Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Dayah di Era Digital: Saatnya Badan Pendidikan Dayah Aceh Menjadi Motor Santri Go Internasional

Minggu, 25 Mei 2025 | 18:00 WIB Last Updated 2025-05-25T11:00:21Z




Oleh: Azhari 

Aceh dikenal sebagai negeri Serambi Mekkah, tempat syiar Islam pernah gemilang sejak abad ke-16. Dayah, sebagai institusi pendidikan tertua di Aceh, menjadi benteng terakhir nilai-nilai syariat dan adat. Namun di era digital yang serba cepat, tantangan dan peluang Dayah semakin kompleks. Bukan hanya soal mempertahankan tradisi keilmuan klasik, tapi juga soal relevansi dalam dunia global yang didominasi teknologi.

Di tengah arus digitalisasi pendidikan nasional dan global, Aceh membutuhkan strategi besar agar lembaga Dayah tetap eksis, adaptif, sekaligus mampu menghasilkan santri-santri berdaya saing internasional. Di sinilah pentingnya konsep Badan Pendidikan Dayah Aceh sebagai motor penggerak transformasi pendidikan Dayah di era digital.

Dayah dan Tantangan Era Digital

Saat ini, dunia pesantren di Indonesia — termasuk Dayah di Aceh — dihadapkan pada tantangan modernisasi tanpa kehilangan ruh keislaman. Platform-platform digital, kecerdasan buatan, hingga sistem pembelajaran daring menjadi standar baru di dunia pendidikan. Jika Dayah tetap mempertahankan pola tradisional tanpa inovasi, maka potensi marginalisasi di tengah era global tak bisa dihindari.

Sebaliknya, era digital juga menawarkan peluang besar. Santri-santri Aceh bisa lebih mudah mengakses kitab-kitab klasik, mengikuti kajian ulama dunia secara daring, bahkan berinteraksi dengan komunitas pesantren internasional. Dengan catatan, Dayah harus didukung oleh sistem manajemen pendidikan yang adaptif, profesional, dan terstruktur — inilah yang semestinya dikelola secara terpusat oleh Badan Pendidikan Dayah Aceh.

Konsep Ideal Badan Pendidikan Dayah Aceh

Selama ini, eksistensi Badan Dayah di Aceh masih cenderung bersifat administratif dan fasilitatif. Padahal, ia berpotensi menjadi otoritas pendidikan Islam berbasis Dayah yang memiliki peran strategis dalam pengembangan kurikulum, pelatihan SDM Dayah, dan diplomasi pendidikan internasional.

Konsep idealnya, Badan Pendidikan Dayah Aceh tidak sekadar menjadi pengelola bantuan dana dan legalitas Dayah, tapi juga:

  1. Merumuskan Kurikulum Digitalisasi Dayah, yang mengombinasikan turats (kitab kuning) dengan literasi digital, bahasa asing (Arab-Inggris), dan wawasan global.

  2. Membentuk Akademi Santri Digital Aceh, yang menjadi pusat pelatihan santri dalam hal teknologi informasi, media dakwah digital, hingga entrepreneurship syariah.

  3. Menjalin Kerjasama Internasional, dengan lembaga pesantren modern di Timur Tengah, Malaysia, Brunei, Turki, bahkan Eropa yang concern pada pendidikan Islam moderat.

  4. Menyediakan Platform Digital Dayah Aceh, berisi kitab-kitab digital, kajian ulama Aceh, dakwah daring, hingga kelas virtual lintas dayah.

  5. Membangun Inkubator Bisnis Santri, untuk mendukung kemandirian ekonomi dayah dan alumninya dengan model bisnis syariah berbasis digital.

Santri Go Internasional: Mimpi atau Target Nyata?

Sebagian pihak mungkin menganggap gagasan “Santri Go Internasional” sebagai sesuatu yang utopis. Padahal, Aceh memiliki modal dasar yang sangat kuat. Santri-santri Aceh dikenal fasih dalam keilmuan turats, fasih berbahasa Arab, dan memiliki jaringan historis ke berbagai negara Islam sejak era Kesultanan Aceh.

Saat ini tinggal bagaimana Badan Pendidikan Dayah Aceh mengambil peran itu secara aktif. Dengan dukungan teknologi digital, santri Aceh bisa menjadi dai internasional, akademisi di universitas Islam dunia, hingga entrepreneur syariah global. Aceh tidak boleh puas dengan label “Serambi Mekkah” tanpa berusaha menghidupkan kembali jejaring intelektualnya di level global.

Diplomasi Budaya dan Islam Wasathiyah Aceh ke Dunia

Santri Go Internasional bukan semata soal prestasi personal santri Aceh di luar negeri, tapi juga soal diplomasi budaya dan keislaman Aceh. Dunia saat ini membutuhkan wajah Islam yang damai, moderat, dan berbudaya — sesuatu yang sejak dulu menjadi identitas Aceh.

Badan Pendidikan Dayah Aceh seharusnya mengambil peran diplomatik ini dengan mengirimkan delegasi santri ke forum-forum pesantren dunia, menjadi tuan rumah konferensi Dayah Internasional, hingga memproduksi karya ilmiah santri Aceh yang diterbitkan di jurnal-jurnal Islam global.

Jangan Sampai Dayah Tertinggal

Aceh hari ini harus berani memilih: membiarkan Dayah berjalan di jalur lama yang pelan-pelan terpinggirkan, atau mendorong Badan Pendidikan Dayah menjadi motor utama pembaruan pendidikan Islam berbasis digital menuju santri Aceh go internasional. Jika Dayah di Aceh mampu beradaptasi dengan era digital tanpa kehilangan ruhnya, maka ia bukan hanya akan bertahan, tapi juga kembali berjaya di pentas dunia Islam.

Dan tugas itu, harus dimulai sekarang.