Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Aceh dalam Pemerintahan dan Kemerdekaan: Antara Pengakuan, Pengabaian, dan Harapan Baru

Sabtu, 31 Mei 2025 | 23:01 WIB Last Updated 2025-05-31T16:01:19Z




Aceh bukanlah daerah sembarangan dalam sejarah republik ini. Di atas tanah rencong, darah syuhada tumpah, bukan hanya untuk kemerdekaan Aceh, tetapi juga untuk republik yang kelak bernama Indonesia. Aceh adalah daerah yang lebih dulu merdeka sebelum Indonesia lahir. Namun sayang, sejarah pengabdian itu kerap diabaikan dalam narasi nasional.

Aceh dan Sumbangsih untuk Kemerdekaan Indonesia

Sejarah mencatat, saat republik ini lahir dalam keterbatasan, Aceh-lah yang pertama kali mengulurkan tangan. Ketika pesawat untuk diplomasi Indonesia ke luar negeri tidak ada, rakyat Aceh menggalang emas, menjual harta, dan membeli pesawat pertama RI: Seulawah RI-001.

Aceh bukan hanya bagian Indonesia, tapi penopang awal lahirnya republik ini. Para ulama, pejuang, dan rakyat Aceh bahu-membahu mempertahankan kemerdekaan yang baru seumur jagung dari cengkeraman penjajah.

Namun ironisnya, ketika kemerdekaan itu stabil, Aceh seakan dipinggirkan. Status Aceh sebagai daerah istimewa yang dijanjikan dalam perundingan dan piagam Jakarta tak pernah benar-benar diberikan secara utuh. Mulai dari penggabungan paksa ke Sumatra Utara, sampai pergolakan DI/TII di bawah Teungku Muhammad Daud Beureueh, semua lahir dari kekecewaan akibat pengkhianatan politik pusat kepada janji-janji terhadap Aceh.

Aceh dalam Pemerintahan Republik

Kini, setelah MoU Helsinki 2005, Aceh memang diberikan status Daerah Istimewa dengan otonomi khusus. Qanun-Qanun Syariat Islam diterapkan, dana otonomi khusus mengalir hingga triliunan rupiah. Tetapi persoalannya belum selesai. Kesejahteraan rakyat Aceh masih jauh dari ideal, angka kemiskinan tetap tinggi, dan pengangguran menjadi ancaman.

Pemerintahan Aceh pasca konflik justru banyak diwarnai praktik korupsi, elitisme politik, dan permainan kekuasaan. Sebagian pemimpin Aceh lebih sibuk mengurus posisi, tender proyek, dan membangun dinasti politik daripada benar-benar mengangkat harkat martabat rakyatnya.

Kemerdekaan Aceh sebagai bagian dari Indonesia seakan belum lengkap, jika rakyat Aceh masih menjadi penonton di negeri sendiri.

Antara Harapan dan Tantangan Baru

Hari ini, Aceh dihadapkan pada dua jalan:

  1. Terus berjalan di atas luka sejarah yang tak kunjung sembuh, atau
  2. Berdiri tegak sebagai bangsa Aceh dalam republik ini, dengan harga diri dan martabat.

Generasi muda Aceh harus bangkit. Bukan hanya menjadi penerima warisan konflik dan trauma masa lalu, tetapi menjadi aktor perubahan. Pemerintahan Aceh harus kembali berpihak kepada rakyat, bukan hanya kepada elite dan kelompok politik tertentu.

Qanun-Qanun Syariat harus menjadi instrumen perbaikan sosial, bukan sekadar alat simbolik. Dana otsus harus benar-benar dirasakan hingga ke kampung-kampung, bukan habis di meja elite. Dan pemimpin Aceh ke depan harus mampu bicara di forum nasional dan internasional, membawa harkat Aceh, bukan hanya mengemis anggaran.

Akhir Kata

Aceh adalah daerah yang memerdekakan, tapi sering diperlakukan sebagai daerah pinggiran. Namun Aceh bukan daerah yang bisa ditaklukkan oleh ketidakadilan. Sejarah telah membuktikan, bangsa Aceh lebih memilih mati terhormat daripada hidup dijajah, meski itu oleh bangsanya sendiri.

Sudah saatnya Aceh benar-benar merdeka — bukan sekadar dalam arti politik, tetapi dalam kesejahteraan, keadilan, dan harga diri rakyatnya. Karena kemerdekaan sejati adalah saat rakyat Aceh bisa hidup terhormat di atas tanah rencong, tanpa dihantui luka sejarah dan permainan politik sesaat.