Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Langsa, Antara Budaya Melayu dan Aceh: Identitas yang Menyatu atau Terpisah?

Senin, 14 April 2025 | 01:58 WIB Last Updated 2025-04-13T19:13:59Z

Foto copas 

Langsa, sebagai kota yang berada di persimpangan jalur budaya, menyimpan satu pertanyaan mendasar: apakah ia lebih Aceh atau lebih Melayu? Atau justru ia adalah pertemuan keduanya?

Sebagai wilayah pesisir yang menjadi pintu masuk berbagai bangsa—Arab, India, Tionghoa, hingga Eropa—Langsa secara alami menyerap beragam budaya. Namun dua entitas utama yang paling membentuk watak masyarakatnya adalah budaya Aceh dan budaya Melayu. Keduanya melebur, berdialog, bahkan kadang bertabrakan dalam dinamika identitas sosial warga Langsa.

Dialek, Adat, dan Gaya Hidup: Jejak Melayu di Tanah Aceh

Jika kita berjalan di kampung-kampung tua seperti Gampong Jawa, Gampong Teungoh, atau Seulalah, akan terasa bagaimana dialek Melayu lebih dominan dari bahasa Aceh. Bahasa sehari-hari warga Langsa, terutama yang tinggal di pusat kota dan pesisir, lebih mirip logat Melayu Deli daripada bahasa Aceh tradisional seperti di Pidie atau Aceh Besar.

Pakaian, upacara adat, dan sistem kekeluargaan di sebagian wilayah Langsa juga mencerminkan pengaruh Melayu yang kuat. Prosesi pernikahan, misalnya, lebih mirip dengan adat Melayu pesisir ketimbang prosesi adat Aceh Tengah atau Aceh Barat.

Namun, hal ini tidak menjadikan Langsa tercerabut dari akar Aceh-nya. Di sisi lain kota, terutama di wilayah pinggiran dan desa-desa tua, adat Aceh masih hidup dalam bentuk struktur mukim, panggilan adat, hukum warisan, dan cara bermusyawarah dalam meusyawarah gampong.

Kota Dua Identitas?

Langsa adalah kota yang hidup dalam dua identitas: Melayu sebagai wajah kosmopolit, dan Aceh sebagai akar spiritual dan hukum adat. Ini bukan konflik identitas, melainkan peluang untuk membangun Langsa sebagai kota yang inklusif terhadap warisan budayanya.

Sayangnya, dualitas ini kadang tak dipahami dalam konteks harmoni. Sebagian orang terjebak dalam dikotomi: Aceh dianggap "asli", sementara Melayu dianggap "pendatang". Padahal, sejarah membuktikan bahwa sejak masa kesultanan, Langsa memang tumbuh sebagai kota hibrida—tempat bertemunya bangsa, bahasa, dan budaya.

Jalan Menuju Rekonsiliasi Budaya

Revitalisasi budaya Langsa tidak bisa hanya fokus pada satu sisi. Pemerintah daerah, lembaga adat, dan akademisi harus duduk bersama menyusun strategi budaya yang memuliakan keduanya. Dokumentasi adat, pemetaan kampung tua, penguatan bahasa ibu baik Aceh maupun Melayu, serta pengenalan sejarah lokal di sekolah-sekolah adalah langkah-langkah penting agar generasi muda Langsa tidak tumbuh sebagai anak yang lupa asal.

Langsa tidak harus memilih: menjadi Aceh atau Melayu. Ia cukup menjadi dirinya sendiri—sebuah kota yang lahir dari pelabuhan, tumbuh dalam percampuran, dan matang bersama sejarah yang kompleks namun indah.