Oleh: Azhari
Di negeri yang kerap menyebut dirinya sebagai Serambi Mekkah, jejak-jejak sejarah kegemilangan Islam Nusantara justru sering kali luput dari perhatian generasi pewarisnya. Salah satu bukti nyata dari paradoks itu adalah kondisi Masjid Tua Indrapuri — masjid peninggalan Al-Imam Al-Adil Sultan Sulaiman Iskandar Muda, raja terbesar dalam sejarah Kesultanan Aceh Darussalam.
Masjid ini terletak di sebuah desa kecil di Kecamatan Indrapuri, Aceh Besar. Meski telah berusia lebih dari 400 tahun, bangunan masjid ini masih berdiri tegak. Struktur arsitekturnya masih mempertahankan ciri khas masjid kerajaan Aceh klasik, dengan bentuk segi empat yang dikelilingi tembok tinggi. Di dalamnya, beberapa bagian bangunan asli masih utuh, meskipun usia dan waktu telah membuatnya renta.
Sayangnya, kemegahan sejarah ini seakan ditelan zaman. Masjid yang dulunya menjadi pusat dakwah, benteng syiar Islam, sekaligus saksi kekuasaan Sultan Iskandar Muda, kini lebih banyak dikenal sebagai objek wisata sejarah, tanpa upaya serius untuk merawat nilai dan makna spiritual serta budayanya.
Masjid Tertua, Saksi Kejayaan Aceh
Sejarah mencatat, Sultan Iskandar Muda membangun masjid ini di atas reruntuhan benteng lama peninggalan Hindu. Langkah ini menjadi simbol transformasi peradaban di Aceh: dari masa kekuasaan lokal kuno menuju kejayaan Islam yang kuat dan berdaulat. Masjid ini dulunya bukan sekadar tempat ibadah, tapi juga pusat musyawarah, pengadilan kerajaan, hingga tempat pemantapan strategi perang saat menghadapi ancaman kolonial Portugis.
Masjid Tua Indrapuri menyimpan arsitektur khas Aceh abad ke-16 hingga ke-17, di mana konsep keislaman berpadu dengan unsur lokal. Pilar-pilar kayu ulin, struktur atap tumpang tiga, serta tembok benteng yang kokoh menjadi bukti bahwa Kesultanan Aceh telah memiliki peradaban arsitektur monumental jauh sebelum banyak daerah di Nusantara mengenalnya.
Namun ironisnya, meski menjadi saksi sejarah besar, posisi masjid ini di tengah kesadaran publik Aceh saat ini justru nyaris terpinggirkan.
Kondisi Terkini: Berdiri, Tapi Terlupakan
Hingga hari ini, Masjid Tua Indrapuri masih difungsikan sebagai tempat ibadah. Shalat berjamaah, zikir, dan acara adat masyarakat setempat masih berlangsung di sini. Namun, perhatian pemerintah terhadap pelestarian sejarah dan revitalisasi nilai budayanya tergolong minim.
Sebagian bangunan sisi luar memang masih kokoh, tapi beberapa bagian dalam sudah lapuk dimakan usia. Sayangnya, renovasi yang pernah dilakukan lebih bersifat tambal sulam, bukan restorasi berbasis kajian sejarah. Lebih ironis lagi, generasi muda Aceh sebagian besar tidak tahu bahwa di daerahnya ada masjid berusia lebih dari empat abad yang didirikan langsung oleh Sultan Iskandar Muda.
Alih-alih menjadi pusat pendidikan sejarah, masjid ini kini hanya sesekali disambangi oleh peziarah, tanpa program berkelanjutan untuk memperkenalkan nilai sejarahnya ke publik Aceh maupun Nusantara.
Kenapa Warisan Sejarah Ini Harus Diselamatkan?
Sejarah bukan sekadar cerita masa lalu, tetapi identitas kolektif yang menentukan harga diri sebuah bangsa. Masjid Tua Indrapuri bukan hanya saksi kejayaan Islam Aceh, tapi juga simbol integrasi budaya, perlawanan terhadap kolonialisme, dan keagungan intelektual ulama-ulama Aceh di masa silam.
Jika Aceh terus kehilangan jejak-jejak warisan seperti ini, maka dalam beberapa dekade ke depan, kita akan menjadi bangsa tanpa akar. Generasi muda hanya mengenal Aceh lewat festival kuliner dan destinasi pantai, tanpa paham bahwa Aceh pernah menjadi pusat peradaban Islam terbesar di Asia Tenggara.
Masjid Tua Indrapuri bisa menjadi pusat wisata sejarah edukatif, kampung budaya, hingga lokasi sekolah musyawarah adat dan syariat. Tapi untuk itu, dibutuhkan political will dari pemerintah, dukungan ulama, pegiat sejarah, serta kesadaran publik Aceh itu sendiri.
Saatnya Aceh Bergerak
Sudah waktunya Aceh membuat grand design penyelamatan situs sejarah. Tidak sekadar merawat fisik bangunan, tapi menghidupkan kembali perannya dalam membentuk kesadaran kolektif masyarakat. Masjid Tua Indrapuri harus dijadikan situs sejarah nasional, dilengkapi pusat informasi digital, program wisata edukasi, dan revitalisasi budaya.
Pemerintah Aceh bersama Balai Pelestarian Kebudayaan, Lembaga Adat Aceh, serta dayah-dayah tradisional harus bersinergi. Selain itu, generasi muda, khususnya mahasiswa dan komunitas literasi, perlu digerakkan untuk menulis, merekam, dan menyebarluaskan kisah-kisah sejarah seperti ini agar tidak terputus oleh waktu.
Penutup
Masjid Tua Indrapuri bukan sekadar bangunan. Ia adalah roh sejarah Aceh. Di setiap batu batanya tersimpan kisah dakwah, jihad, dan musyawarah para sultan. Di setiap sudut temboknya terukir jejak darah pejuang yang mempertahankan marwah Islam Aceh.
Aceh berutang kepada sejarahnya sendiri. Dan jika kita abai, kelak generasi setelah kita akan mewarisi Aceh yang kosong — tanpa ingatan, tanpa harga diri.
Masjid Tua Indrapuri harus diselamatkan. Sekarang, bukan nanti.
Jika Anda setuju dengan gagasan ini, mari kita viralkan, bicarakan, dan gerakkan bersama. Aceh terlalu besar untuk dibiarkan kehilangan sejarahnya.