Dalam dunia politik Aceh pasca konflik, ada satu ironi yang terus berulang: agenda-agenda perjuangan rakyat yang dulu diperjuangkan dengan darah dan air mata, kini dibajak oleh segelintir elite untuk kepentingan pribadi dan kelompoknya. Apa yang dulu dibawa ke medan perundingan, kini dijadikan komoditas untuk tawar-menawar di meja kekuasaan.
Dari Perjuangan Menuju Perdagangan Kepentingan
Aceh dulu dikenal karena keberanian rakyatnya melawan ketidakadilan. Mulai dari perlawanan terhadap Belanda, penjajahan Jepang, hingga konflik panjang pasca reformasi. Rakyat menginginkan keadilan, kesejahteraan, dan harkat hidup yang layak. Sayangnya, ketika perjuangan itu mencapai puncaknya melalui MoU Helsinki, sebagian elite justru mulai memainkan perannya dalam politik transaksional.
Dana otonomi khusus yang diharap menjadi alat pemulihan rakyat, justru dikuasai oleh segelintir elite politik dan kroninya. Jabatan dibagi, proyek diserahkan ke tangan-tangan dekat kekuasaan, sementara rakyat yang dulu menjadi alasan perjuangan hanya kebagian janji dan sembako saat pemilu.
Partai Lokal Jadi Alat, Bukan Wakil Rakyat
Yang lebih menyedihkan, partai politik lokal Aceh yang dulu digadang-gadang sebagai wadah perjuangan rakyat, kini banyak yang terjebak dalam politik dagang sapi. Kursi di dewan menjadi alat tawar, bukan sarana memperjuangkan aspirasi rakyat.
Kader-kader kritis disingkirkan, yang dipilih justru mereka yang pandai memuji penguasa dan rela menjadi perpanjangan tangan kekuasaan. Rakyat kehilangan wakil sejati di parlemen. Suara rakyat hanya lantang terdengar saat kampanye, dan kembali sunyi begitu kekuasaan diraih.
Otonomi Khusus: Berkah atau Musibah?
Otonomi khusus yang semestinya menjadi peluang emas untuk membangun Aceh, justru menjadi ladang basah elite politik. Anggaran triliunan rupiah yang digelontorkan ke Aceh setiap tahun sebagian besar habis untuk proyek-proyek elitis dan belanja pegawai.
Rakyat pedalaman, nelayan miskin, petani sawah tadah hujan, dan korban konflik seolah-olah hanya jadi latar cerita saat peringatan MoU Helsinki, selebihnya diabaikan. Padahal merekalah alasan mengapa Aceh dulu bersenjata.
Ketika ada kritik soal ketimpangan anggaran dan proyek titipan elite, para penjilat kekuasaan kembali tampil. Mereka membela penguasa, menyerang balik kritikus, bahkan memutarbalikkan fakta. Inilah cara elite Aceh membajak agenda rakyat: menguasai ruang politik, mengendalikan anggaran, dan membungkam suara-suara kritis.
Warisan Feodalisme Politik
Sebagian elite Aceh juga masih mewarisi budaya feodal dalam pola kepemimpinannya. Pemimpin dipuja tanpa kritik, keputusan dianggap mutlak tanpa ruang diskusi. Siapa yang menentang, disingkirkan. Siapa yang menjilat, diangkat. Akibatnya, kebijakan publik di Aceh sering kali tak berpihak pada kepentingan umum, melainkan pada lingkaran elite yang dekat dengan kekuasaan.
Di banyak daerah, kebijakan-kebijakan penting seringkali diputuskan secara sepihak tanpa melibatkan aspirasi rakyat. Proyek-proyek pembangunan kerap dipaksakan demi kepentingan politik lima tahunan, bukan berdasarkan kebutuhan riil masyarakat. Inilah hasil dari budaya menjilat dan politik transaksional yang mengakar.
Rakyat Harus Rebut Kembali Agenda Perjuangan
Jika situasi ini terus dibiarkan, Aceh hanya akan menjadi wilayah otonomi yang penuh dengan elite rakus dan rakyat yang kehilangan harapan. Karena itu, rakyat Aceh, khususnya pemuda, mahasiswa, ulama, dan kelompok sipil harus bersatu merebut kembali agenda perjuangan. Aceh butuh lebih banyak tokoh yang berani mengkritik dan melawan ketidakadilan.
Media independen harus diberi ruang, kampus harus kembali kritis, dan ruang publik mesti diisi diskusi-diskusi yang membangun kesadaran politik rakyat. Partai-partai lokal pun harus didesak kembali ke jalur perjuangan rakyat, bukan menjadi partai keluarga atau alat dagang politik.
Penutup
Elite Aceh boleh saja terus bermain di atas panggung kekuasaan, menjilat tahta, dan membajak agenda perjuangan. Tapi sejarah mengajarkan, kekuasaan yang dibangun di atas ketidakadilan dan pengkhianatan terhadap rakyat tak pernah abadi.
Aceh tidak kekurangan orang pintar, tapi terlalu banyak orang pintar yang memilih diam, dan terlalu sedikit yang berani melawan. Saatnya keberanian itu dilahirkan kembali. Karena Aceh ini milik rakyat, bukan milik segelintir elite yang menjilat tahta.