Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

"Runtuhnya Kerajaan Aceh: Antara Perpecahan Internal dan Strategi Kolonial

Sabtu, 19 April 2025 | 09:38 WIB Last Updated 2025-04-19T02:39:07Z




Oleh: Azhari 

Ketika kita menyebut Kerajaan Aceh Darussalam, kita bicara tentang satu dari sedikit kerajaan Islam di Nusantara yang berhasil menjadi kekuatan maritim, politik, dan keagamaan yang disegani, tidak hanya di Asia Tenggara tetapi hingga ke Timur Tengah dan Eropa. Namun, pertanyaan yang terus mengusik hingga kini adalah: mengapa kerajaan sebesar dan sekuat Aceh bisa runtuh dan akhirnya menjadi bagian dari Negara Kesatuan Republik Indonesia?

Aceh: Simbol Perlawanan dan Kedaulatan

Sejak abad ke-16, Kesultanan Aceh menjadi simbol perlawanan terhadap kolonialisme. Aceh menantang dominasi Portugis di Selat Malaka, membangun jaringan diplomasi dengan Utsmani di Turki, serta menanamkan nilai Islam sebagai kekuatan penyatu rakyat. Sumber daya alam seperti lada, emas, dan lokasi strategis di jalur pelayaran dunia menjadikan Aceh rebutan kekuatan asing. Namun, kebesaran itu menyimpan benih kehancuran.

Perpecahan Internal dan Lemahnya Suksesi

Salah satu penyebab utama bubarnya Kesultanan Aceh adalah perpecahan internal. Sejak wafatnya Sultan Iskandar Muda, Aceh dilanda perebutan kekuasaan dan ketidakstabilan politik. Banyak sultan digulingkan oleh kelompok bangsawan dan uleebalang (pemimpin lokal) yang mulai lebih mementingkan kekuasaan lokal dibanding kepentingan kerajaan secara keseluruhan.

Uleebalang, yang awalnya adalah mitra strategis dalam penyebaran Islam dan pertahanan kerajaan, kemudian berubah menjadi aktor lokal yang memperlemah otoritas pusat. Mereka bahkan menjalin hubungan dengan penjajah Belanda demi mempertahankan kekuasaan lokal masing-masing. Ini memperparah fragmentasi wilayah dan membuat Aceh rentan terhadap infiltrasi politik dari luar.

Snouck Hurgronje dan Strategi Kolonial Belanda

Kehadiran Snouck Hurgronje sebagai orientalis dan penasihat Belanda adalah salah satu momen kunci yang mempercepat kehancuran Kesultanan Aceh. Dengan pendekatan antropologis, Snouck menyarankan Belanda untuk memisahkan kekuatan ulama dan uleebalang. Ulama dilabeli sebagai ekstremis agama, sementara uleebalang dipelihara dan diberi kekuasaan lokal agar bisa dikendalikan.

Strategi ini berhasil. Perlahan tapi pasti, Belanda mengisolasi Sultan Aceh, memperalat para elite lokal, dan menancapkan hegemoni kekuasaan kolonialnya. Tahun 1903, Sultan Muhammad Daud Syah menyerah. Secara simbolik dan politis, itulah akhir dari Kesultanan Aceh. Namun, perlawanan rakyat Aceh tak lantas padam. Perjuangan bersenjata dan diplomatik terus berlanjut hingga masa kemerdekaan Indonesia.

Aceh dalam Republik: Penyerapan yang Tak Pernah Selesai

Ketika Republik Indonesia diproklamasikan tahun 1945, Aceh merupakan wilayah yang menyatakan dukungan penuh. Namun, integrasi Aceh ke dalam NKRI tidaklah mulus. Ada kekecewaan terhadap janji-janji pusat, terutama dalam soal otonomi dan penerapan syariat Islam. Perlawanan muncul kembali dalam bentuk pemberontakan Darul Islam/Tentara Islam Indonesia (DI/TII) di bawah Teungku Daud Beureueh, hingga konflik panjang dengan Gerakan Aceh Merdeka (GAM) di akhir abad ke-20.

Kesultanan Aceh memang sudah tidak ada secara institusional, tetapi semangat kedaulatannya tidak pernah benar-benar padam. Bahkan hingga kini, Aceh tetap memiliki kekhususan dalam sistem hukum (Qanun), pendidikan dayah, dan relasi pusat-daerah yang unik.

Penutup: Pelajaran dari Sejarah

Kerajaan Aceh runtuh bukan hanya karena kekuatan kolonial dari luar, tetapi juga karena retaknya solidaritas di dalam. Ketika kekuasaan diperebutkan tanpa arah yang jelas, ketika elite lebih mementingkan kepentingan pribadi ketimbang rakyat, maka sebuah kekuasaan sehebat apa pun akan kehilangan akar dan legitimasi.

Kini, sebagai bagian dari NKRI, Aceh punya peluang untuk menghidupkan kembali semangat kejayaan masa lalu dalam bentuk yang baru: pendidikan, budaya, ekonomi syariah, dan diplomasi berbasis nilai. Namun, syaratnya masih sama: soliditas internal, kepemimpinan yang visioner, dan keberanian membela kepentingan rakyat di atas kepentingan kelompok.