Di bumi Aceh, sejarah tidak hanya ditulis oleh para sultan dan pemimpin perang. Ada barisan ulama yang tanpa pamrih mengorbankan hidupnya demi tegaknya nilai-nilai Islam dan martabat umat. Salah satu sosok yang terlupakan dari catatan sejarah itu ialah Teungku Ahmad Dewi, seorang ulama muda, orator tangguh, dan pejuang syariat yang jejaknya hilang tanpa bekas.
Teungku Ahmad Dewi adalah potret anak Aceh sejati, lahir dari garis keturunan ulama, hidup sederhana, dan tumbuh dalam gemblengan dayah. Perjalanannya dari satu dayah ke dayah lain, hingga akhirnya menjadi santri kepercayaan Abon Samalanga, membuktikan betapa keilmuan dan dedikasi moral bisa mengangkat seorang anak kampung menjadi pemimpin spiritual dan sosial.
Apa yang istimewa dari Teungku Ahmad Dewi bukan hanya orasinya yang tajam atau parasnya yang rupawan, tetapi keberaniannya menyuarakan dakwah di tengah situasi politik yang mencekam. Ia tak gentar berdakwah ke mana pun, dari pasar, pelosok kampung, hingga ke penjara. Bahkan ketika dijebloskan ke tahanan militer, tempat itu pun disulapnya menjadi Balai Tempat Menuntut — simbol perlawanan kultural terhadap rezim yang hendak membungkam suara ulama.
Di saat banyak tokoh memilih kompromi dengan keadaan, Teungku Ahmad Dewi justru tampil di garda depan. Ia mendidik para santri muda, membina barisan anti-maksiat, bahkan menyentuh lapisan masyarakat yang terpinggirkan, seperti para narapidana. Ini potret dakwah yang menyentuh semua lini sosial, bukan hanya mimbar masjid atau panggung pengajian.
Namun, seperti sejarah Aceh yang penuh luka, kisah Teungku Ahmad Dewi berakhir tragis. Sejak Maret 1991, ia menghilang tanpa kabar. Entah ditangkap, dibunuh, atau diasingkan, tak seorang pun tahu. Negara diam, pemerintah lokal tak berani bersuara, dan masyarakat pelan-pelan melupakannya. Nama yang dulu dielu-elukan, kini tinggal samar di ingatan generasi tua.
Kita harus jujur, Aceh memiliki hutang sejarah pada para ulama pejuang syariat. Mereka bukan hanya pewaris ilmu agama, tapi juga penggerak sosial, pelindung moral masyarakat, dan penegak nilai-nilai keadilan. Seperti Teungku Chik di Tiro, Abu Paya Pasi, hingga Abon Samalanga, barisan ulama selalu menjadi pelita di kala Aceh gulita.
Sayangnya, narasi sejarah Aceh modern justru seringkali abai menuliskan jasa-jasa mereka. Pemerintah Aceh pasca konflik terlalu sibuk pada politik birokrasi dan proyek-proyek fisik, tapi melupakan pembangunan narasi dan ingatan kolektif. Nama-nama seperti Teungku Ahmad Dewi seharusnya diposisikan sejajar dengan para syuhada Aceh, dengan cara membangun museum perjuangan ulama, mengabadikan kisah mereka di buku pelajaran sekolah, hingga menetapkan hari peringatan pejuang syariat Aceh.
Generasi muda Aceh harus tahu, syariat Islam di Aceh hari ini berdiri di atas darah, air mata, dan keringat orang-orang seperti Teungku Ahmad Dewi. Jangan biarkan perjuangan mereka hilang dalam kabut zaman. Kita butuh keberanian, sebagaimana Teungku Ahmad Dewi dulu, untuk merawat nilai-nilai itu sekaligus menantang penguasa yang lalai.
Aceh hari ini bukan hanya butuh pembangunan infrastruktur, tetapi pembangunan memori. Kita harus berani membaca ulang sejarah, menghidupkan kembali nama-nama yang dilupakan, dan menjadikan mereka inspirasi moral dalam menghadapi tantangan zaman.
Karena bangsa yang lupa sejarahnya, adalah bangsa yang kehilangan arah. Dan Aceh yang melupakan ulamanya, adalah Aceh yang kehilangan ruhnya.
Penutup
Opini ini bukan sekadar untuk mengenang sosok Teungku Ahmad Dewi, tetapi sebagai alarm bagi semua elemen di Aceh — mulai dari pemerintah, akademisi, ulama, hingga kawula muda — bahwa sejarah kita terlalu agung untuk dilupakan. Sudah saatnya Aceh berdamai dengan masa lalunya, merangkul kembali jejak para pejuang syariat, dan menjadikan perjuangan mereka sebagai spirit membangun peradaban Aceh yang lebih bermartabat.