Oleh: Azhari
Ketika membicarakan hubungan Aceh dengan Nusantara, kita kerap terpaku pada kisah perang, diplomasi kerajaan, atau perdagangan rempah. Padahal, salah satu kontribusi terbesar Aceh terhadap negeri ini justru hadir lewat jalur yang lebih halus namun abadi: jalur keilmuan dan spiritualitas Islam. Dan di antara sekian banyak kisah yang nyaris terlupakan, adalah cerita tentang Syekh Abdul Muhyi Pamijahan, seorang ulama besar Jawa Barat yang merupakan murid langsung dari Syekh Abdur Rauf As-Singkili, ulama agung dari Aceh.
Warisan Aceh di Tanah Sunda
Syekh Abdul Muhyi lahir di Mataram pada tahun 1650. Sejak muda, hasratnya untuk menuntut ilmu membawa ia menyeberang ke berbagai pusat keilmuan Islam, termasuk ke Aceh. Di sinilah beliau berguru kepada Syekh Abdur Rauf As-Singkili, yang pada masa itu merupakan ulama besar Kesultanan Aceh Darussalam, penulis kitab-kitab tasawuf dan fikih yang masyhur hingga ke Makkah dan Madinah.
Dari gurunya inilah Syekh Abdul Muhyi memperoleh ilmu Tarekat Syathariyah dan ajaran Martabat Tujuh, sebuah konsep metafisika ketuhanan dalam Islam Nusantara yang memadukan antara syariat, tarekat, hakikat, dan makrifat. Ilmu itu kemudian beliau bawa ke Tanah Sunda, membangun pesantren, dan menjadi pelopor dakwah Islam di Tasikmalaya dan sekitarnya.
Islam Nusantara: Jaringan Ilmu Antarpulau
Kisah ini menunjukkan bahwa Aceh bukan hanya Serambi Mekkah secara simbolis, tetapi secara faktual adalah sentral transmisi keilmuan Islam di Asia Tenggara. Aceh pernah menjadi rumah bagi ulama-ulama dari berbagai negeri — dari Melayu, Jawa, Bugis, Minangkabau, hingga Pattani — yang datang untuk berguru sebelum melanjutkan ke Haramain.
Syekh Abdul Muhyi adalah salah satu bukti hidupnya jaringan itu. Melalui beliau, ajaran-ajaran Syekh Kuala, demikian masyarakat Aceh menyebut Syekh Abdur Rauf, tersebar di pedalaman Sunda. Bahkan hingga kini, tarekat Syathariyah yang beliau bawa tetap hidup di berbagai pesantren tradisional Jawa Barat.
Kenapa Aceh Harus Tahu Ini?
Sayangnya, banyak generasi muda Aceh kini yang tak mengenal nama Syekh Abdul Muhyi, apalagi perannya sebagai murid besar ulama Aceh. Di sisi lain, masyarakat Sunda begitu menghormati beliau, menjadikan makamnya di Pamijahan sebagai salah satu situs ziarah utama, dan menghidupkan ajarannya di pesantren-pesantren.
Ini ironi sekaligus pelajaran. Aceh seakan lupa bahwa negeri ini pernah menjadi sumber cahaya bagi Nusantara. Warisan spiritual itu masih terjaga di tanah orang, tapi perlahan pudar di tempat asalnya sendiri.
Saatnya Aceh Bangkitkan Warisan Keilmuan
Di era digital ini, generasi Aceh harus mulai kembali menggali, menulis, dan menyebarkan kisah para ulama dan leluhur peradaban. Tak cukup dengan seremoni haul dan zikir, tapi perlu ada dokumentasi ilmiah, buku, film, hingga serial digital yang menceritakan jaringan intelektual Aceh-Nusantara.
Bila masyarakat Sunda punya Pamijahan, maka Aceh harus menghidupkan kembali Dayah Teungku Syiah Kuala, Dayah Lam Ateuk, dan situs-situs warisan ulama Aceh lainnya. Aceh juga perlu memperkuat kajian Martabat Tujuh dan Tarekat Syathariyah dalam konteks akademik dan tradisi.
Bukan untuk nostalgia semata, tapi agar generasi Aceh paham bahwa mereka berasal dari bangsa besar yang pernah mendidik para waliyullah Nusantara.
Penutup
Kisah Syekh Abdul Muhyi Pamijahan dan gurunya Syekh Abdur Rauf As-Singkili adalah bukti betapa eratnya hubungan keilmuan antara Aceh dan Jawa Barat. Hubungan yang dibangun bukan atas dasar kekuasaan, tapi atas kecintaan kepada ilmu dan Allah SWT.
Sudah saatnya Aceh merebut kembali kehormatan itu, bukan dengan perang, tapi dengan karya dan pengetahuan. Dan tugas itu ada di pundak generasi kita hari ini.
Aceh harus bangga, karena berkah bumi Jawa tak lepas dari doa-doa ulama kita. Mari kita hidupkan kembali kisah itu.