Aceh bukan tanah kosong. Aceh bukan negeri tanpa penghuni. Aceh bukan sekadar deretan angka di laporan negara. Di sini, masih hidup manusia-manusia yang punya hati, harga diri, dan sejarah panjang tentang kehormatan. Di sini masih ada darah keturunan para pejuang yang mempertahankan negeri ini dari penjajahan berabad-abad lamanya.
Hari ini, hak-hak Aceh kembali dipermainkan. Dana Otonomi Khusus (Otsus) yang dulu dijanjikan sebagai bentuk pengakuan atas luka sejarah dan jalan damai, kini seperti mainan di meja politik Jakarta. Pasal-pasal di dalam UUPA (Undang-Undang Pemerintahan Aceh) yang seharusnya jadi pegangan bersama, dilangkahi, diabaikan, bahkan dipreteli pelan-pelan tanpa perlawanan yang berarti.
Padahal di balik itu, masih banyak manusia di Aceh yang tidak buta. Kami tahu apa yang sedang terjadi. Kami paham bagaimana hak-hak daerah ini dipangkas, dana dikurangi, kewenangan dipersempit, dan keputusan tentang masa depan kami ditentukan di meja yang tak pernah ada wakil kami di sana.
Aceh Bukan Objek, Aceh Subjek
Aceh bukan hanya seonggok wilayah administratif di ujung barat republik. Aceh adalah subjek sejarah yang sudah membuktikan dirinya. Dari zaman Sultan Iskandar Muda, perang melawan kolonialisme, hingga perjanjian damai Helsinki — Aceh selalu menjadi pemain penting dalam dinamika bangsa ini.
Maka siapa pun yang hari ini mencoba mempermainkan hak-hak Aceh, sesungguhnya sedang bermain api di rumah orang lain. Karena manusia di Aceh masih ada, hati kami masih menyala, mata kami masih terbuka, dan mulut kami masih bisa bersuara.
Kami bukan bangsa pelupa. Kami ingat bagaimana perjanjian demi perjanjian kerap dikhianati. Kami ingat bagaimana janji pemberdayaan rakyat Aceh sering hanya sebatas wacana. Tapi jangan kira semua diam artinya tunduk. Diam kami karena menghormati proses. Tapi bila proses itu terus diabaikan, Aceh tak akan tinggal diam.
Jangan Ulangi Kesalahan Sejarah
Sejarah sudah mencatat, bangsa yang suka mengingkari janji terhadap rakyatnya sendiri akan menuai bencana. Dulu Belanda meremehkan Aceh. Mereka kira, dengan uang dan kekuasaan bisa mematahkan semangat orang Aceh. Nyatanya, mereka harus bertempur berpuluh tahun di tanah ini.
Sekarang, saat republik ini sudah berdiri kokoh, jangan lagi ada pihak-pihak yang merasa bisa seenaknya mengatur hak-hak Aceh tanpa melibatkan rakyatnya. Jangan jadikan Aceh sebagai objek eksperimen politik pusat yang tiap lima tahun berganti haluan. Jangan anggap Aceh tidak punya suara, karena suara itu hanya menunggu waktu untuk bersuara lantang kembali.
Aceh Masih Punya Manusia
Banyak yang bilang, Aceh hari ini lemah. Elitnya sibuk dengan proyek. Tokohnya diam. Pemudanya lesu. Tapi ingat, di bawah permukaan itu, manusia Aceh masih ada. Pemuda-pemuda yang melek sejarah, ulama-ulama yang paham hakikat keadilan, dan masyarakat akar rumput yang tidak sudi diperlakukan sebagai anak tiri di negeri sendiri.
Aceh masih punya manusia. Manusia yang kalau dihina haknya, akan bicara. Kalau ditindas, akan melawan. Dan kalau dihargai, akan menjaga kehormatan bangsanya.
Ayo Bangkit, Jangan Mau Dipermainkan
Sudah saatnya kita di Aceh berhenti jadi penonton dari hak-hak kita sendiri. Bangkitlah pemuda, bersuara para ulama, bergerak para cendekiawan, satukan langkah masyarakat. Jangan biarkan Aceh dipermainkan lagi. Otonomi khusus bukan sekadar angka dana, tapi soal martabat, soal harga diri, soal pengakuan atas hak-hak sejarah.
Mari kita bangun kembali kesadaran kolektif ini. Bukan untuk memberontak, tapi untuk menuntut hak secara bermartabat. Bukan untuk merusak, tapi untuk memastikan bahwa Aceh dihormati sebagaimana mestinya.
Karena Aceh masih punya manusia.
#aceh