Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Bila Kamu Meninggal, Apa yang Kamu Wariskan Kepada Generasi Muda Aceh

Sabtu, 31 Mei 2025 | 01:30 WIB Last Updated 2025-05-30T18:30:08Z




Sejarah bukan hanya tentang masa lalu. Ia adalah pelita yang menuntun kaki kita di gelapnya masa depan. Aceh, negeri yang pernah disebut Serambi Mekkah, adalah warisan peradaban besar yang telah menorehkan jejaknya dalam sejarah dunia Islam dan Nusantara. Tapi di tengah arus zaman yang menggila, aku ingin mengajukan satu pertanyaan kepada diriku sendiri, dan kepada kalian yang membaca tulisan ini: Bila kamu meninggal, apa yang kamu wariskan kepada generasi muda Aceh?

Pertanyaan ini bukan soal harta, bukan pula tentang jabatan. Ini tentang nilai, tentang jejak yang meninggalkan makna, tentang warisan pemikiran, keteladanan, dan keberanian. Sebab sehebat apa pun seseorang, bila kematiannya tak meninggalkan nilai apa-apa, maka sesungguhnya ia telah mati dua kali: di tubuh, dan di ingatan sejarah.


Aceh: Negeri Para Pejuang dan Ulama

Kita lahir dari tanah yang dulu pernah melahirkan nama-nama besar: Sultan Iskandar Muda, Laksamana Malahayati, Teungku Chik di Tiro, Cut Nyak Dhien, Pocut Baren, Tgk. Chik Pante Kulu, hingga Daud Beureueh. Mereka bukan hanya pejuang bersenjata, tapi juga pemimpin ruhani yang menjadikan ilmu dan martabat bangsa sebagai harga mati.

Namun hari ini, generasi kita dan yang setelah kita semakin terputus dari akar itu. Banyak pemuda Aceh yang mengenal nama-nama pahlawan Korea lebih baik daripada tahu siapa Tgk. Chik di Pasi atau Laksamana Keumala Hayati. Kita lebih fasih membicarakan konser band luar negeri daripada berdiskusi soal sejarah Kesultanan Aceh, Qanun Meukuta Alam, atau perjuangan diplomasi Aceh di Istanbul.

Lalu, bila kita mati, apa yang kita tinggalkan? Likes di Instagram? Akun TikTok viral? Atau warisan sikap permisif yang tak peduli negeri?


Warisan yang Lebih Dari Sekadar Harta

Aku ingin generasi Aceh yang lahir setelah kita nanti tetap memiliki identitas. Bukan identitas dalam bentuk simbol-simbol kosong tanpa makna, tapi identitas yang mewujud dalam cara berpikir, bertindak, dan bermartabat.

Kita bisa meninggalkan tulisan, gagasan, komunitas, karya seni, atau langkah-langkah kecil yang akan terus hidup. Kita bisa merintis ruang-ruang diskusi, membangun pesantren-pesantren modern yang progresif tanpa tercerabut dari akar tradisi. Kita bisa merawat naskah-naskah tua di Aceh Tamiang, Pidie, atau Langsa. Kita bisa meluruskan narasi sejarah yang selama ini disusupi kepentingan kolonial.

Bila kita semua melakukan itu, maka ketika ajal menjemput, kita meninggalkan sesuatu yang lebih bernilai dari sekadar batu nisan.


Bangkitnya Generasi Penjilat atau Generasi Pejuang?

Hari ini Aceh dihadapkan pada persimpangan. Apakah kita ingin mewariskan generasi penjilat kekuasaan, pecundang moral, dan pemuda yang sibuk mencari jalan instan? Atau kita ingin mewariskan generasi yang keras kepala memperjuangkan keadilan, pendidikan, martabat agama, dan nilai budaya Aceh?

Bila kita hanya diam, kita akan menyaksikan Aceh kehilangan arah. Seperti kota-kota yang tenggelam dalam sejarah karena generasi penerusnya abai. Bila kita terus membiarkan korupsi merajalela, pendidikan terpuruk, dan nilai-nilai agama dipermainkan atas nama kepentingan politik, maka sejarah akan mencatat kita sebagai generasi pengecut.


Tugas Kita: Menjadi Titik Nyala

Kita tidak harus menjadi gubernur, bupati, atau ulama besar untuk meninggalkan warisan berarti. Cukup dengan menjadi titik nyala di lingkungan kecil. Mulailah dari menjaga tradisi dayah, merawat maqam ulama, menulis sejarah yang benar, menanam nilai-nilai moral pada anak-anak muda di kampung. Karena warisan terbesar bukan terletak pada seberapa luas kekuasaanmu, tapi seberapa kuat pengaruh baikmu dalam masyarakat.

Sebatang lilin kecil bisa menyalakan seribu pelita. Dan Aceh butuh lebih banyak lilin, bukan lebih banyak lalat yang hanya terbang mengerumuni bangkai kekuasaan.


Biarkan Namamu Dikenang Karena Nilai, Bukan Karena Viral

Bila aku mati besok, aku ingin dikenang bukan karena foto di media sosial atau berita sensasi. Aku ingin namaku disebut karena aku pernah menulis tentang sejarah Aceh, pernah berdiri membela hak rakyat miskin, pernah berkata benar di tengah kebohongan, dan pernah menjadi suara bagi yang bisu.

Dan aku berharap kamu pun begitu. Kita semua akan mati. Tinggal pilih, mau jadi arwah yang terlupa, atau jadi sejarah yang dikenang.


Bireuen, 2025

Azhari