Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Menikah, Tapi Tidak Siap hingga Bercerai: Realita Sosial dan Renungan yang Terlambat

Minggu, 20 April 2025 | 12:11 WIB Last Updated 2025-04-20T05:11:45Z




Dalam budaya kita, menikah kerap dianggap sebagai salah satu pencapaian utama dalam hidup. Seolah jika seseorang belum menikah di usia tertentu, maka ada yang “kurang” dalam dirinya. Pernikahan seakan menjadi penanda kematangan, keberhasilan, bahkan kedewasaan. Namun ironisnya, di tengah gencarnya promosi nikah muda dan dorongan menikah karena cinta, angka perceraian justru meningkat secara signifikan.

Pertanyaannya, apakah kita benar-benar siap menikah? Atau selama ini kita hanya siap menikah dalam bentuk seremonial, tetapi tak pernah belajar menjadi pasangan hidup?

Pernikahan Bukan Akhir Pencarian, Tapi Awal Perjuangan

Banyak orang membayangkan bahwa setelah menikah, kehidupan akan terasa lengkap. Ada yang akan selalu menemani, mencintai, dan mendampingi dalam suka dan duka. Namun sayangnya, bayangan indah itu sering kali tak seindah kenyataan. Begitu memasuki kehidupan rumah tangga, muncul benturan-benturan kecil: mulai dari perbedaan kebiasaan, masalah komunikasi, hingga tekanan ekonomi dan intervensi keluarga.

Pernikahan adalah awal dari ujian, bukan akhir dari pencarian. Justru ketika ijab kabul selesai, perjuangan baru dimulai: bagaimana mempertahankan cinta, merawat komitmen, dan menyelesaikan konflik dengan kepala dingin.

Namun di sinilah masalahnya: banyak yang menikah tanpa bekal pengetahuan, mental, dan kesiapan menghadapi realita ini.

Nikah Karena Cinta? Tak Cukup

Cinta adalah fondasi penting, tetapi cinta saja tidak akan cukup jika tidak disertai komitmen dan kedewasaan emosional. Pasangan yang menikah karena cinta bisa jadi bercerai karena tidak tahan menghadapi kenyataan hidup. Sementara mereka yang menikah dengan visi yang sama, dan punya kesiapan untuk saling beradaptasi, justru bisa bertahan meski tidak dibumbui drama cinta yang romantis.

Sebagian besar perceraian hari ini terjadi bukan karena kekerasan atau perselingkuhan, tetapi karena hal-hal yang sepele di permukaan namun menggambarkan ketidaksiapan yang mendalam: tidak bisa berkomunikasi, tidak mampu memahami pasangan, tidak bisa mengelola konflik, dan mudah tersinggung atas perbedaan.

Angka yang Berbicara

Data dari Mahkamah Agung RI dalam beberapa tahun terakhir menunjukkan peningkatan jumlah gugatan cerai yang diajukan oleh istri. Ini bukan hanya soal gender, tetapi menyiratkan adanya kegagalan dalam relasi yang tidak setara atau komunikasi yang buntu. Pada tahun 2023, lebih dari 80% kasus perceraian di pengadilan agama merupakan cerai gugat, dengan alasan dominan seperti pertengkaran terus-menerus, ekonomi, dan ketidakharmonisan.

Apa artinya ini? Bahwa menikah tanpa kesiapan adalah bom waktu. Dan ketika realita kehidupan rumah tangga tidak sesuai ekspektasi, banyak yang memilih perceraian sebagai pelarian.

Kesiapan Menikah: Apa Saja yang Harus Dimiliki?

