Sejarah tidak pernah mati. Ia hidup dalam ingatan dan luka yang diwariskan dari satu generasi ke generasi berikutnya. Aceh adalah saksi dari sebuah perjalanan panjang bangsa kecil yang bersikeras mempertahankan martabatnya di hadapan kekuasaan yang lebih besar. Di tengah itu, Gerakan Aceh Merdeka (GAM) pernah menjadi simbol perlawanan, harga diri, dan perjuangan. Namun di masa damai ini, satu hal yang mulai terasa: pergerakan mereka diingat, tetapi jasa mereka perlahan dilupakan.
Dari Hutan ke Meja Runding
GAM bukan sekadar organisasi bersenjata, melainkan representasi kegelisahan sebuah rakyat yang merasa dipinggirkan. Tahun 1976, ketika Hasan Tiro mendeklarasikan perlawanan, ia bukan tanpa sebab. Luka sejarah akibat pelanggaran perjanjian, ketidakadilan dalam distribusi hasil alam, dan perlakuan diskriminatif negara pusat, menjadi bahan bakar dari api perlawanan yang menyala puluhan tahun.
Generasi Aceh hari ini mungkin hanya mengenal nama-nama itu dalam catatan sekolah atau obrolan orang tua. Mereka lupa bahwa kemewahan stabilitas yang kini dinikmati—sekolah yang tenang, malam tanpa dentuman senjata, pasar yang hidup, dan jalan yang mulus—dibeli dengan darah dan nyawa ribuan orang. Dulu Aceh gelap dan ketakutan, kini ia tenang dan lupa.
Ketika Pejuang Berganti Status
Ironisnya, setelah damai diraih lewat MoU Helsinki 2005, banyak eks kombatan perlahan bergeser dari pejuang ke penguasa. Sebagian menempati kursi pemerintahan, sebagian lagi menjadi pemodal politik lokal. Tidak sedikit yang kemudian terlena dalam pola politik transaksional, membagi-bagi proyek, jabatan, dan konsesi tambang.
Generasi baru Aceh melihat itu sebagai realitas, bukan lagi idealisme. Maka wajar bila di kalangan anak muda muncul narasi sinis: "GAM dulu berjuang untuk rakyat, sekarang untuk diri sendiri." Sebuah kalimat yang menyakitkan, tapi mungkin perlu didengar.
Jasa yang Terabaikan
Kita bisa mengkritik apa pun tentang elite eks-GAM hari ini, tapi melupakan jasa mereka adalah dosa moral. Bila dulu mereka rela hidup di hutan, menahan lapar, kehilangan anak-istri demi menantang ketidakadilan, hari ini generasi muda justru abai pada sejarah itu.
Banyak anak muda Aceh lebih akrab dengan TikTok daripada naskah MoU Helsinki. Lebih paham tentang tren sosial media daripada jejak pelanggaran HAM masa konflik. Mereka lupa bahwa kemewahan sekolah negeri yang kini berdiri di pelosok Aceh adalah hasil dari darah dan air mata.
Menghormati jasa bukan berarti membenarkan kesalahan. Mengingat pengorbanan bukan berarti menutup mata atas kekeliruan.
Refleksi untuk Generasi
Generasi Aceh hari ini harus berhenti bersikap acuh. Aceh bukan hanya soal wisata halal, kopi Gayo, atau selebgram hijrah. Ada luka sejarah yang tak boleh disapu bersih. GAM, suka atau tidak, adalah bagian dari DNA Aceh modern.
Kita butuh keberanian untuk berdamai dengan sejarah. Tidak sekadar mengenang pergerakan mereka di hutan, tapi juga mengoreksi apa yang salah di masa damai. Kita butuh generasi yang bisa berkata:
"Kami ingat pergerakanmu, kami kritik kekeliruanmu, tapi kami tidak akan lupa jasamu."
Itulah cara paling sehat membangun hubungan dengan sejarah.
Arah Aceh Ke Depan
Aceh hari ini tidak butuh perang baru. Tapi ia butuh perlawanan terhadap kemiskinan, korupsi, keterbelakangan pendidikan, dan permainan elit. Semangat perlawanan itu harus hidup, bukan dalam bentuk senjata, tapi lewat pena, gagasan, dan keberanian anak muda.
Kalau dulu Hasan Tiro dan kawan-kawan berjuang demi Aceh bermartabat, kini tugas itu berpindah ke pundak generasi muda. Bukan dengan mengangkat senjata, melainkan dengan membangun Aceh lewat kejujuran, inovasi, dan keberanian bersuara. Agar Aceh tidak hanya tenang, tapi juga bermartabat.
Karena pergerakan tanpa ingatan adalah sia-sia. Dan jasa tanpa penghormatan adalah pengkhianatan.