Langsa: Kota Pusaka, Jejak Adat, dan Cahaya Dayah
Langsa bukan sekadar kota administratif di timur Aceh. Ia adalah simpul sejarah, kebudayaan, dan spiritualitas. Kota ini lahir dari denyut pelabuhan tua, denyut pasar yang sibuk, serta riuh lantunan doa dari dayah-dayah tua yang masih berdiri tegak hari ini. Di tengah modernisasi yang mengguncang akar tradisi, Langsa masih menyimpan tiga harta karun: hukum adat, struktur mukim, dan lembaga dayah—tiga pilar identitas masyarakat pesisir timur Aceh.
Mukim dan Hukum Adat: Pemerintahan Sebelum Negara
Sebelum kehadiran negara dan birokrasi modern, masyarakat Langsa telah mengenal sistem pemerintahan sendiri yang disebut mukim. Mukim terdiri atas sejumlah gampong dan dipimpin oleh seorang imeum mukim. Ia bukan sekadar pemuka agama, tetapi juga pemimpin administratif dan penengah hukum.
Dalam sistem ini, hukum adat berlaku sebagai norma sosial dan hukum tidak tertulis yang mengatur perilaku masyarakat. Dari persoalan tapal batas, warisan, hingga masalah rumah tangga diselesaikan lewat musyawarah adat yang melibatkan para tetua kampung, tengku, dan keuchik.
Sayangnya, sistem ini perlahan tergerus oleh otonomi dan struktur formal negara. Mukim dan lembaga adat hanya tersisa dalam seremoni-seremoni budaya, bukan lagi sebagai aktor utama dalam pengambilan keputusan sosial. Maka diperlukan revitalisasi agar nilai-nilai lokal tak hanya dikenang, tapi dijalankan secara aktif.
Tengku dan Ulama: Jantung Moral Masyarakat
Selain mukim, keberadaan tengku (ulama kampung) menjadi pilar penting dalam sistem sosial Langsa. Tengku adalah penafsir nilai dan penjaga batas moral. Mereka menjadi tempat bertanya, tempat mengadu, bahkan hakim dalam perselisihan yang tidak sampai ke pengadilan negara.
Tengku-tengku inilah yang membentuk daya tahan masyarakat Langsa terhadap gempuran budaya asing. Namun kini, suara mereka mulai sayup dalam ruang publik. Anak muda lebih akrab dengan selebritas digital daripada tokoh adat di desanya sendiri. Ini bukan sekadar soal popularitas, tapi juga soal ruang sosial yang tidak lagi memberi tempat pada suara bijak para ulama lokal.
Dayah: Menjaga Tradisi, Menanam Moral
Di tengah perubahan, dayah masih berdiri sebagai benteng terakhir peradaban. Langsa memiliki banyak dayah tua yang menjadi sumber ilmu, akhlak, dan budaya. Di dalamnya, santri ditempa menjadi manusia berilmu dan berakhlak. Mereka belajar bukan hanya tentang fiqh dan tauhid, tapi juga tentang hidup yang sederhana, jujur, dan saling menghormati.
Dayah menjadi penjaga naskah-naskah lama, nadham, hikayat, dan bahasa Aceh. Mereka menanamkan nilai yang tak tergantikan oleh kurikulum formal: nilai takzim pada guru, cinta pada ilmu, dan pengabdian kepada masyarakat. Meski tantangan besar datang dari dunia digital dan gaya hidup baru, peran dayah tak bisa diganti.
Langkah ke depan membutuhkan sinergi antara dayah dan pemerintah. Dayah perlu diberi ruang lebih luas untuk berkontribusi dalam perencanaan pembangunan, pendidikan moral masyarakat, dan bahkan sebagai mitra dalam penyelesaian konflik sosial.
Penutup: Mengikat Masa Lalu, Menata Masa Depan
Langsa bukan kota biasa. Ia adalah laboratorium sejarah dan kearifan lokal. Kota ini akan kehilangan ruhnya jika dayah, mukim, dan hukum adat dibiarkan mati perlahan. Justru di tengah globalisasi, nilai-nilai lokal seperti ini harus diperkuat, dimodernisasi tanpa kehilangan akarnya.
Membangun Langsa ke depan tidak cukup hanya dengan jalan, jembatan, dan pasar. Yang paling penting adalah membangun jati diri, membentuk karakter, dan merawat warisan. Sebab kota yang hebat bukan hanya yang tinggi menara, tapi yang dalam akar budayanya.