Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Gerbong Kemerdekaan vs Perdamaian Aceh: Refleksi Masa Kini

Kamis, 29 Mei 2025 | 20:49 WIB Last Updated 2025-05-29T13:49:40Z



Oleh: Azhari 


Aceh adalah tanah yang memiliki dua wajah sejarah: wajah perlawanan dan wajah perdamaian. Dua dekade yang lalu, bumi Serambi Mekkah ini menjadi saksi bagi gerakan perjuangan bersenjata yang menuntut kemerdekaan dari Republik Indonesia. Gerakan tersebut lahir bukan semata karena ego politik, tapi dipupuk oleh ketidakadilan, ketimpangan, dan luka sejarah yang lama menganga.

Namun, sejarah juga mencatat bahwa Aceh adalah tanah para alim ulama dan bijak bestari. Saat perang tak lagi menghasilkan apa-apa selain luka, rakyat memilih jalan damai. MoU Helsinki 2005 menjadi momentum penting, bukan hanya untuk menghentikan suara peluru, tetapi juga untuk membuka jalan masa depan Aceh yang lebih bermartabat.

Sayangnya, kini Aceh seperti terjebak dalam dua gerbong yang bergerak ke arah berlawanan: gerbong kemerdekaan yang masih menjadi nostalgia sebagian orang, dan gerbong perdamaian yang kadang berjalan tanpa arah dan tujuan yang jelas.


Aceh, Luka Sejarah, dan Gerbong Kemerdekaan

Gerakan Aceh Merdeka (GAM) bukan hadir tanpa alasan. Ketidakadilan distribusi kekayaan alam, diskriminasi pembangunan, serta perbedaan nilai budaya menjadi bahan bakar utama perjuangan. Narasi perjuangan yang dibangun saat itu lebih dari sekadar politik, tapi soal harga diri dan hak menentukan nasib sendiri.

Gerbong kemerdekaan itu masih ada hingga kini. Meski tidak lagi dalam bentuk senjata, tapi dalam bentuk wacana-wacana ideologis, simbol-simbol politik, hingga perdebatan seputar identitas Aceh di ruang publik. Diskursus tentang bendera Aceh, Qanun, hingga pengelolaan kekayaan alam terus memunculkan ketegangan kecil di balik senyum perdamaian.

Sebagian anak muda masih diwarisi romantisme perjuangan tersebut, meski mungkin mereka sendiri tak pernah mengalami langsung getirnya konflik. Gerbong kemerdekaan itu tak pernah benar-benar berhenti, hanya berganti rel dan lokomotifnya.


MoU Helsinki dan Gerbong Perdamaian yang Tertatih

Di sisi lain, perdamaian Aceh yang dihasilkan dari perundingan Helsinki merupakan angin segar bagi rakyat Aceh. Akhir dari konflik berdarah yang menewaskan lebih dari 15 ribu jiwa ini diharapkan menjadi awal babak baru bagi kemajuan Aceh. Otonomi khusus diberikan. Dana otsus mengalir deras. Kesempatan membangun Aceh dari Aceh oleh orang Aceh terbuka lebar.

Namun, setelah 20 tahun berlalu, gerbong perdamaian ini seakan berjalan tertatih. Harapan rakyat Aceh yang ingin hidup lebih sejahtera masih sering terbentur oleh kenyataan politik transaksional, elite-isme, dan ketimpangan sosial. Kekayaan alam Aceh belum sepenuhnya dinikmati rakyatnya. Angka kemiskinan tetap tinggi. Korupsi menyeret pejabat dari mantan kombatan hingga birokrat sipil.

Perdamaian tanpa keadilan hanya akan menjadi istirahat sejenak dari konflik. Dan itulah yang dirasakan sebagian masyarakat Aceh hari ini. Mereka tak ingin kembali ke masa lalu, tapi juga kecewa dengan wajah perdamaian yang jauh dari cita-cita.


Refleksi Masa Kini: Mana Gerbong yang Kita Naiki?

Di titik ini, Aceh sebenarnya dihadapkan pada pilihan:

  • Tetap memelihara gerbong nostalgia kemerdekaan sebagai alat tawar politik.
  • Atau serius membangun gerbong perdamaian yang berpihak pada rakyat.

Sayangnya, kedua gerbong ini seringkali tak berjalan beriringan. Masyarakat sipil, terutama generasi muda Aceh, kini berada di persimpangan sejarah. Sebagian bosan dengan politik balas dendam dan euforia masa lalu. Mereka butuh visi baru Aceh pasca-konflik, yang lebih progresif dan menjanjikan.

Sayangnya, banyak elite yang masih sibuk menjual nama besar perjuangan atau sibuk mengkapitalisasi perdamaian untuk kepentingan pribadi. Gerbong kemerdekaan dijadikan romantisme politik, sedangkan gerbong perdamaian dimonopoli segelintir orang yang lupa rakyat yang mereka wakili.


Aceh Butuh Gerbong Baru

Jika benar Aceh ingin maju, kedua gerbong ini harus dirakit ulang. Aceh tak butuh gerbong yang membawa dendam atau sekadar basa-basi perdamaian. Aceh butuh gerbong baru: gerbong peradaban dan keadilan.

Perdamaian harus diwujudkan dalam bentuk yang nyata:

  • Pendidikan yang berkualitas.
  • Lapangan kerja yang terbuka.
  • Kekayaan alam yang benar-benar dinikmati rakyat.
  • Keadilan hukum tanpa tebang pilih.
  • Politik yang berpihak pada rakyat kecil, bukan kepentingan kelompok.

Generasi muda Aceh harus mengambil peran, bukan sekadar jadi penonton atau korban narasi masa lalu. Mereka harus menciptakan narasi baru, tentang Aceh yang berdamai dengan masa lalunya dan menatap masa depan tanpa beban dendam sejarah.


Penutup

Refleksi dua dekade perdamaian ini seharusnya menjadi titik balik. Aceh sudah cukup lama disandera oleh dua gerbong yang saling tarik menarik. Kini saatnya melahirkan gerbong ketiga: gerbong Aceh yang damai, adil, makmur, dan bermartabat. Bukan gerbong kemerdekaan yang penuh dendam, bukan pula gerbong perdamaian yang semu.

Karena pada akhirnya, Aceh adalah tanah warisan para pejuang dan ulama. Tanah di mana darah dan hikmah pernah berpadu. Kita berhutang pada masa lalu, tapi lebih berhutang pada anak cucu kita di masa depan.