Oleh: Azhari
Dalam panggung politik dan organisasi, kita seringkali melihat bagaimana gendang perpecahan ditabuh bukan karena perbedaan prinsip, melainkan karena kepentingan sesaat dan hasrat kekuasaan titipan. Mereka yang dulu satu barisan, satu mimbar, dan satu sumpah perjuangan, tiba-tiba saling sikut dan menjatuhkan hanya karena jabatan dan kepentingan kelompok tertentu.
Sejarah pun mencatat, banyak organisasi, komunitas, bahkan bangsa yang hancur bukan karena lawan dari luar, tapi karena perpecahan dari dalam. Perpecahan itu kerap dipantik oleh mereka yang menjadikan kekuasaan sebagai alat dagang dan kursi jabatan sebagai warisan pribadi.
Kepentingan Pribadi Diselubungi Nama Organisasi
Ironisnya, para pelaku perpecahan ini kerap membungkus kepentingan pribadinya dengan nama organisasi, rakyat, atau bangsa. Mereka bicara seolah memperjuangkan kebaikan bersama, padahal di balik itu ada titipan jabatan, proyek, atau agenda kelompok yang ingin menguasai panggung.
Hasrat kekuasaan ini buta. Ia tak peduli siapa yang harus disingkirkan, siapa yang harus dipermalukan. Bahkan sahabat seperjuangan pun bisa jadi korban. Demi kekuasaan, adab organisasi dilanggar, nilai persaudaraan dilupakan, dan cita-cita perjuangan dikhianati.
Gendang Perpecahan Itu Nyaring Terdengar
Kita bisa lihat hari ini, bagaimana isu-isu kecil dibesar-besarkan, perbedaan pendapat dipelintir jadi perpecahan, dan orang-orang yang kritis dicap pembangkang. Semua itu adalah irama dari gendang perpecahan yang ditabuh secara sistematis oleh kelompok yang merasa terusik ambisinya.
Mereka yang memegang kekuasaan tak ingin posisinya terganggu. Sementara mereka yang haus jabatan mencari celah untuk menjatuhkan. Akhirnya, organisasi bukan lagi tempat membangun gagasan, tapi arena saling bunuh karakter dan adu strategi.
Korban Utama: Rakyat dan Kader Idealis
Yang paling dirugikan dari perpecahan ini bukan para elite yang berebut kursi, tapi kader-kader idealis yang jujur, dan rakyat yang berharap perubahan. Mereka dikhianati oleh elite yang lebih sibuk mengurus titipan kekuasaan daripada memikirkan program nyata.
Organisasi yang terbelah karena kepentingan sesaat lambat laun akan kehilangan kepercayaan publik. Kader-kader muda yang bersemangat pun akan enggan bergabung, karena melihat senior-seniornya hanya sibuk berebut kursi.
Haruskah Kita Diam?
Perpecahan karena hasrat kekuasaan ini tak boleh dibiarkan. Kita perlu menyadarkan publik dan kader organisasi bahwa kekuasaan itu bukan tujuan akhir, melainkan alat perjuangan. Kita perlu ingatkan bahwa kekuasaan tanpa adab hanya akan melahirkan arogansi, dan perpecahan demi kepentingan pribadi akan meninggalkan kehancuran.
Organisasi harus kembali pada ruh perjuangannya. Perbedaan pendapat harusnya jadi kekayaan, bukan alasan permusuhan. Kepentingan bersama harus dikedepankan di atas ambisi kelompok. Dan loyalitas itu harus dibangun pada nilai, bukan pada figur atau kekuasaan.
Penutup: Kekuasaan Itu Sementara, Nama Baik Itu Selamanya
Kepada para pelaku perpecahan, ingatlah: kekuasaan itu sementara, tapi nama baik akan dikenang selamanya. Sejarah akan menulis siapa yang memperjuangkan nilai, siapa yang menghianati kawan, dan siapa yang menabuh gendang perpecahan demi hasrat kekuasaan pribadi.
Jangan biarkan organisasi dan bangsa ini terus terperangkap dalam politik titipan yang merusak. Karena setiap kali gendang perpecahan ditabuh, maka satu demi satu harapan rakyat ikut terkubur.