Aceh hari ini berdiri di titik paling rawan dalam sejarahnya. Sebuah persimpangan besar yang menentukan: apakah negeri ini akan kembali menemukan ruh perjuangannya atau perlahan binasa ditelan ketamakan dan kelalaian.
Dulu, Aceh tidak pernah takut miskin. Tidak gentar menghadapi penjajah. Tidak goyah meski dunia mengepungnya. Sebab yang mereka pegang bukan angka-angka APBA, bukan dana Otsus, bukan proyek, bukan kursi empuk. Yang mereka genggam erat adalah kalimat tauhid dan kehormatan.
Namun kini, perjuangan itu perlahan jadi cerita nostalgia. Simbol-simbol syariat tinggal formalitas. Seruan jihad hanya slogan di atas spanduk. Dayah dijadikan tameng politik. Ulama dibeli suaranya. Pemuda dipaksa memilih antara diam atau jadi corong penguasa.
Aceh berada dalam persimpangan:
- Di satu sisi, ada jalan untuk kembali ke asal, mengembalikan ruh perjuangan, menata kembali negeri ini di atas marwah dan harga diri. Menguatkan ulama, memberdayakan rakyat, dan menjadikan keadilan sebagai pondasi pemerintahan.
- Di sisi lain, ada jalan gelap, jalan kompromi kepentingan, jual beli jabatan, dan kemunafikan politik yang terus menggerogoti moral generasi.
Kalau jalan pertama dipilih, Aceh akan sakit, tapi bisa sembuh. Karena kebenaran itu kadang pahit, tapi itulah obat. Akan banyak yang marah, banyak yang menolak, tapi Aceh bisa bangkit kembali. Dengan syarat: ada yang berani bicara, ada yang berani bergerak, dan ada yang ikhlas kehilangan jabatan demi harga diri Aceh.
Kalau jalan kedua dipilih, Aceh akan tampak aman di permukaan. Proyek tetap jalan. Kursi tetap penuh. Pidato tetap berkumandang. Tapi perlahan, kehormatan akan hilang. Darah syuhada akan jadi percuma. Dan Aceh akan jadi tanah jajahan gaya baru, tanpa perlu tentara, cukup dengan uang, hukum, dan ancaman.
Di Mana Kita Berdiri?
Hari ini, setiap orang Aceh harus menjawab pertanyaan itu. Di mana kau berdiri?
Di jalan para syuhada atau di barisan penjilat?
Di jalan rakyat atau di lingkaran penguasa zalim?
Di atas kebenaran atau dalam diam yang mematikan?
Aceh tidak butuh banyak pemimpin, tidak butuh banyak partai. Aceh hanya butuh sedikit orang yang jujur, berani, dan tulus — yang lebih takut kepada Allah daripada kehilangan jabatan. Itulah yang dulu membuat Aceh disegani. Itulah yang harus dihidupkan kembali.
Karena jika tidak, Aceh akan binasa bukan oleh peluru, tapi oleh pengkhianatan anak negerinya sendiri.