Saleh dan Habib Samalanga. Mukim VI yang ikut barisan Sultan yaitu Tgk. Di Chaleue. Selain itu, beberapa pemimpin perang gerilya yang aktif yaitu Tgk. Beb Tiro, Tgk. Rayeuk Habib Lhong dan T. Husin Lueng Bata.(Van Langen : 47).
Tahun 1894 akibat sengketa yang berlarut-larut, Teuku Abdul Lateh Beuntara Keumangan telah merebut tiga Mukim (Ilot, Andeue dan Metareum) dari Pidie, tanpa memperdulikan putusan Sultan Muhammad Daud Syah (1874-1903), menyebabkan sultan terpaksa bertindak tegas memulangkan balik lagi wilayah itu ke Pidie. Tapi di samping itu Sultan terpaksa dihadapkan dengan Fait Accompli. Bulan Desember 1894 Bentara Keumangan, Teuku Abdul Lateh, memaksa sultan ke luar dari Keumala, istananya dibakar. Terpaksalah sultan memindahkan pusat pemerintahan Aceh ke Rebee, Pidie.

Di sana ada sebuah istana tua yang dibangun oleh almarhum Sultan Iskandar Muda (1607-1636). Di tempat ini Sultan tidak dapat berdiam lama, dia pindah lagi ke Padang Gahan (Padang Tiji), Mukim VII. Setelah berada di sini para panglima dari sultan merasa tersinggung atas perlakuan terhadap Sultan Muhammad Daud Syah. Dua di antara Panglima itu, Habib Lhong dan Teungku Pante Gelimah telah mengerahkan pasukannya sejumlah 500 prajurit, sambil mengadakan pembersihan lewat Meutareuem, Andeue dan Lala menuju Keumala, serta memulihkan kedudukan Sultan Muhammad Daud Syah disana.  Semenjak itu pengaruh Sultan bertambah baik, sampai menjelang serangan Belanda secara besar-besaran ke Keumala. Sultan Muhammad Daud Syah kemudian menyerah pada Belanda pada tahun 1903 M, sedang Habib Lhong syahid dalam sebuah pertempuran.
( atjeh gallery )