Oleh: Azhari
Sejarah adalah guru kehidupan. Setiap kisah di dalamnya menyimpan pelajaran berharga bagi siapa pun yang ingin membaca dengan hati. Salah satu nama yang patut dikenang dari bumi Aceh adalah Teuku Nyak Makam, seorang panglima gagah berani yang syahid melawan penjajah Belanda di akhir abad ke-19.
Meski dalam keadaan sakit berat, Teuku Nyak Makam tetap menjadi ancaman bagi Belanda. Bahkan mereka mengerahkan 2.000 tentara untuk menangkap seorang panglima yang terbaring lemah. Sebab, bagi Belanda, satu Teuku Nyak Makam setara dengan seribu tentaranya. Itulah harga seorang pejuang yang pantang menyerah.
Hari ini, kita memang tak lagi mengangkat senjata, tapi tantangan di hadapan kita tak kalah berat. Saat berbagai masalah sosial, moral, dan ekonomi membelit, seringkali mental kita lebih dulu menyerah. Mudah sekali mulut berkata, “Itu tidak mungkin.” Padahal, belum satu langkah pun kita coba.
Kita terlalu cepat menilai gagasan besar sebagai sesuatu yang mustahil. Bicara soal Aceh bersih korupsi? “Tidak mungkin.” Bicara soal pendidikan moral yang kuat? “Mana bisa.” Wacana Aceh jadi pusat peradaban Islami di Asia Tenggara? “Ah, cuma wacana.”
Padahal dulu para pendahulu kita juga menghadapi hal yang lebih berat, namun mereka memilih melawan. Mereka tidak sibuk mengeluh di pojok warung kopi atau berdebat di media sosial tanpa solusi. Mereka berbuat. Mereka bergerak. Mereka mencoba.
Kuncinya satu: jangan pernah berkata tidak mungkin bila belum dikerjakan.
Sebuah negeri, sebuah cita-cita, dan sebuah peradaban, semuanya lahir dari keberanian mencoba. Dari orang-orang yang berani berkata, “Mari kita buktikan dulu, baru bicara hasilnya.” Sejarah tidak mencatat orang-orang yang hanya pintar mengeluh. Sejarah mengenang orang-orang yang berani mengambil resiko.
Di era ini, kita ditantang bukan oleh peluru, tapi oleh rasa takut gagal dan mental menyerah. Kita diuji bukan oleh kekuatan penjajah, melainkan oleh pesimisme yang bercokol di kepala sendiri.
Bayangkan jika Teuku Nyak Makam dulu berkata, “Saya sedang sakit, tak mungkin melawan.” Atau Cut Nyak Dhien menyerah setelah suaminya gugur. Mungkin Aceh hari ini tinggal cerita tanpa harga diri.
Zaman boleh berubah, tapi keberanian jangan mati.
Sebesar apa pun tantangan, sepanjang apa pun jalan, jika ada kemauan dan keberanian, insyaAllah semua bisa diikhtiarkan. Kalau gagal, setidaknya kita punya harga diri pernah berjuang. Kalau berhasil, itu bonus dari Tuhan.
Jadi, saat ada yang bilang tidak mungkin, ingatlah kata ini: “Belum dikerjakan, bagaimana tahu hasilnya?” Jangan batasi potensi diri dan bangsa hanya karena ketakutan semu.
Aceh butuh orang-orang pemberani hari ini, bukan cuma pewaris cerita pahlawan kemarin.