Oleh: Azhari
Aceh bukan sekadar wilayah administratif di ujung barat Nusantara. Aceh adalah negeri yang menyimpan peradaban Islam tertua di Asia Tenggara, negeri syariat, dan negeri adat yang kokoh berlandaskan hukum Islam serta kearifan lokal. Salah satu institusi penting dalam masyarakat Aceh sejak zaman kesultanan hingga hari ini adalah gampong, yang menjadi fondasi kehidupan sosial dan keagamaan masyarakat.
Di dalam gampong, terdapat figur sentral yang tidak hanya menjadi pemimpin shalat, tetapi juga menjadi penjaga moral, adat, dan pengayom masyarakat — Tgk Imum Gampong. Sosok ini punya posisi strategis dalam tatanan sosial Aceh. Namun, di tengah derasnya arus modernisasi, digitalisasi, dan pergeseran nilai budaya, peran Tgk Imum Gampong menghadapi tantangan yang tidak ringan.
Tulisan ini mencoba merefleksikan posisi Tgk Imum Gampong di masyarakat Aceh masa kini, menggali tantangannya, serta menawarkan gagasan agar peran mulia ini tetap relevan dan strategis di era digital.
Tgk Imum Gampong: Warisan Sejarah dan Kearifan Lokal
Sejak masa Kesultanan Aceh Darussalam, peran Teungku Imum sudah menjadi bagian penting dalam struktur pemerintahan dan sosial masyarakat. Jika di pusat ada Qadhi Malikul Adil sebagai pejabat kehakiman, maka di tingkat mukim dan gampong, Tgk Imum menjadi rujukan hukum agama, imam shalat, penyelesai konflik adat, hingga penasihat bagi aparat pemerintahan kampung.
Tugas Tgk Imum Gampong bukan sekadar memimpin shalat lima waktu dan Jumat, tapi juga membimbing masyarakat tentang hukum-hukum Islam, menyelesaikan sengketa rumah tangga, memimpin prosesi adat seperti kenduri, maulid nabi, serta menjadi penengah dalam konflik sosial.
Pada masa-masa sulit, Tgk Imum bahkan menjadi benteng terakhir masyarakat dalam menghadapi berbagai ancaman luar, baik kolonialisme, konflik, maupun bencana sosial.
Tantangan Tgk Imum Gampong di Era Digital
Memasuki era digital dan modernisasi, Aceh mengalami transformasi sosial yang cepat. Nilai-nilai adat dan agama yang dulu dipegang teguh mulai mengalami erosi. Generasi muda lebih dekat dengan gawai ketimbang balai pengajian, lebih akrab dengan tokoh agama media sosial dibanding ulama kampungnya.
Di sisi lain, problem sosial di tingkat gampong juga semakin kompleks: narkoba, pergaulan bebas, perceraian, kriminalitas, dan konflik sosial antarwarga. Tantangan ini tak lagi bisa dihadapi dengan pendekatan tradisional semata.
Sayangnya, banyak Tgk Imum Gampong yang masih terjebak dalam pola lama. Sebagian belum melek teknologi, belum punya akses ke informasi digital, dan kurang mendapat pelatihan penguatan kapasitas kepemimpinan sosial-keagamaan.
Hal ini menyebabkan jarak antara Tgk Imum Gampong dan masyarakat, khususnya kalangan muda, semakin melebar. Sebuah kondisi yang jika dibiarkan, bisa melemahkan institusi sosial-keagamaan di akar rumput Aceh.
Revitalisasi Peran Tgk Imum Gampong: Jalan Tengah Antara Tradisi dan Modernitas
Agar Tgk Imum Gampong tetap relevan di era modern, perlu ada langkah serius untuk revitalisasi peran dan kapasitas mereka. Beberapa gagasan yang bisa didorong antara lain:
-
Pelatihan Digitalisasi Dakwah
Tgk Imum Gampong perlu diberikan pelatihan penggunaan media sosial dan platform digital. Bukan untuk menjadi selebriti, tetapi agar mampu menyampaikan dakwah, nasihat sosial, dan informasi penting kepada masyarakat dengan cara yang lebih kekinian.
-
Dilibatkan dalam Program Pemberdayaan Masyarakat
Pemerintah gampong hingga kabupaten harus melibatkan Tgk Imum Gampong dalam penyusunan program pembangunan SDM, pemberantasan narkoba, pendampingan keluarga, dan pembinaan remaja.
-
Penguatan Kapasitas Sosial-Keagamaan
Kementerian Agama, MPU Aceh, hingga lembaga dayah perlu merancang program rutin peningkatan kapasitas Tgk Imum Gampong tentang fikih kontemporer, hukum keluarga, serta manajemen sosial berbasis syariat.
-
Mendirikan Forum Tgk Imum Gampong Digital
Membuat wadah komunikasi antar Tgk Imum Gampong se-Aceh berbasis digital, agar mereka bisa saling bertukar informasi, berbagi pengalaman, dan merumuskan solusi bersama terhadap problem sosial di tingkat gampong.
-
Diperkuatnya Posisi Resmi dalam Pemerintahan Gampong
Banyak Tgk Imum Gampong hanya diposisikan sebagai simbol seremonial. Padahal, mereka layak mendapat posisi strategis dalam musyawarah gampong, perencanaan pembangunan, dan pelaksanaan adat. Qanun Gampong bisa diperkuat untuk memastikan hal ini.
Menjaga Adat, Menghadapi Tantangan Zaman
Peran Tgk Imum Gampong di Aceh bukan hanya soal keagamaan, tapi juga tentang menjaga nilai-nilai adat dan peradaban lokal. Bila peran ini melemah, masyarakat Aceh akan kehilangan salah satu benteng moralnya.
Karenanya, kita tidak boleh membiarkan mereka berjalan sendiri menghadapi arus zaman yang keras. Pemerintah daerah, ulama-ulama besar, akademisi, hingga komunitas digital Aceh mesti bersinergi untuk menguatkan posisi Tgk Imum Gampong.
Modernisasi tidak berarti menyingkirkan tradisi. Justru tradisi yang baik harus diberi ruang dalam kemajuan, agar Aceh tetap kokoh di atas pondasi adat dan syariat, bukan terombang-ambing dalam arus globalisasi tanpa arah.
Penutup
Refleksi ini ingin mengingatkan kita semua, bahwa Aceh tak mungkin kuat tanpa gampong yang kokoh, dan gampong tak akan tegak tanpa Tgk Imum yang bijak. Di era digital yang penuh distraksi ini, keberadaan Tgk Imum Gampong tetap penting sebagai pengawal moral masyarakat.
Sudah saatnya Aceh memberi perhatian serius pada peran mereka. Jika tidak, kita akan kehilangan penjaga adat dan syariat di tingkat paling bawah. Dan bila itu terjadi, kita sedang membiarkan akar peradaban Aceh tergerus perlahan.
Mari kita bangkitkan kembali kehormatan Tgk Imum Gampong — penjaga adat, moral, dan agama di tanah Serambi Mekkah.