“
Di sebuah ruang penyimpanan museum di Belanda, tersimpan selembar kertas tua berukuran 20,4 × 32,8 cm. Di atasnya, tergores sebuah gambar sederhana namun penuh makna: sketsa makam Sultan ‘Alauddin Ibrahim Manshur Syah, penguasa Kesultanan Aceh yang wafat tahun 1870. Gambar itu dibuat oleh Frederic Pierre, seorang seniman sekaligus prajurit dalam pasukan KNIL, yang kala itu ikut dalam ekspedisi militer Belanda ke Aceh pada awal 1874.
Sketsa ini bukan sekadar catatan visual, melainkan jejak penjajahan yang begitu dalam. Bukan hanya wilayah dan kekayaan alam Aceh yang dirampas, tapi juga identitas, warisan sejarah, dan narasi tentang siapa kita sebagai bangsa.
Jejak Sejarah yang Terselip di Arsip Kolonial
Yang menarik dari gambar ini bukan semata bentuk lukisannya, melainkan catatan-catatannya. Di bagian atas gambar, tertulis dengan pena merah:
"Lampiran surat dari Tn. Jan Semmelink, off. V. gezondh. 1e kl. Padang 29 Maret 1874 / Reg. Rijks Ethnograph. Museum te Leiden, ontvang 1874 no. 2”.
Sementara di sisi kanan gambar, dengan pena coklat, ditambahkan catatan lain:
"NB beberapa tanda baca hilang dalam gambar, tetapi juga pada batu nisan itu sendiri. [??] Atjeh, 6 Maret 1874. Petugas kesehatan kelas 1 J. Semmelink.”
Catatan kecil ini memberi pesan besar: bahwa makam seorang sultan agung di Aceh sudah mulai rusak sejak masa itu. Bahkan di masa kolonial pun, beberapa bagian prasasti batu nisannya telah kehilangan tanda baca. Dan mirisnya, justru orang asinglah yang mencatat kondisi tersebut, sementara tak banyak generasi Aceh yang tahu di mana persisnya makam Sultan ‘Alauddin Ibrahim Manshur Syah berada.
Kini, makam itu berada di kompleks yang dikenal sebagai Kandang Meuh, sebuah area pemakaman para sultan Aceh yang dulunya terletak di lingkungan keraton Darussalam. Lokasi yang semestinya menjadi simbol kehormatan dan sejarah kebesaran Aceh.
Simbol Perampasan dan Penghilangan Sejarah
Apa yang terjadi pada makam Sultan ‘Alauddin Ibrahim Manshur Syah adalah potret kecil dari tragedi besar perampasan sejarah bangsa ini. Aceh, sebagaimana banyak wilayah di Nusantara, tak hanya kehilangan wilayah dan sumber daya alam, tetapi juga narasi dan identitasnya.
Lukisan makam ini kini tersimpan rapi di Museum Nasional Kebudayaan Dunia, Belanda, sebagai koleksi berharga. Sementara di Aceh sendiri, tak banyak generasi muda yang tahu siapa Sultan Ibrahim Manshur Syah, di mana makamnya, dan bagaimana perannya dalam sejarah Aceh yang panjang.
Kita menyaksikan ironi. Peninggalan budaya, artefak, kitab kuno, hingga makam raja yang pernah memimpin tanah ini, lebih terjaga di negeri penjajah daripada di tanah kelahirannya. Hal ini membuktikan, bahwa penjajahan bukan sekadar tentang senapan dan meriam, tapi tentang memutus ingatan kolektif suatu bangsa terhadap kejayaannya sendiri.
Kandang Meuh: Warisan yang Terabaikan
Kompleks pemakaman Kandang Meuh, yang dulunya berdiri megah di kawasan keraton, kini sebagian besar tinggal sisa reruntuhan. Banyak makam sultan yang tak terawat, bahkan tidak sedikit masyarakat Aceh yang tak tahu lokasi pasti kompleks ini. Padahal di sinilah bersemayam para sultan agung Aceh, termasuk Sultan Iskandar Muda, Sultan Alauddin Mahmud Syah, hingga Sultan Muhammad Daud Syah — sultan terakhir Kesultanan Aceh.
Tak banyak program pemerintah daerah maupun lembaga budaya yang serius menghidupkan kembali situs-situs sejarah ini. Beberapa bangunan bersejarah di Banda Aceh dan sekitarnya bahkan dibiarkan dalam kondisi nyaris terlupakan, hanya sesekali disentuh saat ada peringatan atau kunjungan tamu asing.
Sementara di Leiden, Amsterdam, dan Den Haag, catatan-catatan tentang Aceh, kitab kuno, serta artefak Kesultanan Darussalam terjaga dalam kondisi prima di ruang-ruang berpendingin.
Mengapa Ini Penting?
Sebagian orang mungkin beranggapan, untuk apa sibuk mengurusi makam dan lukisan masa lalu? Kita hidup di era digital, bukan abad ke-19. Tapi sesungguhnya, bangsa yang besar adalah bangsa yang mengenal, menghargai, dan belajar dari sejarahnya. Makam-makam para sultan, catatan lukisan, hingga kitab kuno bukan sekadar benda mati, tapi simbol peradaban.
Melupakan makam rajamu, berarti melupakan asal usulmu. Melupakan asal usulmu, berarti siap menjadi bangsa yang mudah dibentuk, dipermainkan, dan ditulis ulang sejarahnya oleh orang lain.
Kita bisa lihat bagaimana bangsa-bangsa besar di dunia begitu serius menjaga situs sejarahnya. Turki merawat makam Sultan Mehmed II di Istanbul. Mesir menjaga piramida para fir’aun di Giza. Bahkan Belanda, meskipun kecil, menyimpan rapi catatan tentang Aceh — karena mereka tahu, sejarah adalah alat politik, kekuasaan, dan kebanggaan.
Aceh dan Tanggung Jawab Generasi Muda
Sudah saatnya generasi muda Aceh menyadari bahwa sejarah kita lebih luas daripada sekadar kisah perang. Ada peradaban besar, budaya tinggi, ulama sufi, seniman, ilmuwan, dan raja-raja yang pernah memimpin dengan bijak. Sketsa makam Sultan Ibrahim Manshur Syah adalah salah satu jejak kecil yang menyimpan pesan besar: jangan biarkan jejak sejarahmu tinggal di museum negeri asing.
Perlu ada gerakan budaya, pemugaran situs, pengarsipan digital, hingga program edukasi sejarah lokal yang serius. Bukan sekadar formalitas saat HUT daerah atau even budaya, tapi sebagai upaya menyelamatkan warisan identitas. Karena di situlah harga diri Aceh bertumpu.
Penutup: Sebuah Panggilan Sejarah
Lukisan tua itu berbicara banyak kepada kita. Tentang sebuah bangsa yang pernah besar, tentang penjajahan yang tak hanya merampas tanah tapi juga ingatan, dan tentang sebuah generasi yang harus memilih: membiarkan sejarahnya tenggelam atau merebut kembali kisahnya sendiri.
Aceh tak boleh terus-menerus menjadi cerita yang ditulis orang asing. Sudah saatnya kita, anak-anak Aceh, menulis ulang kisah tentang para sultan, panglima, ulama, dan rakyat biasa yang pernah membangun tamaddun besar di ujung barat Nusantara.
Karena sejarah yang tak ditulis sendiri, akan selamanya didefinisikan oleh orang lain.