Jaga Mulut dan Telinga di Era Politik dan Digital: Hikmah yang Dilupakan
Oleh: Azhari
Di era penuh kebisingan ini, dua hal yang paling sering lalai dijaga adalah mulut dan telinga. Di dunia nyata, keduanya adalah sumber interaksi. Di dunia digital, keduanya menjadi senjata. Ketika mulut terlalu ringan berkata dan telinga terlalu mudah menerima, lahirlah masyarakat yang gaduh, bising, dan miskin hikmah.
Allah SWT telah berpesan dalam Al-Qur'an:
“Tidak ada suatu kata pun yang diucapkannya melainkan ada di dekatnya malaikat pengawas yang selalu siap (mencatat).”
(QS. Qaf: 18)
Begitulah Islam meletakkan kehormatan lisan dan pendengaran. Sayangnya, dalam dunia yang dihuni oleh komentar, likes, dan provokasi, pesan ini tenggelam di antara suara yang ingin menang sendiri.
Politik yang Menjadikan Lidah Tak Bertulang
Musim politik adalah ujian bagi lisan. Banyak orang tergelincir karena ingin terlihat kritis, namun melupakan etika. Ujaran kebencian, fitnah, hingga dusta menjadi konsumsi harian. Semuanya tampak sah asal viral, asal menang narasi.
Padahal Rasulullah SAW telah bersabda:
“Barang siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir, hendaklah ia berkata baik atau diam.”
(HR. Bukhari dan Muslim)
Media sosial bukan sekadar ruang bicara, ia adalah medan ujian. Sekali jari menulis, mulut tak bisa lagi menariknya. Di era digital, setiap kalimat adalah jejak yang bisa menjadi berkah atau musibah. Maka jika kita tak mampu berkata benar, lebih baik belajar diam.
Telinga yang Terlalu Rakus Informasi
Tak hanya lisan yang harus dijaga, telinga pun harus dilatih. Hari ini, kita diserbu informasi dari segala penjuru: video singkat, potongan pernyataan, opini selebritas politik. Semua berebut atensi, tak semua mengandung kebenaran.
Sayangnya, banyak yang kita dengar bukan untuk memahami, tetapi untuk menyerang. Kita mencari informasi bukan untuk mendidik hati, tapi untuk menjustifikasi kebencian. Inilah krisis besar telinga zaman ini.
Allah SWT memperingatkan kita:
“Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan dimintai pertanggungjawaban.”
(QS. Al-Isra: 36)
Jika yang didengar adalah dusta, maka yang disebar adalah kebohongan. Jika yang dikonsumsi adalah prasangka, maka yang dibangun adalah permusuhan.
Etika Pergaulan: Lisan, Telinga, dan Hati yang Bersih
Pergaulan hari ini, baik fisik maupun digital, menuntut kita untuk kembali kepada etika dasar: berhati-hati dalam berbicara dan bijak dalam mendengar. Bukan hanya demi sopan santun, tapi demi menjaga nilai-nilai keislaman yang mulai terkikis oleh kecanggihan teknologi.
Dalam Islam, kehormatan seorang Muslim dijaga melalui tiga hal: lisan, pendengaran, dan hati. Jika satu saja rusak, maka rusaklah hubungan sosial dan rusaklah rasa percaya.
Maka, mari kita renungi:
- Sebelum bicara, tanyakan: apakah ini benar?
- Sebelum mendengar, tanyakan: apakah ini berguna?
- Sebelum menyebar, tanyakan: apakah ini membawa maslahat?
Penutup: Saatnya Bijak di Tengah Kebisingan
Menjaga mulut dan telinga bukan berarti diam dan tuli, tapi selektif dan bijaksana. Di era politik dan digital seperti sekarang, kita tidak hanya butuh orang pandai bicara, tapi orang yang berani menahan diri. Tidak cukup hanya vokal, tapi juga perlu akhlak.
Dalam dunia yang penuh kebisingan, diam yang terhormat lebih mulia daripada bicara yang menyakiti, dan mendengar yang selektif lebih utama daripada menyerap semua yang belum tentu benar.
Inilah saatnya kita kembali ke akar: bahwa kehormatan itu bukan diukur dari seberapa nyaring suara kita, tapi seberapa besar kita menjaga hati melalui lisan dan telinga.