Oleh: Azhari
Hidup ini ibarat perjalanan. Setiap manusia sedang menuju satu tujuan yang sama: kematian. Hanya saja, yang membedakan adalah jalan mana yang ditempuh, bekal apa yang dibawa, dan warisan nilai apa yang ditinggalkan. Dalam perjalanan itu, manusia sering kali dihadapkan pada dua hal yang saling bertolak belakang: kebanggaan dan kehilangan.
Kebanggaan yang Sementara
Banyak orang berlomba-lomba membangun kebanggaan. Ada yang bangga karena kekayaan, ada yang bangga karena jabatan, ada pula yang bangga karena popularitas. Sebagian bahkan menjadikan kebanggaan itu sebagai alasan untuk merendahkan orang lain. Seolah-olah dunia ini abadi, dan dirinya akan selamanya di atas.
Padahal, sejarah telah mengajarkan bahwa tidak ada kebanggaan yang kekal. Raja-raja yang dahulu dipuja, kini hanya tinggal nama. Gedung-gedung megah yang dulu dibanggakan, kini jadi reruntuhan. Kekuasaan yang dulu diagungkan, kini tinggal catatan sejarah.
Kebanggaan manusia itu fana. Dan yang abadi hanyalah nilai kebaikan yang ditinggalkan.
Kehilangan yang Pasti
Setiap manusia, cepat atau lambat, akan merasakan kehilangan. Kehilangan orang yang dicintai, kehilangan waktu, kehilangan kesempatan, dan kelak — kehilangan diri sendiri dari dunia ini. Tidak ada yang bisa menolak takdir kehilangan.
Yang menarik, justru sering kali manusia baru tersadar akan makna hidup ketika mengalami kehilangan. Ketika seorang anak kehilangan ibunya, dia baru tahu arti kasih sayang. Ketika seorang penguasa kehilangan kekuasaan, dia baru paham arti kerendahan hati. Dan ketika manusia kehilangan waktu, baru dia sadar betapa berharganya setiap detik.
Kehilangan adalah guru kehidupan yang paling bijaksana.
Menuju Kematian
Pada akhirnya, baik kebanggaan maupun kehilangan, semuanya adalah bagian dari perjalanan menuju kematian. Kematian adalah batas di mana semua kebanggaan akan ditanggalkan, dan semua kehilangan akan terhenti. Hanya amal baik yang akan dibawa, hanya nama harum yang akan dikenang.
Di hadapan liang kubur, pangkat tak lagi berarti, kekayaan tak bisa dibawa, popularitas tak bisa menolong. Yang tersisa hanya kebaikan dan kejujuran.
Refleksi untuk Kita
Maka, sebelum kebanggaan itu sia-sia, dan sebelum kehilangan itu datang, ada baiknya kita merenung:
- Apakah kebanggaan yang kita bangun saat ini bermanfaat untuk orang lain?
- Apakah kita siap menghadapi kehilangan yang pasti terjadi?
- Apakah kita sudah menyiapkan bekal untuk kematian yang datang tanpa aba-aba?
Karena sejatinya, hidup bukan tentang siapa yang paling banyak memiliki, tapi siapa yang paling banyak memberi. Bukan tentang siapa yang paling tinggi, tapi siapa yang paling rendah hati. Dan bukan tentang siapa yang paling lama hidup, tapi siapa yang paling baik meninggalkan jejak.
Akhir kata, marilah kita isi hidup ini dengan kebaikan, bukan sekadar kebanggaan. Belajar merelakan kehilangan, dan menyiapkan diri menuju pertemuan abadi dengan Sang Pemilik Hidup.
Karena yang abadi bukan apa yang kita genggam, tapi apa yang kita tinggalkan untuk dikenang.