Oleh: Azhari
Dulu, untuk bersilaturahmi dengan saudara di kampung halaman, seseorang harus menempuh perjalanan jauh, berkirim surat, atau menunggu momen hari raya. Untuk mengenal budaya luar negeri, orang membaca buku, menonton televisi, atau bepergian ke negara tersebut. Kini, hanya dengan membuka aplikasi TikTok, dunia ada dalam genggaman. Jarak bukan lagi hambatan, waktu tak lagi jadi soal.
TikTok dan platform digital lain telah mengubah pola komunikasi dan silaturahmi antar manusia. Apa yang dulu butuh biaya dan waktu, kini bisa terjadi dalam hitungan detik. Kita bisa menyapa teman lama, berkenalan dengan orang di benua lain, hingga melihat langsung tradisi, kuliner, atau cara hidup masyarakat negara jauh tanpa harus beranjak dari kamar.
Silaturahmi Digital: Dekat Tapi Jauh
Era TikTok membuat interaksi sosial menjadi lebih instan. Kita bisa bercengkerama, bertukar cerita, dan bersenda gurau lewat komentar atau live streaming. Banyak yang mengaku menemukan kembali teman lama, bahkan saudara jauh lewat dunia maya. Tak jarang pula, relasi bisnis dan kemitraan lahir dari pertemanan di TikTok.
Namun di sisi lain, silaturahmi digital kerap melahirkan relasi semu. Hubungan jadi dangkal, cepat akrab, tapi cepat pula hilang. Orang saling menyapa di dunia maya, tapi lupa bersalaman di dunia nyata. Kita jadi akrab dengan orang asing di layar, tapi lupa bertanya kabar tetangga di sebelah rumah.
Inilah tantangan sosial besar di era digital: bagaimana mempertahankan nilai-nilai luhur silaturahmi tanpa tergerus oleh budaya instan media sosial.
Mengenal Dunia Lebih Cepat, Belajar Lebih Mudah
Sisi positif lain dari TikTok dan platform serupa adalah kecepatan mengenal dunia. Hari ini, anak muda Aceh bisa tahu kebiasaan makan masyarakat Jepang, tren fashion Turki, hingga festival budaya di Brasil hanya dengan scroll video pendek.
Pembelajaran informal semacam ini membuka cakrawala. Banyak pelajaran hidup, tips bisnis, motivasi, bahkan tutorial keterampilan yang bisa dipelajari lewat video berdurasi 1-3 menit. Generasi muda jadi lebih mudah mengakses informasi tanpa harus masuk ruang kelas.
Namun tantangannya, tidak semua konten edukatif. Banyak pula konten negatif, berita bohong, dan budaya asing yang bertentangan dengan nilai lokal. Di sinilah pentingnya literasi digital agar masyarakat tidak hanya menjadi konsumen, tapi juga filter informasi.
Peluang Usaha di Era TikTok
TikTok bukan hanya soal hiburan. Platform ini telah menjadi ladang bisnis baru. Mulai dari jualan online, endorsement, konten kreator, hingga produk lokal yang mendunia lewat video viral.
Banyak UMKM di Aceh yang dulunya hanya mengandalkan pasar lokal, kini memasarkan produknya lewat TikTok Shop. Kripik Bireuen, kopi Gayo, dan songket Aceh tak lagi hanya dikenal di pameran daerah, tapi bisa dipesan orang Jakarta, Bali, hingga Malaysia.
Anak muda Aceh juga mulai menjajal peruntungan sebagai kreator konten. Tidak harus menari atau lipsync, tapi dengan membuat konten edukasi budaya, wisata, kuliner, sejarah, atau tutorial praktis yang bermanfaat. Dengan followers ribuan, mereka bisa mendapatkan penghasilan dari endorse, paid promote, hingga monetisasi konten.
Tantangan Budaya dan Moral
Di balik peluang itu, ancaman budaya dan moral juga mengintai. Banyak konten viral justru berisi joget vulgar, ujaran kebencian, hingga prank yang merusak etika sosial. Anak-anak terpapar tontonan dewasa, orang tua gagap digital, dan masyarakat gamang menjaga nilai adat di tengah arus global.
Aceh sebagai daerah berlandaskan syariat Islam memiliki tantangan lebih besar. Bagaimana menghadirkan budaya digital yang sehat, edukatif, sekaligus sesuai dengan nilai kearifan lokal. Jangan sampai TikTok jadi alat pembodohan, tapi justru dimanfaatkan untuk edukasi dan promosi positif daerah.
Kesimpulan: Bijak dalam Dunia Digital
Era TikTok dan media sosial bukan lagi soal pilihan, tapi realita yang tak bisa dihindari. Kita tak bisa melarang anak muda bermain TikTok, tapi bisa membimbing mereka menggunakan media itu untuk hal positif. Silaturahmi harus tetap dijaga, bukan hanya lewat layar, tapi juga di dunia nyata.
Kita perlu memanfaatkan kecepatan mengenal dunia ini untuk memperkaya diri, membuka peluang usaha, dan memperkenalkan budaya daerah ke level global. Aceh punya potensi luar biasa yang bisa viral dengan cara baik. Tapi ingat, semua harus dibingkai dalam nilai moral, etika digital, dan kecerdasan literasi.
Karena pada akhirnya, silaturahmi era TikTok bukan soal berapa banyak followers, tapi seberapa banyak manfaat yang bisa kita berikan untuk sekitar.