Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Masjid Tua Indrapuri: Jejak 400 Tahun Kesultanan Aceh yang Terlupa

Minggu, 25 Mei 2025 | 19:21 WIB Last Updated 2025-05-25T12:21:19Z




Oleh: Azhari 

Pagi itu, kabut tipis masih menggantung di atas perbukitan Indrapuri, Aceh Besar. Deretan pohon kelapa dan rimbunan pepohonan tua membingkai sebuah bangunan tua yang berdiri anggun di tengah pelataran berpasir. Dindingnya tinggi, tebal, seperti benteng. Di dalamnya, bangunan kayu beratap tumpang tiga masih tegak, meski usia telah melampaui empat abad.

Itulah Masjid Tua Indrapuri, masjid peninggalan Al-Imam Al-Adil Sultan Iskandar Muda, yang dibangun di masa kegemilangan Kesultanan Aceh Darussalam. Di sini, jejak-jejak masa lalu terasa begitu dekat. Udara seolah membawa bisikan azan para muazin lama, doa-doa raja, ulama, dan pejuang Aceh yang dulu bermunajat meminta kemenangan.

Masjid di Atas Benteng Hindu

Sejarah mencatat, masjid ini didirikan di atas reruntuhan benteng pertahanan kerajaan Hindu sebelum Islam berkembang di Aceh. Sultan Iskandar Muda memerintahkan pendirian masjid ini sebagai simbol Islamisasi penuh di wilayah Aceh Besar, sekaligus sebagai pusat musyawarah kerajaan.

Struktur bangunan yang unik — tembok batu besar mengelilingi masjid — merupakan sisa dari benteng lama yang kemudian diadaptasi menjadi bagian dari kompleks masjid. Arsitektur atapnya berbentuk limas bertingkat, khas masjid-masjid kerajaan Aceh, dengan ornamen ukiran Aceh kuno di bagian dalam.

Dulu, masjid ini bukan sekadar tempat ibadah. Di sinilah para sultan, panglima perang, ulama, dan tokoh adat bermusyawarah. Di sinilah keputusan-keputusan penting kerajaan diambil, termasuk strategi menghadapi kolonial Portugis dan Belanda.

Masih Berdiri, Meski Terlupakan

Hingga hari ini, Masjid Tua Indrapuri masih digunakan masyarakat sekitar untuk shalat berjamaah. Beberapa bagian luar bangunan masih utuh, seperti pagar batu setinggi tiga meter yang mengelilinginya. Di sisi dalam, mimbar tua, mihrab, dan beberapa tiang kayu ulin masih bertahan, meskipun mulai lapuk.

Namun, kondisi keseluruhan masjid sudah jauh dari layak sebagai situs sejarah nasional. Tak ada papan informasi sejarah. Tak ada pemandu. Hanya sepi, sunyi, dan sesekali peziarah atau wisatawan yang datang sekadar singgah.

Lebih memprihatinkan, banyak generasi muda Aceh tak mengenal nama Masjid Tua Indrapuri, apalagi kisah di balik bangunannya. Sejarahnya kian terkikis, hanya tinggal di lembar-lembar buku tua dan ingatan para tetua kampung.

Menghidupkan Kembali Ruh Sejarah

Jika merujuk pada tradisi Islam Nusantara, masjid bukan sekadar tempat ibadah, melainkan pusat peradaban. Di masa Kesultanan Aceh, masjid-masjid besar menjadi pusat pendidikan, diplomasi, hingga pertahanan. Masjid Tua Indrapuri pernah memegang peran strategis itu.

Bayangkan bila masjid ini direvitalisasi, bukan hanya bangunannya, tapi juga fungsi sosial dan kulturalnya. Ia bisa menjadi pusat studi sejarah Aceh, tempat seminar adat, workshop aksara Jawi, hingga pelatihan khat Aceh. Bisa dibangun museum kecil di areal masjid, memamerkan naskah-naskah lama, foto masa lalu, dan barang-barang peninggalan Kesultanan.

Lebih jauh, masjid ini dapat dijadikan lokasi festival budaya Islam Aceh, yang menampilkan zikir, rateb siribe, hikayat, hingga tarian perang tradisional Aceh. Dengan begitu, Masjid Tua Indrapuri tak hanya diselamatkan secara fisik, tapi dihidupkan kembali perannya sebagai benteng moral, budaya, dan spiritual Aceh.

Generasi Muda Harus Tahu

Hari ini, kita hidup di era digital. Sejarah bisa dilupakan dalam hitungan detik, terkalahkan oleh viral konten-konten tak bermutu. Di sinilah pentingnya generasi muda Aceh menulis ulang kisah-kisah seperti Masjid Tua Indrapuri. Merekam, mendokumentasikan, dan menyebarkan ke dunia lewat buku, film dokumenter, podcast sejarah, hingga platform media sosial.

Jika tidak, 10-20 tahun ke depan, yang tersisa dari Masjid Tua Indrapuri hanyalah reruntuhan batu tanpa makna.

Penutup

Masjid Tua Indrapuri adalah roh sejarah Aceh. Di setiap dindingnya terukir jejak darah dan doa para pejuang. Di setiap jengkal halamannya tercium aroma syiar Islam masa lampau.

Aceh butuh lebih banyak orang yang peduli. Butuh program serius dari pemerintah daerah, akademisi, dayah, dan komunitas sejarah untuk menyelamatkan warisan ini. Bukan sekadar untuk dikenang, tapi untuk dihidupkan kembali — agar Aceh tetap menjadi Serambi Mekkah, bukan hanya di nama, tapi juga di ruh peradabannya.


Indrapuri tak boleh terlupa. Masjid 400 tahun itu harus hidup kembali. Kita yang harus mulai.