Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Rasa Hormat Serdadu Belanda Terhadap Perempuan Aceh

Sabtu, 19 Februari 2022 | 13:44 WIB Last Updated 2022-02-19T06:44:00Z

Perempuan Aceh, sejak detik pertama orang mengenalnya, merupakan suatu pencerahan (openbaring) dari sifat-sifat pribadi maupun pengaruhnya – HC Zentgraaff dalam buku Atjeh.

Ketika membola-balik halaman buku Atjeh karya HC Zentrgaaff, saya menemukan sesuatu yang menarik, pandangan orang luar terhadap perempuan Aceh di masa lalu. Buku ini diterjemahkan oleh Firdaus Burhan dari bahasa Belanda ke bahasa Indonesia, diterbitkan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan pada tahun 1983.

Bagaimana Zentgraaff menulis tentang watak dan sifat perempuan Aceh? Mari kita ikuti ulasannya, berdasarkan kejadian-kejadian yang berlaku pada masa peperangan Aceh melawan kolonial Belanda.

Zentgraaff ketika menjadi redaktu surat kabar Java Bode di Batavia, maupun ketika berkelana di Aceh, untuk penulisan bukunya, mengaku banyak mendengar dari mulut-mulut panglima perang Belanda, yang telah melakukan peperangan di segala penjuru nusantara, bahwa tidak ada bangsa yang lebih pemberani dan fanatik dalam perang, di bandingkan dengan bangsa Aceh. Kaum perempuannya melebihi kaum bangsa-bangsa lain, dalam keberanian dan tidak gentar mati. Bahkan merekapun melampaui kaum lelaki Aceh yang sudah dikenal bukanlah lelaki lemah, dalam mempertahankan cita-cita bangsa dan agama mereka.

Pada halaman 95 bukunya Zentrgaaff menulis:
Perempuan-perempuan Aceh, melangkah ke bilik pengantinnya dengan nyala api serta hasrat setiap perempuan dari suatu bangsa, di mana kebutuhan seksual merangsang lebih kuat, dibandingkan dengan hampir semua bangsa lainnya. Akan tetapi mereka juga sama pasti dan taat setia dalam peperangan dengan senjatanya, tidak pernah ragu-ragu dan tidak pernah memalukan suami serta kaumnya, menyertai mereka dalam medan perang dan menerjang jalan setapak pertempuran, dalam pengembaraan menempuh hutan belantara, suatu penghidupan yang penuh dengan rintangan dan marabahaya, dengan sergapan-sergapan kilat oleh pasukan-pasukan masrose yang melacak mereka di mana-mana.

Pada halaman-halaman selanjutnya, Zentgraaf yang juga mantan serdadu Belanda itu menggambarkan, bagaimana perempuan Aceh mengambil perannya dalam peperangan. Salah satunya adalah istri dari Teungku Mayet Di Tiro, putra dari Teungku Chik Di Tiro.

Peristiwa itu terjadi pada tahun 1909, saat itu panglima perang Belanda, Schmidt menemukan jejak gerilyawan Teungku Mayet Di Tiro di sekitar pegunungan Tangse. Schmidt dengan pasukan marsosenya berhasil melakukan pengepungan. Perang frontal terjadi dari jarak dekat. Teungku Mayet Di Tiro selamat, tapi istrinya terkena tembakan.

Dalam keadaan kritis, ia berteriak meminta suaminya untuk menyelamatkan diri. Sementara ia tersungkur bersimbah darah. Tidak merintih, apa lagi menyerah. Zentgraaff menulis.

Dia mengenakan pakaian celana Aceh warna hitam dan baju hitam, perawakannya tegap, berusia sekitar 30 tahun. Dalam keadaan gawat dan berbahaya seperti itupun ia masih mempertahankan penolakannya yang angkuh. Walaupun sakit yang ditanggungnya, ia tidak merintih.

Schmidt datang mendekatinya dengan membawa air minum, dan bertanya kepadanya dalam bahasa Aceh yang sopan, apakah ia mau diperban? Dia memalingkan muka dari Schmidt sambil mendesis bek kamat kèe kaphe budok – Jangan sentuh saya kafir kurap. Dia memilih mati dari pada hidup di tangan kafir; anjing yang tak beriman [." Perempuan itu adalah Cut Nyak Gambang, putri dari Teuku Umar dan Cut Nyak Dhien.']

Cerita lainnya adalah kematian istri Teungku Di Barat. Ia bersama suaminya dan para pengikutnya telah diburu sekian lama oleh marsose. Hingga suatu ketika Teungku Di Barat bersama istri dan pengikutnya terkepung di antara tebing-tebing batu cadas.

Teungku Di Barat bersama istri menyerbu marsose bagai orang kerasukan. Tak ada yang menyerah, mereka lari dengan senapan, kelewang dan rencong di tangan ke arah marsose. Dalam pertempuran jarak dekat itu, satu peluru mengenai lengan kanan Teungku Di Barat. Ia mengoper senapan yang dipegang kepada istrinya, yang kemudian menjadi pelindungnya. Hingga keduanya kemudian tewas diterjang peluru.

"Ia memberikan pengorbanan terhadap sang suami. Berdiri tepat di depan suaminya; suatu ungkapan teladan yang agung, serta cinta bakti yang tinggi. Ini kiranya telah memberikan rasa kebahagiaan yang tak dapat diduga oleh siapa pun betapa besar artinya. Ada beratus-ratus perempuan Aceh seperti ini, bahkan boleh jadi ribuan jumlahnya. Dan mereka telah membangkitkan rasa hormat, pun juga dari militer kita," tulis Zentgraaff.

Di Salin Ulang Oleh Firdaus Burhan.