Notification

×

Iklan

FOTO KEGIATAN

Indeks Berita

Kekuasaan dan Penjilat Tahta: Wajah Lama dalam Bungkus Baru

Minggu, 25 Mei 2025 | 22:57 WIB Last Updated 2025-05-27T10:33:36Z




Oleh: Azhari 

Sejak zaman para raja hingga republik demokrasi digital hari ini, ada satu makhluk politik yang tak pernah punah: penjilat tahta. Mereka selalu ada di sekitar kekuasaan, mengendus aroma jabatan, dan berlomba menawarkan lidah manis kepada siapa saja yang sedang duduk di singgasana. Bedanya, jika dulu mereka mengenakan baju kebesaran istana, hari ini mereka berseragam partai, ASN, aktivis bayaran, hingga buzzer digital.

Kekuasaan memang selalu memabukkan. Ia bisa membuat orang buta pada kebenaran dan tuli terhadap suara rakyat. Tapi lebih berbahaya dari kekuasaan itu sendiri adalah orang-orang di sekitarnya — para penjilat tahta — yang membisikkan bahwa penguasa selalu benar, rakyat harus diam, dan kebijakan yang salah tetap harus dibenarkan.

Penjilat Tahta: Dari Istana ke Media Sosial

Dalam catatan sejarah, penjilat tahta berperan besar dalam runtuhnya banyak kerajaan. Mereka meninabobokan penguasa dengan puja-puji palsu, menutupi kekeliruan, dan mendorong keputusan-keputusan yang merugikan rakyat. Hari ini, peran itu diambil alih oleh politisi oportunis, pejabat yang haus pangkat, serta akun-akun anonim yang kerjanya mengangkat nama penguasa di media sosial sambil menenggelamkan suara-suara kritis.

Fenomena ini makin parah saat kekuasaan dibungkus jargon pembangunan dan kesejahteraan rakyat, padahal yang terjadi hanya pembangunan citra dan kesejahteraan kelompok tertentu. Para penjilat tahta menjadi pagar betis bagi penguasa, memastikan hanya kabar baik yang terdengar dan kritik dipersempit ruangnya.

Bahaya Kekuasaan yang Dikelilingi Penjilat

Seorang pemimpin yang dikelilingi penjilat sesungguhnya sedang menggali lubang kehancurannya sendiri. Sejarah telah berkali-kali menunjukkan, kekuasaan yang abadi hanyalah milik Tuhan. Pemimpin yang terlalu percaya pada orang-orang yang terus menerus memujinya akan kehilangan kewaspadaan, melupakan amanah, dan akhirnya terjebak dalam ilusi bahwa dirinya dicintai rakyat, padahal yang setia hanya para pemuja singgasana.

Bahaya paling nyata dari kekuasaan yang penuh penjilat adalah lahirnya kebijakan bodoh yang justru merugikan masyarakat. Kritik dibungkam, suara rakyat dibisukan, dan kebenaran dikaburkan demi menjaga citra penguasa. Negara kehilangan arah, dan rakyat menjadi korban.

Aceh dan Siklus Penjilat Kekuasaan

Aceh pun tak luput dari siklus ini. Pasca konflik dan perdamaian Helsinki, banyak harapan digantungkan pada elit-elit baru yang diharapkan menjadi pemimpin rakyat. Namun sayang, sebagian dari mereka justru melahirkan lingkungan kekuasaan yang penuh penjilat.

Di sekitar bupati, wali kota, hingga gubernur, lahir barisan orang-orang yang sekadar memuji, mencari proyek, menutup-nutupi kebobrokan, dan saling sikut demi tahta kecil di bawah meja kekuasaan. Mereka menjual suara rakyat demi fasilitas, jabatan, dan penghargaan semu.

Ironisnya, penjilat-penjilat ini sering kali mengatasnamakan agama, adat, dan perjuangan masa lalu. Mereka menjadi tameng untuk menyelamatkan penguasa dari kritik rakyatnya sendiri. Padahal bila dicermati, wajah-wajah mereka selalu berubah mengikuti siapa yang berkuasa. Hari ini di belakang si A, besok di bawah si B, lusa ikut si C. Yang penting selamat di kursi kekuasaan.

Saatnya Rakyat Menolak Budaya Menjilat

Kita tidak butuh lagi pemimpin yang hanya pandai dikelilingi pemuja. Kita butuh pemimpin yang berani mendengar kritik, terbuka pada saran, dan siap menerima kebenaran meski itu pahit. Karena negara, daerah, dan Aceh khususnya tidak akan pernah maju jika budaya menjilat tetap dilestarikan.

Rakyat pun harus berani menolak menjadi penjilat. Kembalikan martabat politik ke jalur