Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Hukum Adat Masyarakat Kota Langsa: Warisan Leluhur di Tengah Modernitas

Senin, 14 April 2025 | 01:40 WIB Last Updated 2025-04-13T19:13:46Z



Hukum Adat Masyarakat Kota Langsa: Warisan Leluhur di Tengah Modernitas


Oleh:  Azhari 

Langsa, kota yang sering disebut sebagai gerbang timur Aceh, tidak hanya dikenal karena pelabuhannya yang historis atau geliat ekonominya yang hidup, tetapi juga karena kekayaan adat istiadat yang masih terasa jejaknya. Di balik bangunan-bangunan modern dan hiruk-pikuk lalu lintas, hukum adat masyarakat Langsa masih hidup dalam praktik sosial, budaya, bahkan penyelesaian sengketa.

Di Aceh, hukum adat merupakan salah satu unsur yang dilindungi oleh Undang-Undang Pemerintahan Aceh (UUPA), dan Langsa sebagai bagian dari wilayah itu tidak lepas dari pengaruh struktur hukum adat yang kuat. Namun berbeda dengan wilayah pedalaman yang adatnya lebih “tertutup”, di Langsa, hukum adat berinteraksi langsung dengan budaya Melayu, Arab, dan bahkan Eropa. Inilah yang membuat hukum adat Langsa kaya akan tafsir dan penuh dinamika.

Hukum Adat: Bukan Sekadar Tradisi

Banyak orang mengira hukum adat hanya berkaitan dengan upacara dan perkawinan. Padahal, ia adalah sistem hukum yang hidup (living law). Di Langsa, penyelesaian masalah sosial seperti perselisihan rumah tangga, sengketa tanah, atau pelanggaran moral kecil sering kali tidak langsung dibawa ke ranah pengadilan, melainkan diselesaikan secara adat oleh para tetua, tok imam, atau tokoh masyarakat.

Hukum adat di Langsa dikenal sebagai bagian dari Hukum Adat Meusapat. Di dalamnya terkandung nilai-nilai keadilan, musyawarah, dan penyelesaian damai. Meusapat bukan hanya forum bicara, tapi juga forum memulihkan martabat kedua belah pihak. Sanksi tidak selalu berbentuk hukuman keras, tapi bisa berupa teguran, denda adat, hingga ritual permintaan maaf yang melibatkan masyarakat.

Peran Mukim dan Gampong dalam Menegakkan Adat

Langsa memiliki struktur adat yang rapi. Setiap gampong (desa) memiliki keuchik, dan beberapa gampong berada di bawah satu mukim. Dalam konteks adat, mukim inilah yang menjadi poros kekuasaan adat. Keputusan-keputusan besar yang menyangkut antar-gampong biasanya diambil oleh para imeum mukim.

Namun dalam realitas kota, peran mukim kadang tergeser oleh tata kelola administratif modern. Itulah sebabnya hukum adat di Langsa saat ini mengalami tantangan: bagaimana bertahan di tengah struktur birokrasi yang lebih mengedepankan pendekatan hukum negara?

Tantangan Zaman: Modernitas vs Kearifan Lokal

Modernisasi membawa dua sisi mata pedang. Di satu sisi, masyarakat lebih melek hukum formal, teknologi, dan informasi. Tapi di sisi lain, nilai-nilai kearifan lokal mulai luntur. Banyak anak muda tidak tahu lagi bagaimana cara menyapa tetua adat, apalagi memahami struktur keputusan dalam meusapat.

Tantangan terbesar hukum adat Langsa bukan pada kekuatannya, tapi pada pewarisan. Jika nilai-nilai adat tidak ditanamkan di sekolah, disimbolkan dalam budaya publik, atau dipelihara dalam tata kota, maka perlahan ia akan menjadi fosil sejarah. Hidup di buku, tapi mati dalam praktik.

Revitalisasi Adat: Jalan Tengah Pembangunan

Namun Langsa punya peluang besar. Sebagai kota yang berakar kuat dalam tradisi dan sedang berkembang secara ekonomi, Langsa bisa menjadi contoh kota yang berhasil mensinergikan hukum negara dan hukum adat. Caranya? Bukan dengan meniadakan salah satu, tapi memberi ruang kolaborasi.

Misalnya, dalam penyelesaian kasus-kasus kekerasan rumah tangga ringan, bisa dilakukan pendekatan awal berbasis adat sebelum masuk ke jalur hukum. Atau dalam sengketa lahan, tokoh adat dilibatkan sebagai mediator awal. Pemerintah kota Langsa juga bisa membentuk Majelis Adat Kota sebagai wadah kolektif menjaga nilai hukum adat tetap hidup dalam konteks perkotaan.

Penutup: Menjaga Wajah Langsa yang Asli

Langsa bukan kota tanpa akar. Ia berdiri di atas fondasi nilai-nilai adat yang berabad-abad membentuk karakter warganya. Jika kita ingin Langsa berkembang tanpa kehilangan jati dirinya, maka hukum adat harus diberi tempat yang terhormat. Bukan sebagai pelengkap, tapi sebagai salah satu pilar penegak keadilan sosial.

Karena ketika hukum formal macet oleh birokrasi, hukum adat hadir dengan kehangatan musyawarah. Dan ketika kota terus berubah oleh zaman, nilai adat tetap menjadi wajah asli yang tak pernah berubah.