Di negeri ini, ternyata musuh bukan hanya yang bersembunyi di hutan belantara. Bukan pula yang berani terang-terangan menentang di depan mata. Musuh terbesar justru adalah mereka yang dulu memanggil kita “saudara”, yang bersama duduk di warung kopi, berjanji bersumpah atas nama rakyat, dan meyakinkan kita bahwa mereka berbeda.
Ternyata, waktu telah membuktikan bahwa kekuasaan itu lebih ampuh dari sekadar pertemanan. Kursi jabatan lebih menggoda daripada prinsip, dan amplop lebih tebal daripada harga diri.
Kini mereka duduk nyaman di belakang meja kekuasaan, tersenyum penuh kemenangan. Sementara kita, yang dulu sama-sama berteriak menolak ketidakadilan, dikhianati tanpa peringatan. Tapi aku tidak marah. Tidak. Aku justru ingin mengucapkan terima kasih.
Terima kasih, pengkhianat.
Karena dengan pengkhianatanmu, aku tahu siapa wajah asli yang selama ini menyamar di balik topeng kebaikan. Terima kasih telah mengajarkanku bahwa dalam politik, sahabat bisa jadi musuh, dan musuh bisa jadi sahabat, tergantung pada siapa yang berkuasa.
Aku belajar dari pengkhianatanmu, bahwa tidak semua yang bersorban itu saleh, tidak semua yang memakai peci itu amanah, dan tidak semua yang berteriak “untuk rakyat” benar-benar memikirkan nasib rakyat.
Terima kasih, pengkhianat.
Karena pengkhianatanmu telah menyadarkanku bahwa manusia bisa menjual apa saja, bahkan nama baik keluarganya, bahkan martabat keturunannya, hanya untuk sepotong jabatan yang tak abadi.
Aku ingin kau tahu, bahwa jabatan itu tidak kekal. Sehebat apapun kau duduk di atas kursi empuk itu, sekuat apapun kau genggam kekuasaan, waktu akan menertawakanmu. Rakyat akan lupa nama jabatanmu, tapi mereka tidak akan lupa pengkhianatanmu.
Sejarah telah mencatat, bahwa pengkhianat di Aceh dulu dilempar ke laut, atau diasingkan ke hutan, atau dipermalukan di depan rakyat. Tapi zaman kini telah berubah. Pengkhianat bukan lagi dihukum, melainkan dirayakan, dijadikan contoh, bahkan dielu-elukan.
Tapi aku percaya, hukum langit tidak pernah tidur. Ketika waktunya tiba, jabatan itu akan lenyap, kekuasaan itu akan runtuh, dan engkau akan kembali menjadi orang biasa, bahkan mungkin lebih hina dari orang biasa.
Saat itu, jangan pernah berharap rakyat akan lupa. Karena tanah ini masih menyimpan jejak air mata orang miskin yang kau khianati, doa orang tua yang kau abaikan, dan keluhan anak yatim yang tak kau pedulikan.
Aku hanya ingin kau tahu, bahwa kami tidak butuh pemimpin penjilat. Kami tidak butuh pengkhianat berbaju rapi. Kami ingin pemimpin yang berani menepati janji meski harus melawan kekuasaan. Dan kalaupun itu sulit, setidaknya jangan mengkhianati perjuangan.
Terima kasih, pengkhianat.
Karena meski kau telah menjual dirimu, kami tetap melangkah. Meski kau menikam dari belakang, kami tetap bertahan. Dan meski kau tertawa di atas penderitaan rakyat, sejarah akan tetap mencatat nama-nama pengkhianat seperti dirimu.
Karena waktu akan mengadili, rakyat akan bersaksi, dan Tuhan akan membalas.