Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Dari Kerajaan ke MoU Helsinki — Benarkah Aceh Sudah Damai

Jumat, 30 Mei 2025 | 23:22 WIB Last Updated 2025-05-30T16:22:19Z




Oleh: Azhari 

Bicara tentang Aceh berarti bicara tentang sejarah panjang perlawanan dan peradaban. Sejak era Kesultanan Aceh Darussalam, negeri ini pernah menjadi pusat kekuatan politik, agama, dan perdagangan di Asia Tenggara. Jejak kejayaan itu kini hanya tersisa di catatan sejarah dan beberapa puing istana, sementara masyarakatnya terus berjuang keluar dari bayang-bayang konflik bersenjata yang berkepanjangan.

MoU Helsinki tahun 2005 dianggap tonggak penting berakhirnya konflik Aceh. Tapi benarkah damai sudah sepenuhnya terwujud?

Konflik yang Tak Pernah Selesai

Konflik Aceh secara resmi dihentikan melalui perjanjian damai di Helsinki, Finlandia. Senjata diturunkan, pasukan ditarik, dan Aceh mendapatkan otonomi khusus. Tapi konflik di Aceh sesungguhnya tidak hanya soal senjata. Ada konflik laten soal ketimpangan sosial, soal ketidakadilan ekonomi, soal trauma masa lalu, dan soal elitisme politik yang tak pernah selesai.

Kita menyaksikan bagaimana pasca-MoU, lahir partai-partai lokal, lahir elit-elit baru, tapi nasib rakyat kecil masih tetap dalam kemiskinan. Infrastruktur memang dibangun, tapi pengangguran, kemiskinan ekstrem, dan ketimpangan desa-kota masih nyata. Apa artinya damai kalau ketidakadilan tetap hidup?

Damai yang Dipolitisasi

Bahkan istilah "damai Aceh" pun kerap dipolitisasi. Ia dijadikan alat bargaining elite lokal di hadapan pusat. Seolah-olah Aceh terus diposisikan sebagai daerah rawan, supaya kue otonomi tetap mengalir ke kantong-kantong elite tertentu. Rakyat Aceh tak butuh damai di atas kertas, tapi damai di perut, di kepala, dan di hati.

Inilah saatnya generasi baru Aceh menafsir ulang apa itu damai. Damai bukan berarti bebas senjata, tapi bebas lapar, bebas takut, dan bebas dari ketidakadilan