Menikah bukan hanya menyatukan dua orang, tapi dua dunia: keluarga, latar belakang, nilai, dan ekspektasi. Maka, beberapa hal ini wajib menjadi bekal:

  1. Kesiapan Emosional: Bisa mengelola emosi, bersabar, dan tidak mudah meledak. Rumah tangga penuh gesekan. Tanpa kematangan emosi, konflik kecil akan membesar.
  2. Kesiapan Mental: Menikah adalah perjalanan panjang. Siapkah kita menghadapi pasang surutnya, termasuk saat pasangan berubah?
  3. Kesiapan Finansial: Bukan harus kaya raya, tapi cukup tahu bagaimana memenuhi kebutuhan dasar dan mengatur keuangan bersama.
  4. Kesiapan Spiritual: Visi pernikahan sebagai ibadah akan menjadi penguat ketika godaan datang.
  5. Kesiapan Sosial: Mampu menyesuaikan diri dengan keluarga pasangan, tetangga, dan lingkungan baru.

Jika salah satu dari kesiapan ini tidak dimiliki, maka pernikahan akan goyah, meski dibangun dengan pesta mewah.

Normalisasi Perceraian: Solusi atau Gejala?

Perceraian memang bukan aib. Dalam Islam pun diperbolehkan. Namun perlu digarisbawahi: perceraian adalah jalan darurat, bukan jalan utama.

Sayangnya, kini perceraian mulai dinormalisasi tanpa introspeksi. Banyak pasangan muda menganggap bahwa saat tidak cocok, maka pisah adalah jawaban cepat. Padahal, konflik adalah bagian dari kehidupan pernikahan. Yang perlu dikembangkan adalah kemampuan menyelesaikan, bukan menghindar.

Perceraian yang terjadi karena ketidaksiapan seharusnya menjadi pelajaran bagi generasi berikutnya, bukan diulang dengan alasan yang sama.

Anak Jadi Korban, Perempuan Menanggung Luka Lebih Berat

Dalam perceraian, yang paling menderita sering kali adalah anak. Mereka tumbuh dalam ketidakutuhan, dengan luka batin yang tak selalu mereka pahami. Banyak anak dari keluarga bercerai mengalami trauma, sulit membangun kepercayaan, dan menghadapi gangguan emosi.

Sementara itu, perempuan juga sering menjadi pihak yang paling terdampak. Tidak hanya secara psikologis, tapi juga secara ekonomi dan sosial. Di banyak tempat, janda masih dipandang sebelah mata, padahal mereka bukan pelaku, tapi korban dari kegagalan sistem pernikahan yang belum sehat.

Pendidikan Pra-Nikah: Bukan Sekadar Formalitas

Sudah saatnya negara dan masyarakat serius membangun budaya persiapan pernikahan yang benar. Bukan sekadar mengikuti bimbingan KUA karena syarat administrasi, tapi pembekalan yang menyentuh aspek psikologi, komunikasi, hak-hak dalam pernikahan, hingga manajemen konflik.

Pendidikan pra-nikah harus dijadikan bagian dari kurikulum kehidupan, diajarkan di sekolah dan dayah, dibahas di komunitas dan majelis. Karena menikah tidak cukup dengan niat baik saja, tetapi juga ilmu yang mendalam.

Refleksi: Menikah Itu Mudah, Menjadi Pasangan Itu yang Sulit

Kita harus jujur mengakui bahwa menikah hari ini mudah: tinggal cari calon, izin orang tua, dan sah secara agama dan hukum. Tapi menjadi pasangan yang siap berjuang bersama, bertumbuh bersama, dan menyelesaikan luka bersama, itu jauh lebih sulit.

Jika tidak disiapkan, pernikahan bukan membawa bahagia, tapi bisa jadi beban jiwa.

Penutup: Menikah Itu Pilihan Serius, Bukan Sekadar Cinta

Menikah itu suci. Tapi jika dilakukan tanpa kesiapan, ia bisa berubah menjadi luka. Jika belum siap, tak perlu terburu-buru. Jika sudah terlanjur gagal, bukan berarti hidup selesai.

Yang paling penting adalah belajar dari setiap kisah. Agar generasi setelah kita tidak menikah karena tuntutan sosial, tapi karena panggilan tanggung jawab. Dan agar pernikahan bukan hanya tentang dua hati yang bersatu, tetapi dua jiwa yang siap saling menguatkan.