Manusia adalah makhluk yang dianugerahi akal, rasa, dan keinginan. Sejak kecil, kita diajarkan untuk bermimpi setinggi langit, menanam cita-cita, dan memperjuangkan keinginan-keinginan yang tumbuh seiring perjalanan usia. Namun, dalam perjalanan itu, kita pun akan berhadapan dengan satu kenyataan bahwa tidak semua keinginan akan tercapai, sebab ada yang disebut sebagai takdir.
Lalu, di manakah batas antara keinginan dan takdir?
Apakah keinginan yang tidak tercapai adalah sebuah kegagalan, atau justru bagian dari takdir terbaik yang telah ditetapkan untuk kita?
Manusia yang Penuh Keinginan
Kita hidup di dunia yang membebaskan manusia untuk bermimpi. Seorang anak petani boleh bercita-cita menjadi dokter, anak nelayan pun bisa bercita-cita menjadi profesor. Keinginan-keinginan itu adalah motor yang mendorong manusia bergerak, belajar, berusaha, dan berjuang.
Keinginan adalah anugerah. Tanpanya, hidup akan kosong dan hampa. Tidak ada peradaban yang tercipta tanpa keinginan. Tidak ada rumah yang dibangun tanpa keinginan. Tidak ada negara yang merdeka tanpa keinginan. Maka, berkeinginan adalah hakikat manusia itu sendiri.
Namun, di balik keinginan-keinginan itu, ada satu hal yang tidak bisa dikendalikan manusia, yaitu takdir.
Ketika Takdir Berbicara
Takdir adalah ketetapan yang sudah ditentukan oleh Tuhan jauh sebelum kita lahir ke dunia. Setiap langkah, rezeki, jodoh, umur, hingga cara seseorang meninggalkan dunia ini, semua telah tertulis di Lauhul Mahfuz.
Terkadang kita ingin sesuatu dengan sangat kuat, namun semesta tidak mengizinkan. Kita sudah berusaha sekuat tenaga, sudah berdoa sepenuh jiwa, namun tetap saja hasilnya tak sesuai harapan. Saat itulah, takdir mengambil alih.
Di sinilah manusia diuji: apakah ia akan kecewa dan menyalahkan keadaan, atau ia menerima dengan hati lapang bahwa hidup ini memang bukan sepenuhnya dalam genggamannya.
Keinginan yang Tidak Selalu Baik, Takdir yang Tidak Selalu Buruk
Sering kali kita merasa kecewa karena keinginan kita tidak dikabulkan. Kita lupa bahwa tidak semua yang kita inginkan itu baik untuk kita. Apa yang kita inginkan belum tentu yang terbaik di mata Tuhan.
Seorang anak yang bercita-cita jadi tentara mungkin justru lebih baik menjadi guru. Seorang yang ingin menikah dengan kekasihnya mungkin justru akan lebih bahagia dengan orang lain. Kita tidak tahu. Sebab, kita hanya melihat hari ini, sementara Tuhan melihat hingga akhir hayat.
Takdir kadang menyakitkan di awal, tapi menyelamatkan di akhir. Dan keinginan kadang manis di awal, tapi bisa menjerumuskan di kemudian hari.
Hidup di Antara Keinginan dan Takdir
Manusia sebaiknya hidup di antara dua hal:
berusaha sekuat mungkin untuk mewujudkan keinginan, namun tetap ikhlas menerima takdir apapun hasilnya.
Karena hidup bukan tentang selalu mendapatkan apa yang kita mau, tapi tentang bagaimana kita mampu berdamai dengan apa yang telah ditetapkan untuk kita.
Tidak perlu iri pada orang yang seolah hidupnya sesuai semua keinginannya, sebab kita tidak tahu takdir seperti apa yang menantinya. Dan jangan terlalu bersedih jika hidup kita tak sesuai impian, sebab bisa jadi itulah jalan terbaik yang menjauhkan kita dari sesuatu yang buruk.
Penutup: Hidup yang Tenang Bukan karena Semua Keinginan Tercapai, Tapi karena Mampu Menerima Takdir
Pada akhirnya, ketenangan hidup bukanlah milik orang yang semua keinginannya terpenuhi. Tapi milik mereka yang bisa menerima bahwa tak semua keinginan harus terpenuhi, dan takdir apapun yang datang adalah bagian dari rencana Tuhan yang lebih indah.
Kita boleh bermimpi, bercita-cita, berkeinginan. Bahkan wajib berusaha sebaik-baiknya. Tapi setelah itu, serahkan hasilnya pada Sang Pengatur Hidup. Karena sebaik-baik rencana manusia, tetaplah takdir yang paling tahu apa yang pantas dan terbaik untuk kita.
Bireuen, 2025
Azhari