Oleh: Azhari
Dalam setiap lingkar kekuasaan, selalu ada kebijakan baik yang lahir dari niat tulus seorang pemimpin. Sebuah kebijakan yang lahir bukan untuk kepentingan pribadi, tapi untuk kemaslahatan bersama. Dalam bahasa Aceh disebut “kebijakan sanaan” — keputusan bijak yang mengutamakan nilai moral, keadilan, dan kepentingan rakyat.
Namun sayangnya, kebijakan sanaan itu kerap dikhianati. Bukan oleh lawan politik, tapi oleh orang-orang di lingkaran sendiri. Orang-orang yang seharusnya menjadi pengawal kebijakan, justru menggunting di dalam lipatan, memelintir maksud baik, lalu menjualnya demi keuntungan pribadi dan kelompok.
Ketika Niat Baik Diseret ke Politik Kepentingan
Fenomena ini sudah terlalu sering terjadi. Seorang pemimpin atau pimpinan organisasi mengeluarkan kebijakan yang berpihak pada rakyat atau kader, tapi para elit di sekitarnya malah memanfaatkan kebijakan itu untuk memperkuat posisi, mencari proyek, atau menyingkirkan lawan. Kebijakan yang mestinya jadi alat pelayanan, berubah jadi alat barter kekuasaan.
Akhirnya, nilai mulia dari kebijakan itu rusak di tangan pelaksana yang tak amanah. Rakyat tak merasakan manfaatnya, organisasi tak merasakan hasilnya. Yang untung hanyalah segelintir orang yang memanipulasi kebijakan untuk keuntungan pribadi.
Pengkhianatan yang Menghancurkan Kepercayaan
Kebijakan sanaan yang dikhianati tak hanya menghancurkan nilai keadilan, tapi juga merusak kepercayaan publik. Rakyat mulai apatis, kader-kader idealis merasa dikhianati. Karena mereka melihat bahwa niat baik pemimpin pun bisa gagal, jika orang-orang di sekitarnya hanya berpikir soal perut dan posisi.
Pengkhianatan semacam ini lebih kejam dari sekadar oposisi terang-terangan. Karena ia menyamar di balik senyum manis, berpura-pura loyal, lalu diam-diam menikam. Itulah pengkhianatan yang paling berbahaya: bukan dari lawan, tapi dari kawan sendiri.
Belajar dari Kebijakan Sanaan yang Dikhianati
Ada pelajaran besar di balik kisah ini. Bahwa dalam setiap kekuasaan, pemimpin harus cerdas membaca watak orang di sekitarnya. Jangan mudah percaya, jangan gampang terbuai oleh pujian. Karena sejarah telah banyak mencatat, banyak pemimpin jatuh bukan karena lawan, tapi karena orang-orang yang dianggap kawan.
Dan kepada para pelaku pengkhianatan kebijakan, ingatlah: kekuasaan bisa kau genggam, tapi kehormatan tak bisa kau beli. Jabatan bisa kau rebut, tapi nama buruk karena mengkhianati niat baik akan dicatat sejarah.
Penutup: Saatnya Bangun Politik Bernilai
Di era politik transaksional seperti sekarang, kita perlu kembali membangun politik bernilai. Kebijakan harus kembali berpijak pada kepentingan rakyat, bukan kepentingan elite. Dan loyalitas harus dibangun bukan karena jabatan, tapi karena keyakinan pada kebenaran.
Karena jika terus membiarkan kebijakan baik dikhianati, maka bangsa dan organisasi ini tak akan pernah maju. Yang lahir hanya generasi pengkhianat, bukan pejuang.