Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Perjuangan Aceh dan Permainan di Aceh: Antara Janji Damai dan Kenyataan Politik

Sabtu, 19 April 2025 | 22:34 WIB Last Updated 2025-04-19T15:34:45Z




Oleh:  Agam saboh

Ketika dentuman senjata dihentikan pada 15 Agustus 2005 melalui penandatanganan Memorandum of Understanding (MoU) di Helsinki antara Pemerintah Republik Indonesia dan Gerakan Aceh Merdeka (GAM), masyarakat Aceh menyambut haru dalam damai. Tapi damai itu bukan akhir dari perjuangan, melainkan awal dari babak baru yang lebih pelik: perjuangan untuk keadilan, kesejahteraan, dan martabat.

Babak Baru Pasca Damai

MoU Helsinki bukan hanya kesepakatan gencatan senjata, tapi juga janji politik dan moral. Janji bahwa Aceh akan diberi status khusus, pemerintahan sendiri yang lebih kuat, dan alokasi dana otonomi khusus (Otsus) yang memadai. Namun, dalam praktiknya, banyak yang tersandera oleh permainan elit dan distorsi kepentingan politik.

Lebih dari 15 tahun pasca damai, Aceh memang menikmati suasana tanpa konflik bersenjata, namun konflik dalam bentuk baru menjamur: korupsi politik, tarik-menarik kepentingan partai lokal, marginalisasi pejuang sipil, dan kebuntuan reformasi sosial-ekonomi.

Perjuangan yang Tersandera Kepentingan

Perjuangan Aceh dahulu diwarnai oleh idealisme: ingin menyejahterakan rakyat, menjaga martabat Islam, dan memulihkan keadilan sejarah. Namun hari ini, idealisme itu seolah diperdagangkan. Banyak mantan kombatan yang kini justru menikmati kekuasaan sebagai elit, tanpa kejelasan arah perjuangan kolektif. Perjuangan menjadi label, bukan lagi ruh.

Sebagian pemimpin yang lahir dari rahim konflik kini sibuk mempertahankan status quo kekuasaan. Mereka tampak lebih dekat dengan pusat kekuasaan nasional daripada dengan aspirasi rakyat Aceh sendiri. Lantas, siapa yang benar-benar memperjuangkan Aceh hari ini?

Permainan Elit dan Perpecahan Internal

Salah satu ironi terbesar pasca MoU adalah pecahnya kekuatan perjuangan menjadi faksi-faksi yang saling menjatuhkan. Persatuan yang dulu menjadi kekuatan kini bergeser menjadi perebutan jabatan, proyek, dan kekuasaan lokal. Banyak keputusan penting tentang masa depan Aceh justru lahir tanpa melibatkan rakyat akar rumput.

Konflik internal partai lokal, pengabaian terhadap eks kombatan yang belum sejahtera, serta kaburnya agenda perjuangan seperti evaluasi MoU dan UUPA (Undang-Undang Pemerintahan Aceh), adalah bukti betapa perjuangan telah terkooptasi oleh permainan elit.

Evaluasi MoU dan UUPA yang Mandek

Sudah 19 tahun sejak MoU ditandatangani, namun banyak poin substansial belum dijalankan sepenuhnya. Misalnya, pengelolaan sumber daya alam, partisipasi politik melalui partai lokal yang benar-benar independen, sistem peradilan yang khas, hingga persoalan bendera dan lambang Aceh yang hingga kini masih ditahan oleh pemerintah pusat.

Aceh seharusnya melakukan evaluasi menyeluruh terhadap implementasi MoU. Sayangnya, elit lokal lebih sibuk dengan politik praktis dan kekuasaan sementara. Aspirasi untuk revisi UUPA agar kembali ke semangat MoU hampir tak terdengar. Padahal waktu terus berjalan, dan peluang revisi dapat tertutup jika Aceh tidak bersatu dan mendesak secara strategis.

Dimensi Ekonomi dan Ketimpangan

Dana Otsus yang mengalir lebih dari Rp 100 triliun sejak 2008 belum mampu meratakan kesejahteraan. Sebagian besar tersedot pada proyek infrastruktur, bukan pada pembangunan sumber daya manusia atau penguatan ekonomi rakyat.

Padahal, perjuangan Aceh dahulu adalah tentang melawan ketimpangan dan kezaliman ekonomi. Namun kini, justru banyak proyek pembangunan yang menyisakan sengketa, aroma korupsi, dan ketimpangan baru. Di banyak tempat, masyarakat masih hidup miskin, sementara elit bertambah kaya.

Masa Depan: Menyelamatkan Semangat Perjuangan

Aceh masih punya waktu. Perjuangan belum berakhir. Namun perlu ada pergeseran dari politik kekuasaan menuju politik keberpihakan. Rakyat Aceh harus kembali memegang kendali arah perjuangan. Anak-anak muda perlu didorong untuk membaca ulang sejarah Aceh, memahami isi MoU, dan membangun gerakan sipil yang cerdas dan bersih dari kepentingan sempit.

Permainan elit akan terus ada jika rakyat diam. Maka satu-satunya cara menyelamatkan hasil perjuangan adalah dengan membangun kesadaran kolektif. Bahwa damai bukan sekadar tanpa perang, tapi juga adanya keadilan, kesejahteraan, dan martabat.

Penutup: Dari Konflik ke Kepemimpinan Baru

Aceh tidak boleh menjadi tanah yang hanya dikenang karena perangnya, tapi dilupakan karena damainya yang gagal. Kepemimpinan Aceh ke depan harus mampu merumuskan kembali arah perjuangan dalam format baru: pendidikan, pemberdayaan ekonomi rakyat, diplomasi hukum, dan kedaulatan politik lokal yang bersih dan transparan.

Karena pada akhirnya, sejarah tidak mengenang mereka yang hanya memerintah, tetapi mereka yang memperjuangkan dan membebaskan.


Catatan Penulis: Artikel ini ditulis sebagai bentuk refleksi atas perjalanan damai Aceh dan harapan untuk masa depan yang lebih baik bagi rakyat Aceh secara menyeluruh.