Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Alam Peudeung, Cerita Langsa, dan Asal-Usul yang Terlupakan

Senin, 14 April 2025 | 01:37 WIB Last Updated 2025-04-13T19:15:30Z

:


Alam Peudeung, Cerita Langsa, dan Asal-Usul yang Terlupakan
Oleh: Azhari 

Di antara bentangan sejarah Aceh yang agung, ada satu simbol yang berdiri megah dalam diam: Alam Peudeung. Ia bukan sekadar bendera, melainkan lambang kejayaan, pemersatu, dan martabat bangsa Aceh yang pernah mengguncang dunia. Namun, di tengah semangat zaman yang berlari cepat, kita mulai kehilangan arah pada asal-usul. Bahkan kota-kota tua seperti Langsa—yang menyimpan denyut sejarah itu—tak luput dari pelupaan kolektif.

Langsa hari ini tumbuh menjadi kota perdagangan, pelabuhan, dan lalu lintas ekonomi. Tapi siapa yang masih ingat bahwa Langsa adalah salah satu pintu utama peradaban Aceh dengan Turki Utsmani? Bahwa dari kota-kota pesisir seperti Langsa-lah hubungan diplomatik Aceh dan dunia Islam global dibangun, termasuk dengan Kesultanan Ottoman? Kisah ini jarang terdengar. Generasi hari ini lebih mengenal Langsa sebagai kota transit, bukan kota perjuangan atau peradaban.

Alam Peudeung: Simbol yang Menyatukan

Bendera merah dengan bulan sabit dan bintang di tengah, yang oleh rakyat disebut alam peudeung, adalah warisan kebesaran Aceh. Ini bukan simbol pemberontakan, tapi simbol pemerintahan yang sah, berdaulat, dan dihormati dunia. Bukan hanya Turki, tapi juga Portugis dan Belanda mencatat kegigihan Aceh menjaga wilayahnya di bawah kibaran bendera ini.

Namun, sejarah terkadang dikaburkan oleh politik masa kini. Ada narasi yang mencoba menyematkan identitas alam peudeung sebagai simbol Gerakan Aceh Merdeka (GAM). Padahal, yang terjadi sebaliknya: GAM mengadopsi simbol sejarah Aceh sebagai bentuk perlawanan terhadap penindasan, bukan menciptakan bendera baru. Bahkan Hasan Tiro tahu benar akar lambang itu, dan menambahkan dua garis hitam sebagai penghormatan terhadap para syuhada Aceh—bukan untuk mengaburkan sejarahnya.

Langsa: Pintu Timur yang Sunyi

Langsa bukan kota biasa. Dulu ia adalah pelabuhan penting yang menghubungkan Aceh dengan dunia Melayu dan Arab. Menurut beberapa sumber, jalur rempah dan komunikasi Islam banyak bermula dari kawasan timur Aceh ini. Tapi mengapa sejarah Langsa tak sepopuler Banda Aceh atau Sigli?

Karena kita mulai enggan menengok ke belakang. Padahal asal-usul tak pernah kalah penting dengan masa depan. Langsa hari ini bisa menjadi titik awal pembelajaran tentang kebesaran Aceh di masa lampau. Tapi itu hanya mungkin jika kita berani menggali arsip, menelusuri jejak lama, dan menata narasi yang utuh.

Di setiap kota di Aceh seharusnya ada museum kecil tentang jati diri kita. Di Langsa, museum itu bisa memuat relasi maritim, hubungan dagang, penyebaran Islam, dan tentu saja, tentang peranannya dalam konteks alam peudeung. Karena sejauh mana pun kita melangkah, tidak ada bangsa yang besar tanpa menghormati sejarahnya.

Asal-Usul yang Terkoyak

Saat ini, generasi muda lebih akrab dengan konflik bendera dibanding memahami maknanya. Alam peudeung dibicarakan dalam konteks perpecahan, bukan pemersatu. Ini ironi sejarah. Padahal Sultan Iskandar Muda dulu mempersatukan kerajaan-kerajaan kecil di bawah satu panji—bukan dengan pedang semata, tapi dengan visi. Visi bahwa Aceh bukan daerah kecil yang tertinggal, melainkan bagian dari jaringan kekuatan Islam global.

Maka, ketika bendera itu dikibarkan, yang berkibar bukan sekadar kain, tapi kehormatan. Ketika Langsa menjadi pelabuhan, yang bersandar bukan sekadar kapal, tapi masa depan Aceh yang terbuka pada dunia. Dan ketika sejarah ditulis ulang, jangan biarkan ia dikoyak oleh kepentingan sesaat.

Menjadi Bangsa yang Menghargai Lambang

Hari ini kita dihadapkan pada tugas berat: bukan sekadar menjaga damai, tapi juga menjaga makna. Bukan hanya menghindari konflik simbolik, tapi juga membangun pemahaman bersama. Alam peudeung bukan alat politik, tapi harta budaya. Langsa bukan kota mati, tapi sumber ilham. Dan sejarah bukan beban, tapi cahaya untuk melangkah.

Mari kita kembalikan simbol itu ke tempatnya: sebagai identitas. Mari kita hidupkan kembali kisah Langsa, bukan hanya sebagai nama kota, tapi sebagai bab penting dalam narasi kebangkitan Aceh. Karena yang tidak tahu asal-usulnya, akan mudah diseret arus zaman. Dan yang tidak punya lambang, akan mudah kehilangan arah.

Alam peudeung, Langsa, dan asal-usul kita adalah satu tarikan nafas yang tak boleh dipisahkan.