Hidup adalah perjalanan menuju kematian. Sejak pertama manusia menghirup udara, sejatinya ia sedang berjalan perlahan menuju titik akhirnya. Tapi ironisnya, manusia seringkali lebih sibuk merayakan kehidupan dan lupa menyiapkan kepulangan.
Dalam filsafat, kehidupan adalah ruang pengalaman di mana manusia diuji, dibentuk, dan diperkaya oleh waktu. Hidup bukan soal lama atau singkatnya, tapi tentang makna yang tertinggal di setiap tapaknya.
Seperti kata Albert Camus: "Manusia mencari makna dalam dunia yang absurd."
Sementara kematian adalah keniscayaan. Dalam banyak kebudayaan dan agama, kematian dipandang bukan sebagai akhir, tapi pintu masuk ke fase berikutnya.
Dalam filsafat eksistensialisme, kematian justru memberi nilai pada kehidupan. Karena jika hidup tak pernah berakhir, maka ia akan kehilangan makna.
Martin Heidegger bahkan menyebut manusia sebagai being-toward-death, makhluk yang sadar akan ajalnya, dan karena itu mampu menciptakan nilai.
Ketakutan manusia pada mati, sesungguhnya bukan karena kematian itu sendiri, tapi karena kekosongan makna hidup yang belum selesai.
Hidup Bukan Sekadar Bernapas
Filsafat mengajarkan kita bahwa hidup sejatinya bukan soal umur panjang, jabatan tinggi, atau harta melimpah. Tapi soal bagaimana seseorang memberi makna di ruang waktunya.
Banyak yang hidup lama, tapi seolah tak pernah benar-benar hidup.
Sebaliknya, ada yang hidup singkat, namun namanya abadi karena kebaikan dan ilmunya.
Kehidupan adalah tentang keberanian menerima luka, merayakan suka, dan tetap berjalan di antara ketidakpastian.
Karena justru di situlah letak kemuliaan manusia — mampu berpikir tentang arti dirinya di tengah dunia yang tak selalu ramah.
Kematian: Kepastian yang Menyadarkan
Filsafat kematian bukan untuk menakut-nakuti, tapi untuk menyadarkan bahwa waktu itu fana. Bahwa semua yang kita genggam hari ini, akan dilepaskan satu-satu.
Bahwa cinta, benci, kuasa, jabatan — semuanya hanya numpang lewat.
Kematian adalah pengingat bahwa tiada yang kekal selain amal baik dan jejak ketulusan.
Filsuf Stoic seperti Marcus Aurelius pun berkata:
"Jalani hidup seakan-akan setiap hari adalah yang terakhir. Karena suatu saat, kamu akan benar-benar tepat."
Kesimpulan: Hidup Seimbang, Mati Siap
Maka, filsafat kehidupan dan kematian mengajarkan kita menjalani hidup dengan sadar, tak perlu berlebihan mencintai dunia, tapi juga tak terlalu takut kehilangan.
Berbuat baik sebisanya, meninggalkan jejak amal, dan membangun ruang kebaikan sekecil apapun.
Karena kelak saat kematian datang menjemput, bukan umur, jabatan, atau popularitas yang ditanya, melainkan apa yang telah kau lakukan selama hidup.
Dan itulah makna hakiki dari hidup yang seimbang: hidup cukup, mati siap.